Advertisement - Scroll ke atas
  • Media Sulsel
  • Universitas Dipa Makassar
Opini

Kemiskinan Ekstrem Bagaimana Solusinya?

545
×

Kemiskinan Ekstrem Bagaimana Solusinya?

Sebarkan artikel ini
Kemiskinan Ekstrem Bagaimana Solusinya?
Sriwidarti, S.Pd (Tenaga Pendidik)
  • Pascasarjana Undipa Makassar
  • Pemprov Sulsel
  • PDAM Makassar

OPINI—Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memberi arahan untuk mempercepat penurunan kemiskinan ekstrem di Indonesia menjadi 0% pada 2024.

Untuk itu, kata dia, kementerian dan lembaga telah melakukan pemetaan program-program yang relevan dalam upaya penanggulangan kemiskinan ekstrem. Program-program tersebut mencakup pengurangan beban pengeluaran, peningkatan pendapatan, dan program yang berfokus pada wilayah-wilayah kantong kemiskinan.

Advertisement
Scroll untuk melanjutkan

“Pemerintah sudah membuat roadmap untuk mempercepat penuruan kemiskinan ekstrem di Indonesia dan Presiden menargetkan angka kemiskinan ekstrem menjadi 0% di 2024. Oleh karenanya perlu kolaborasi dan kerja extraordinary untuk mencapai target tersebut,” jelasnya di Jakarta, Rabu (SINDOnews.com, 29/9/2021).

Kemiskinan ekstrem didefinisikan sebagai kondisi di mana kesejahteraan masyarakat berada di bawah garis kemiskinan ekstrem–setara dengan USD1.9 PPP (purchasing power parity). Kemiskinan ekstrem diukur menggunakan “absolute poverty measure” yang konsisten antarnegara dan antarwaktu. (Indonesia.go.id)

Menggunakan definisi tersebut, pada 2021 tingkat kemiskinan ekstrem di Indonesia adalah 4 persen atau 10,86 juta jiwa. Tingkat kemiskinan ekstrem tersebut lebih rendah bila dibandingkan dengan tingkat kemiskinan nasional yang didasarkan pada data Susenas yang dirilis secara berkala oleh BPS, pada Maret 2021, yakni 10,14 persen atau 27,54 juta jiwa.

Salah satu bentuk komitmen besar dalam menghapuskan kemiskinan ekstrem di seluruh wilayah tanah air adalah dengan menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) nomor 4 tahun 2022 tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem. Instruksi ini merupakan langkah percepatan pemberantasan kemiskinan di Indonesia yang ditargetkan tuntas pada 2024.

Kemiskinan dalam Pandangan Islam

Menurut Islam, fakir miskin adalah mereka yang tidak memiliki mata pencaharian dan tidak dapat memenuhi kebutuhan penghidupan yang layak bagi umat manusia, atau mereka yang memiliki sumber penghidupan tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan kemanusiaan. Menurut bahasa, miskin berasal dari Bahasa Arab yang sebenarnya menyatakan kefakiran yang sangat.

Allah Swt menggunakan istilah itu dalam firman-Nya: “……atau kepada orang miskin yang sangat fakir” (QS Al-Balad 90:16)

Adapun kata fakir yang berasal dari Bahasa Arab al-faqru, berarti membutuhkan (al-ihtiyaj).

Seperti firman Allah Swt :

Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya, kemudian Dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa: Ya Tuhanku Sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku”. (QS Al-Qashash 28:24)

Cara Islam Mengentaskan Kemiskinan

Pertama: Secara individual, Allah SWT memerintahkan setiap Muslim yang mampu untuk bekerja mencari nafkah untuk dirinya dan keluarga yang menjadi tanggungannya (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 233).

Rasulullah saw. juga bersabda:

طَلَبُ الْحَلالِ فَرِيضَةٌ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ

Mencari rezeki yang halal adalah salah satu kewajiban di antara kewajiban yang lain (HR ath-Thabarani).

Jika seseorang miskin, ia diperintahkan untuk bersabar dan bertawakal seraya tetap berprasangka baik kepada Allah sebagai Zat Pemberi rezeki. Haram bagi dia berputus asa dari rezeki dan rahmat Allah SWT. Nabi saw. bersabda:

لاَ تَأْيَسَا مِنَ الرِّزْقِ مَا تَهَزَّزَتْ رُؤُوسُكُمَا ، فَإِنَّ الإِنْسَانَ تَلِدُهُ أُمُّهُ أَحْمَرَ لَيْسَ عَلَيْهِ قِشْرَةٌ ، ثُمَّ يَرْزُقُهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ

Janganlah kamu berdua berputus asa dari rezeki selama kepala kamu berdua masih bisa bergerak. Sungguh manusia dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan merah tanpa mempunyai baju, kemudian Allah ‘Azza wa Jalla memberi dia rezeki (HR Ahmad, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban).

Kedua: Secara jama’i (kolektif) Allah SWT memerintahkan kaum Muslim untuk saling memperhatikan saudaranya yang kekurangan dan membutuhkan pertolongan.

