OPINI—Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat 10 juta Gen Z usia kerja masih menganggur. Lebih tepatnya, 22,25% dari 44,47 juta generasi muda berusia 15 hingga 24 tahun merupakan pengangguran. Menurut BPS, fenomena ini tergolong NEET (Not in Education, Employment, dan Training). Artinya, Gen Z tidak sedang belajar, bekerja, ataupun mengikuti pelatihan (detik.com, 26 Mei 2024).
Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah menjelaskan tingginya angka pengangguran pada Gen Z disebabkan oleh beberapa faktor. Diantaranya, dunia kerja saat ini memerlukan keahlian yang lebih kompleks dan adaptif, sementara sistem pendidikan belum sepenuhnya beradaptasi dengan kebutuhan tersebut.
Selain itu, kurangnya pengalaman kerja juga menjadi kendala lainnya. Di sisi lain, sebagian Gen Z memiliki ekspektasi gaji yang tinggi namun tidak sesuai dengan keterampilan dan pengalaman mereka, serta hanya memiliki sedikit informasi mengenai peluang kerja. (Suara.com, 27 Mei 2024).
Banyaknya pengangguran di kalangan generasi muda menunjukkan bahwa potensi mereka masih terabaikan. Padahal, pemuda mempunyai peranan penting dalam pembangunan negara. Namun, mereka dibiarkan berjuang sendiri tanpa adanya peran negara dalam menyediakan lapangan kerja bagi mereka.
Lepas Tangannya Negara dalam Menciptakan Lapangan Pekerjaan
Masalah pengangguran masih menjadi masalah utama bagi pemerintah. Padahal, pengangguran mempunyai korelasi positif dengan kemiskinan. Pada saat yang sama, kemiskinan merupakan salah satu faktor penyebab berbagai kerawanan sosial, sekaligus menjadi indikator minimnya tingkat kesejahteraan.
Berbagai upaya telah dilakukan. Namun nampaknya dari satu rezim ke rezim lainnya, pengangguran masih terus menjadi masalah turun temurun yang sulit diberantas, bahkan hingga saat ini. Hal ini sejalan dengan kondisi makro ekonomi global yang semakin kacau. Permasalahannya, selama ini pemerintah hanya fokus pada aspek penyediaan tenaga kerja dan belum pada aspek permintaan, khususnya penciptaan lapangan kerja.
Begitu pula dengan program Kartu Prakerja yang dicanangkan Presiden Jokowi pada April 2020. Dana yang digelontorkan untuk proyek ini sebesar Rp21,1 triliun. Menurut laporan, sebanyak 16,4 juta warga negara Indonesia telah mengikuti program Kartu Prakerja dan 5,6 juta di antaranya sudah bekerja.
Di sisi lain, pemerintah membuka keran yang sebesar-besarnya bagi para investor asing dalam mengelola Sumber Daya Alam (SDA). