Advertisement - Scroll ke atas
Nasional

Pembekuan Bantuan AS Ganggu Operasi LSM di Indonesia

570
×

Pembekuan Bantuan AS Ganggu Operasi LSM di Indonesia

Sebarkan artikel ini
Pembekuan Bantuan AS Ganggu Operasi LSM di Indonesia
Sumbangan bahan pangan dari USAID untuk Program Pangan Dunia PBB (WFP) (Foto: ilustrasi)

JAKARTA—Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Indonesia terdampak langsung oleh pembekuan bantuan asing Amerika Serikat (AS) serta rencana penutupan Badan Pembangunan Internasional AS (USAID). Para pengamat menilai langkah ini berisiko merusak hubungan AS dengan mitra-mitranya di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Presiden Donald Trump membekukan hampir seluruh bantuan asing AS, termasuk dana yang dialokasikan melalui USAID. Akibatnya, berbagai LSM di Indonesia mengalami kesulitan dalam menjalankan program-program mereka.

Advertisement
Scroll untuk melanjutkan

Indonesia AIDS Coalition, yang fokus pada pengentasan HIV/AIDS, terpaksa menghentikan operasional lapangan. Direktur Eksekutif Aditya Wardhana menyatakan bahwa ratusan petugas lapangan kini kehilangan pekerjaan.

“Ada sekitar 200 hingga 300 petugas lapangan yang seharusnya bekerja setiap hari. Kini mereka telah menerima surat pemberhentian,” ujarnya dalam wawancara dengan VOA di Jakarta.

Dampak serupa dirasakan Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia yang mengadakan pelatihan bagi jurnalis di bidang lingkungan. Sekretaris Jenderal Fira Abdurrahman mengaku terkejut dengan kebijakan ini.

“Kami memahami bahwa kebijakan luar negeri AS akan mengalami perubahan, tetapi kami tidak menyangka kejadiannya berlangsung secepat dan sedrastis ini,” katanya.

Sementara itu, seorang penerima dana USAID yang meminta identitasnya dirahasiakan mengeluhkan kurangnya komunikasi dengan pihak USAID.

“LSM yang berada di bawah USAID tidak bisa mendapatkan informasi yang jelas. Kami diminta menghentikan pekerjaan, tetapi tidak diberi kesempatan berdiskusi,” ungkapnya.

Pada tahun fiskal 2023, AS mengalokasikan dana sebesar 230 juta dolar AS (sekitar 3,6 triliun rupiah) untuk berbagai program di Indonesia. Dana ini digunakan untuk lebih dari 50 program, termasuk di bidang kesehatan, pemberdayaan perempuan wirausaha, dan manajemen bencana.

USAID, yang didirikan pada 1961 di bawah kepemimpinan Presiden John F. Kennedy, merupakan salah satu badan pemberi bantuan terbesar di dunia. Meskipun memiliki peran besar, USAID hanya menggunakan kurang dari 1% dari total anggaran pemerintah federal AS.

Sejak dilantik, Presiden Trump telah membekukan bantuan asing selama 90 hari untuk meninjau program-program yang sesuai dengan kebijakan “America First.” Bahkan, Departemen Efisiensi Pemerintah yang dipimpin oleh miliarder Elon Musk menyatakan bahwa Trump telah menyetujui penutupan USAID. Situs resmi USAID kini mengindikasikan bahwa pegawai di seluruh dunia akan dicutikan dan dipulangkan ke AS.

Profesor pembangunan internasional dari Georgetown University, Raj M. Desai, menilai langkah ini sebagai kebijakan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

“Bantuan luar negeri AS selalu mendapat dukungan dari presiden, baik dari Partai Demokrat maupun Partai Republik,” katanya.

Ia mencontohkan peningkatan signifikan bantuan luar negeri pada era Presiden Ronald Reagan dan George W. Bush, termasuk pendanaan besar untuk program penanggulangan AIDS, PEPFAR.

Bantuan asing tidak hanya menguntungkan penerima, tetapi juga membawa manfaat bagi AS sendiri. Menurut Desai, negara-negara yang pernah menerima bantuan luar negeri AS kini menjadi mitra dagang utama AS.

“Bantuan ini membangun hubungan ekonomi dan komersial yang saling menguntungkan,” tambahnya.

Patrick M. Cronin, pengamat dari Hudson Institute dan mantan pejabat tinggi USAID, menekankan bahwa bantuan asing juga berperan dalam keamanan nasional AS.

“Kami terlibat di negara-negara yang rapuh dan berkonflik, seperti Afghanistan. Bantuan ini penting untuk stabilitas global,” ujarnya.

Para pengamat memperingatkan bahwa penghentian bantuan asing dapat melemahkan pengaruh AS di negara-negara mitra dan memberi peluang bagi pesaingnya, seperti China.

“Amerika perlu membangun kepercayaan dan niat baik di kawasan. Bantuan asing adalah salah satu cara terbaik untuk mencapai tujuan tersebut,” jelas Patrick.

Raj M. Desai menambahkan bahwa kebijakan ini dapat memperlebar ruang bagi China, khususnya di Asia Tenggara.

Sementara itu, LSM di Indonesia mulai mencari sumber pendanaan alternatif dari negara atau lembaga amal lain untuk memastikan keberlanjutan program mereka. (Ag4ys/VoA)

error: Content is protected !!