OPINI—Terdapat 3.000 warga di 12 desa yang ada di Kecamatan Latimojong, Kabupaten Luwu masih terisolasi. Tiga jembatan yang menjadi akses ke daerah tersebut terputus, akibat banjir dan tanah longsor yang terjadi pada Jumat, 3 Mei 2024 (rakyatsulsel.fajar.co.id, 5/5/2024). Pun beredar di grup-grup Whatsapp, seorang ibu menangisi rumahnya yang hanyut terbawa arus banjir dan anaknya yang entah dimana. Sungguh suatu pemandangan yang sangat memilukan.
Gelombang air bercampur lumpur menerjang 13 kecamatan di wilayah Kabupaten Luwu. Kepanikan warga sudah bisa dibayangkan di tengah lelapnya tidur malam. Sekitar pukul 01.17 WITA, air mulai menghantam apa saja yang dilaluinya.
Bahkan beberapa rumah ikut terseret akibat derasnya aliran air bercampur lumpur dan ranting kayu. Beberapa warga dinyatakan hilang dan ditemukan sudah tidak bernyawa lagi. Sampai tulisan ini dibuat, ada 14 korban meninggal dunia dalam peristiwa nahas tersebut. Sementara tim Basarnas masih terus melakukan pencarian. Disinyalir korban meninggal masih terus bertambah.
Seperti dikutip dari laman bnpb.go.id, berdasarkan laporan Pusat Pengendalian Operasi (Pusdalops) BNPB per Sabtu (5/5) pukul 16.00 WITA, sebanyak 3.479 Kepala Keluarga (KK) terdampak. 115 jiwa mengungsi di beberapa lokasi antara lain; Masjid Pajang 60 orang, Masjid Malela 30 orang, Masjid Cimpu 25 orang, dan sebagian lainnya mengungsi di rumah kerabat.
Adapun kerugian materi terdata kaji cepat antara lain sebanyak 211 unit rumah hanyut dan rusak berat, 3.268 rumah terendam. Beberapa pagar perkantoran rubuh antara lain; pagar kantor KUA Kecamatan Suli, pagar SDN Lindajang di Kecamatan Suli Barat, pagar SDN Kecamatan Suli, dan pagar MTs Suli di Kecamatan Suli. Beberapa jalan dan jembatan ikut terputus akibat tergerus banjir dan longsor.
Penyebab Utama Bencana
Hujan yang mengguyur Bumi Sawerigading hampir sepekan, ditengarai penyebab bencana banjir dan longsor. Namun, jika ditelisik lebih dalam seolah bukan sekadar problem cuaca ekstrem. Tersebab material yang ikut hanyut terbawa aliran air yang tingginya sekitar 1-3 meter, juga membawa lumpur dan ranting-ranting pohon. Hal ini mengindikasikan terjadinya erosi pada hulu sungai. Kondisi ini juga dipertegas dalam banyak foto dan video yang beredar di media sosial dan sumber primer yang bisa dipercaya.
Penulis merasa terpanggil untuk menelaah problem mendasar penyebab banjir dan longsor ini. Lebih urgen lagi menganalisis problem sistemik sebagai konsekuensi dari penerapan sistem saat ini, yakni sistem Kapitalisme. Tersebab jika hanya perkara teknis, tentu bencana berulang tidak akan terjadi dalam skala yang lebih luas dengan genangan yang lebih tinggi.
Pasalnya, bencana banjir terjadi pula di beberapa kabupaten pada saat yang sama; seperti Enrekang, Wajo, dan Sidrap. Jika melihat skala nasional, hampir merata di seluruh wilayah Indonesia. Artinya, ada kesamaan kesalahan paradigma dalam mengelola negeri ini.
Tak dimungkiri, alih fungsi lahan diduga kuat penyebab berbagai bencana. Banyaknya persawahan yang disulap menjadi permukiman, hutan menjadi nonhutan/perkebunan, aktivitas penambangan ugal-ugalan, deforestasi jorjoran, dan aktivitas semisalnya.
Kondisi di atas sudah berulang terjadi di beberapa tempat berbeda. Kali ini di Kabupaten Luwu. Seperti yang ramai beredar di media sosial, aktivitas penambangan oleh sebuah perusahaan tambang emas diduga kuat menjadi pemicu bencana ini.