Rasulullah saw. bersabda:

مَا آمَنَ بِي مَنْ بَاتَ شَبْعَانَ وَ جَارُهُ جَائِعٌ إِلَى جَنْبِهِ وَ هُوَ يَعْلَمُ

Tidak beriman kepadaku siapa saja yang tidur dalam keadaan kenyang, sementara tetangganya kelaparan, padahal ia tahu (HR ath-Thabrani dan al-Bazzar).

Rasulullah saw. juga bersabda:

أَيُّمَا أَهْلِ عَرْصَةٍ ظَلَّ فِيهِمُ امْرُؤٌ جَائِعٌ، فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُمْ ذِمَّةُ اللَّهِ

Penduduk negeri mana saja yang di tengah-tengah mereka ada seseorang yang kelaparan (yang mereka biarkan) maka jaminan (perlindungan) Allah terlepas dari diri mereka (HR Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah).

Ketiga: Allah SWT memerintahkan penguasa untuk bertanggung jawab atas seluruh urusan rakyatnya, termasuk tentu menjamin kebutuhan pokok mereka. Rasulullah saw. bersabda:

فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Pemimpin atas manusia adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).

Di Madinah, sebagai kepala negara, Rasulullah saw. menyediakan lapangan kerja bagi rakyatnya dan menjamin kehidupan mereka. Pada zaman beliau  ada ahlus-shuffah. Mereka adalah para sahabat tergolong dhuafa. Mereka diizinkan tinggal di Masjid Nabawi dengan  mendapatkan santunan dari kas negara.

Saat menjadi khalifah, Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab biasa memberikan insentif untuk setiap bayi yang lahir demi menjaga dan melindungi anak-anak. Beliau juga membangun “rumah tepung” (dar ad-daqiq) bagi para musafir yang kehabisan bekal.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz membuat kebijakan pemberian insentif untuk membiayai pernikahan para pemuda yang kekurangan uang.

Pada masa Kekhalifahan Abbasiyah dibangun rumah sakit-rumah sakit lengkap dan canggih pada masanya yang melayani rakyat dengan cuma-cuma.

Hal di atas hanyalah sekelumit peran yang dimainkan penguasa sesuai dengan tuntunan syariah Islam untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya

Pentingnya Penerapan Syariah Islam kaffah

Saat ini kemiskinan yang menimpa umat lebih merupakan kemiskinan struktural/sistemik, yakni kemiskinan yang diciptakan oleh sistem yang diberlakukan oleh negara/penguasa. Itulah sistem kapitalisme-liberalisme-sekularisme. Sistem inilah yang telah membuat kekayaan milik rakyat dikuasai dan dinikmati oleh segelintir orang.

Di negeri ini telah lama terjadi privatisasi sektor publik seperti jalan tol, air, pertambangan gas, minyak bumi dan mineral. Akibatnya, jutaan rakyat terhalang untuk menikmati hak mereka atas sumber-sumber kekayaan tersebut yang sejatinya adalah milik mereka.

Akibat lanjutannya, menurut laporan tahunan Global Wealth Report 2016, Indonesia menempati negara keempat dengan kesenjangan sosial tertinggi di dunia. Diperkirakan satu persen orang kaya di Tanah Air menguasai 49 persen total kekayaan nasional.

Di sisi lain rakyat seolah dibiarkan untuk hidup mandiri. Penguasa/negara lebih banyak berlepas tangan ketimbang menjamin kebutuhan hidup rakyatnya. Di bidang kesehatan, misalnya, rakyat diwajibkan membayar iuran BPJS setiap bulan. Artinya, warga sendiri yang menjamin biaya kesehatan mereka, bukan negara.

Dalam konteks global, di semua negara yang menganut kapitalisme-liberalisme-sekularisme telah tercipta kemiskinan dan kesenjangan sosial. Hari ini ada 61 orang terkaya telah menguasai 82 persen kekayaan dunia. Di sisi lain sebanyak 3.5 miliar orang miskin di dunia hanya memiliki aset kurang dari US$ 10 ribu.

Karena itu mustahil kemiskinan bisa dientaskan bila dunia, termasuk negeri ini, masih menerapkan sistem yang rusak ini. Bahkan Oxfam International yang meriset data ini menyebut fenomena ini sebagai “gejala sistem ekonomi yang gagal!” (Tirto.id, 22/01/2018).

Karena itu saatnya kita mencampakkan sistem selain Islam yang telah terbukti mendatangkan musibah demi musibah kepada kita. Sudah saatnya kita kembali pada syariah Islam yang berasal dari Allah SWT. Hanya syariah-Nya yang bisa menjamin keberkahan hidup manusia. Syariah akan menjadi rahmat bagi mereka (Lihat: QS al-Anbiya’ [21]: 107).

Lebih dari itu, penerapan syariah Islam secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan adalah wujud ketakwaan yang hakiki kepada Allah SWT. (*)

 

Penulis

Sriwidarti, S.Pd
(Tenaga Pendidik)

 

***

 

Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.

error: Content is protected !!