OPINI—Angka prevalensi stunting di Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar) mencapai 33,8 persen atau sebanyak 479.699 anak. Angka tersebut menempatkan Sulbar di posisi kedua provinsi dengan stunting tertinggi di Indonesia setelah Nusa Tenggara Timur (NTT).
Kepala Perwakilan BKKBN Sulawesi Barat (Sulbar) Nuryamin menyampaikan data pravelensi stunting 2022 tidak sesuai harapan. Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) pravelensi stunting tahun 2021 mencapai 33.8 persen, sementara target pencapaian hingga akhir tahun 2022 seharusnya berada diangka 28.49 persen.
Ada beberapa faktor penyebab angka stunting tinggi di Sulbar. Beberapa di antaranya disebabkan oleh prilaku dan budaya warga, termasuk wilayah yang sulit dijangkau ketersediaan pangan, ini berarti kemiskinan juga mempengaruhi tingginya angka stunting warga miskin di Sulawesi Barat (Sulbar) bertambah.
Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan Sulbar pada September 2022 169,26 ribu jiwa. Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sulawesi Barat telah merilis angka kemiskinan September 2022.
Persentase jumlah penduduk miskin Sulawesi Barat pada September 2022 sebesar 11,92 persen, meningkat 0,17 persen poin dibandingkan Maret 2022. Jumlah ini mengalami peningkatan sebesar 3,54 ribu jiwa, jika dibandingkan Maret 2022. (tribunSulbar.com, 20/01/23)
Problem Kemiskinan
Stunting adalah gangguan pertumbuhan pada anak akibat dari kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama menyebabkan tinggi badan anak lebih pendek dari standar tinggi badan anak seusianya. Permasalahan stunting di Indonesia merupakan tantangan yang harus diatasi dengan baik.
Kemiskinan merupakan salah satu hal yang dapat menyebabkan stunting pada balita. Tingkat kemiskinan di Indonesia pada tahun 2022 sebesar 9.54%. Pemerintah Indonesia terus berupaya untuk menurunkan tingkat kemiskinan hingga 6-7% pada tahun 2024.
Kemiskinan dapat mempengaruhi tingkat kualitas sumber daya manusia yang dapat berpengaruh pada indeks pembangunan manusia (IPM). Studi menjelaskan bahwa nilai IPM memiliki pengaruh yang negatif terhadap stunting. Apabila nilai IPM rendah maka angka stunting akan tinggi, begitupun sebaliknya.
Deraan kemiskinan telah memaksa para ibu membanting tulang, padahal diantara mereka ada ribuan ibu hamil dan ibu menyusui. Bagi ibu menyusui kelelahan fisik dan mental akibat beban ganda yang harus dipikulnya dapat menurunkan kualitas dan kuantitas ASI. Ini antara lain semakin banyak bayi tidak diberi ASI, disamping faktor keterbatasan waktu, dan gencarnya iklan susu formula.
Liberalisasi ekonomi pada faktanya telah melahirkan kemiskinan sistematik. Liberalisasi pengelolaan sumber daya alam adalah salah satunya. Kekayaan alam Indonesia yang melimpah ruah ternyata tak bisa dirasakan sepenuhnya kemanfaatannya oleh rakyat.