Padahal, masyarakat setempat dan pemerhati lingkungan sudah memberi alarm akan bahaya yang akan terjadi. Namun, apa daya kekuatan kekuasaan dalam sistem demokrasi begitu kuat. Lingkaran setan pengusaha dan penguasa nampak begitu jelas.
Tentu menjadi evaluasi bersama bahwa negeri kita dalam kondisi tidak baik-baik saja, bahkan sangat mengkhawatirkan. Bencana alam menjadi pemandangan yang lumrah, terlebih banjir dan tanah longsor. Rakyat seakan digiring pada opini bahwa bencana yang terjadi disebabkan faktor cuaca ekstrem semata. Akhirnya menjadi permakluman, tanpa melihat lebih jauh akar masalahnya.
Inilah buah dari penerapan sistem Kapitalisme dengan sistem politik demokrasinya. Menjadikan kedaulatan di tangan rakyat. Rakyat yang diwakili oleh segelintir orang yang duduk di DPR, membuat aturan sesuai kepentingan partai atau golongan. Dari situ aroma kongkalikong antara penguasa dan pengusaha tak dapat dielakkan.
Tersebab, demokrasi berbiaya mahal dan di-support oleh para pengusaha atau kapitalis. Plus asas yang rusak, yakni pemisahan agama dari kehidupan (sekuler) menjadikan segala transaksi tidak lagi memperhatikan boleh atau tidak, halal atau haram. Sempurnalah kerusakan yang melahirkan kezoliman seperti yang terjadi saat ini. Berujung pada penderitaan rakyat tak bertepi.
Jika demikian, lalu apa yang harus dilakukan? Sebagai manusia tentu sangat sedih melihat kondisi saudara-saudara kita yang tertimpa bencana. Pasca bencana pun, problem belum selesai. Kerugian tak berbilang, baik materi maupun non-materi.
Oleh karena itu, rakyat harus terus diedukasi bahwa sistem hari ini adalah sistem rusak dan merusak. Terlebih sebagai seorang muslim, pengelolaan bumi harus sesuai dengan aturan Sang Khalik. Aturan yang memang harus diterapkan di bumi untuk kesejahteraan seluruh manusia.
Solusi Fundamental
Berbicara terkait pengelolaan bumi, Islam punya instrumen yang sangat unik dan detail. Hal ini karena Islam bukan sekadar agama ritual, tetapi Islam sebagai sebuah ideologi. Islam yang mengurusi seluruh urusan rakyat dengan aturan Sang Pencipta manusia dan seluruh isi semesta. Karena Dia-lah yang paling tahu apa yang terbaik buat makhluknya. Islam politik yang pernah diterapkan oleh manusia mulia, Muhammad saw. beserta para sahabat sepeninggal Beliau.
Terkait aktivitas penambangan emas yang diduga kuat memicu bencana banjir dan longsor di Kab. Luwu, Islam memiliki instrumen mumpuni. Barang tambang yang potensinya besar dalam pandangan syariat adalah terkategori kepemilikan umum. Negara secara mandiri dan independen mengatur pengelolaannya sesuai dengan rambu-rambu syariat. Tidak boleh diserahkan kepada asing, apalagi dengan akad/transaksi ribawi.
Adapun perkara teknis, negara melibatkan para ahli dalam pengelolaannya. Nilai kebermanfaatan untuk manusia dan penjagaan terhadap lingkungan menjadi prioritas. Karena, Islam melarang aktivitas pengrusakan termasuk lingkungan, sebab lingkungan merupakan penyangga kehidupan manusia.
Sebagaimana dalam QS. Ar-Rum ayat 41, yang artinya: Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
Demikianlah sekelumit instrumen Islam dalam menyolusi pengelolaan salah satu jenis kepemilikan umum. Dengannya akan tercipta kesejahteraan untuk semua manusia. Tidak ada lagi bencana banjir dan longsor dan bencana-bencana lainnya yang akan membawa penderitaan dan tangis pilu rakyat kecil.
Wallahualam bis Showab.
Penulis:
Dr. Suryani Syahrir, S.T., M.T.
(Dosen dan Pemerhati Sosial)
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.