INSPIRASI—Seperti biasa, usai shalat subuh saya ke lapangan depan rumah. Pejalan kaki ramai joging, Saya ikut olahraga ringan tersebut, namun hari ini Minggu (29/5/2022) hanya beberapa gerakan ringan saja kemudian saya menuju jalan raya menyusuri Jalan Lasuloro Raya depan Kantor Polsek Manggala, Polres Makassar, ke arah kanan.
Di pertigaan Jl AMD Borong Jambu, pandangan saya tertuju pada kerumunan orang dekat pangkalan ojek menuju kampung Nipa-Nipa, tepatnya di penjual nasi kuning lauk paru daging dan ‘toppalada’ yang ratusan pelanggannya, antri tiap pagi. Saya juga termasuk penggemarnya beratnya.
Sayapun harus mendaftar untuk mengantri, saya dapat antrian nomor 29, padahal baru pukul 6.00 pagi. Luar biasa rejeki sepasang suami istri asal Jawa ini, sementara beberapa penjual tetangganya, sepi walau jualannya sama.
Pelanggannya, ada yang menunggu di atas motor, jongkok dan berdiri di tepi jalan. Nomor hingga 100 ini, kadang berulang digunakan lagi tiap hari hingga maksimal pukul 9 pagi, sudah ludes.
Menghilangkan rasa jenuh menunggu, saya balik arah ke ‘Pasar Jongkok‘ melihat suasana yang sering menimbulkan kemacetan arus lalulintas. Alhamdulillah, ternyata Minggu pagi ini agak lenggang, lancar aman terkendali.
Teringat beberapa tahun lampau, saya prakarsai adanya pasar rakyat, sekalipun ada lokasi pasar milik Pemkot di area Perumnas Antang disiapkan, namun para penduduk ‘tetangga’ Perumnas dari kampung Macinna Kabupaten Gowa dan Moncongloe Kabupaten Maros yang menjajakan hasil pertanian dan perkebunannya lebih memilih memasarkan di jalan raya antara Blok 3 dan Blok 5, dekat mbak Penjual nasi kuning ini.
Mengapa mereka tak berminat..? Saya amati, kendalanya hanya karena jalur angkutan kota yang di Makassar dikenal denhan sebutan petepete tak melayani lokasi itu lewat Jl.Perumnas Raya termasuk syarat untuk menjual di pasar Pemkot itu.
Awalnya, mereka dinilai ikut membantu warga dan tepat waktu meninggalkan tempatnya. Namun setelah ‘larismanis’ para penjual lupa janji. Kadang warga kesulitan gunakan jalan raya.
Akhirnya, saya mengajak Lurah dan Kanit Binmas Polsek mencari solusi. Masalahnya, satu sisi harus juga difikirkan terbukanya lapangan kerja, apalagi saat itu, tindak kriminal sangat tinggi, khususnya pencurian dan kekerasan di Manggala.
Alhamdulillah setelah negosiasi, mereka sepakat pindah ke lokasi kosong tak jauh dari tempat semula, setelah ‘deal’ syaratnya dengan pemilik tanah, salah seorang penduduk asli yang berbatas dengan kelurahan Tamangapa.
Karena ‘situasi darurat’, mereka cuma jongkok menjajakan jualannya sambil menunggu rampungnya penataan Pasar ‘Jongkok’ ini.
Waktu merangkak terus, pasar serba ada dan terbilang murah itu berkembang pesat, lengkap buras, ketupat dan kulinernya. Juga, pakaian.
“Apapun yang anda cari di Pasar Terong, Kalimbu, Mariso, Pannampu maupun di pasar Sentral, ada di sini juga pak,” komentar seorang pembeli.
Dampak negatifnya, kembali persoalan arus lalu lintas mengganggu pengguna jalan. Positifnya, selain membuka lapangan kerja juga meningkatkan kesejahteraan warga sekitarnya yang ikut berjualan di pasar jongkok ini.
Sebagai rakyat yang punya Pemerintah, mereka kini hanya menunggu pembinaan pihak berwenang untuk kelangsungan hidup. Bukan di’rata’kan berdalih penertiban.. Itu saja.
Eh, hampir lupa Nasi kuningku.. Sarapan dulu, sambil menulis cerita Diary Andi Pasamangi Wawo ini. (*)