OPINI—Kasus kekerasan seksual yang terjadi di tengah masyarakat semakin membuat resah. Kasus bunuh diri seorang gadis yang di paksa aborsi sebanyak dua kali karena hamil di luar nikah oleh pasangannya hingga pemerkosaan sejumlah santriwati oleh guru di sebuah pesantren, menjadi peringatan bahwa kekerasan seksual harus segera dihentikan.
Berbagai macam wacana dimunculkan untuk mencegah agar kasus ini tidak berulang. Kampanye dan webinar yang mengusung anti kekerasan seksual gencar dilakukan oleh berbagai kalangan. Hingga regulasi pemerintah dalam berbagai macam draft telah digelontorkan dan siap untuk disahkan.
Sebut saja Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 untuk mencegah terjadinya kasus kekerasan seksual di kalangan perguruan tinggi dan yang terakhir ada wacana pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).
Namun regulasi ini masih menimbulkan polemik di tengah masyarakat dan dianggap tidak menjadi solusi. Sebab dalam draft Undang-undang tersebut, frasa sexual consent masih menjadi paradigma yang justru akan semakin membuka lebar ruang bagi ide-ide kebebasan termasuk kebebasan seksual.
Paradigma Liberal Kaum Feminis
Majelis Ormas Islam (MOI) secara resmi mendatangi DPR untuk menyampaikan aspirasi tetang Permendikbudrustek No. 30 tahun 2021 dan juga telah menyatakan sikap terhadap wacana pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Salah satu himbauan MOI adalah agar DPR menghilangkan seluruh paradigma sexual consent dalam draft RUU TP-KS dan kerangka berpikir feminist legal theory yang tidak sejalan dengan Pancasila, Agama dan Budaya. (Hidayatullah.com, 14/12/2021)
Sementara itu, dalam diskursus feminisme, orang dikatakan memiliki otoritas atas tubuhnya jika dia memiliki kontrol atas tubuh tersebut secara merdeka. Pihak lain harus meminta izin jika hendak melakukan akses terhadap diri tersebut. Persetujuan merupakan bentuk konfirmasi dan menggambarkan kesediaan seseorang atas resiko-resiko yang mungkin akan terjadi. Sheila Jeffreys seorang feminis Inggris dalam “Consent and the Politics of Sexuality”
Persetujuan seksual (sexual consent) adalah persetujuan untuk melakukan kegiatan seksual. Kegiatan seksual tanpa adanya persetujuan dianggap sebagai pemerkosaan atau serangan seksual lainnya. (Wikipedia).
Frasa sexual consent justru bisa menjadi bumerang. Alih-alih aturan ini ingin dibuat untuk mencegah terjadinya kasus kekerasan seksual, justru dengan adanya frasa ini akan semakin melegalkan kebebasan seksual.
Melegalisasi aturan yang mengusung paham kebebasan akan semakin membuat negeri ini berada dalam kerusakan. Penyimpangan seksual akan tumbuh subur, pergaulan bebas akan meraja lela, perzinahan dan aborsi akan semakin sulit dikendali. Bahkan, tatanan keluarga akan runtuh dengan maraknya kasus perselingkuhan. Toh, tidak ada larangan jika atas dasar ‘suka sama suka’. Bahkan, kriminalitas seksual yang dipicu dengan adanya paham kebebasan ini akan menjadi momok yang sangat menakutkan.
Inilah liberalisme, yaitu sebuah pemahaman yang menanamkan keyakinan bahwa manusia bebas mengelola hidupnya. Paham liberalisme ini mengagungkan kebebasan individu, baik dalam berpendapat, berperilaku, beragama maupun dalam kepemilikan. Paham liberalisme ini telah memasuki setiap sendi kehidupan. Kampanye kebebasan sangat masif di berbagai media khususnya media sosial. Apalagi industri hiburan saat ini. Walhasil, masyarakat yang setiap saat disuguhi ide-ide kebebasan tanpa adanya filter akan menjadi rusak.
Bukan Soal Sexual Consent
Memang tidak bisa dipungkiri jika kasus kekerasan seksual ini terus meningkat setiap tahunnya. Data Kemen PPPA menyebutkan bahwa pada tahun 2019 kasus Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) tercatat sekitar 8.800 kasus. pada 2020 sempat turun di angka 8.600 kasus. Lalu data November 2021 naik lagi di angka 8.800 kasus. Artinya dalam tiga tahun terakhir hingga November 2021 sudah ada 26.200 kasus Ktp dengan 11,33% di antaranya adalah kekerasan seksual. Sementara Kekerasan terhadap Anak (KtA), hingga November 2021 terdapat 12. 566 kasus dengan 45% di antaranya adalah kasus kekerasan seksual.
Kasus yang terus berulang bukan tanpa dibarengi solusi. Berbagai macam regulasi telah dibuat, namun hasilnya tetap nihil. Bahkan sesuai data yang disebutkan di atas, justru terjadi peningkatan. Mungkin saatnya melakukan pembenahan yang lebih terarah.
Bercermin kepada Islam sebagai agama yang paripurna. Memiliki seperangkat aturan yang bisa menyelesaikan berbagai macam masalah dalam kehidupan ini. Aturan Islam yang bersifat preventif mampu mengantisipasi masalah agar tidak berkembang lebih luas. Misalnya dalam surah Al Isra ayat 32, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya:
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”
Dalam ayat ini jelas terlihat bagaimana upaya islam dalam mencegah terjadinya perzinahan. Ayat ini juga didukung oleh ayat-ayat terkait lainnya dalam mencegah terjadinya perzinahan seperti ayat tentang kewajiban menutup aurat, menjaga pandangan, serta pemisahan kehidupan laki-laki dan perempuan.
Namun jika tetap terjadi, negara dengan sistem sanksi yang kuat akan menindak tegas pelakunya dengan hukuman yang menciptakan efek jera, bahkan luar biasanya lagi, hukuman ini bisa menjadi penebus dosa bagi pelakunya.
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kamu kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.” (TQS. An Nur: 2).
Wallahu ‘alam bisshawab
Penulis: Indah Dahriana Yasin (Ketua Yayasan Cinta Abi-Ummi Makassar)
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.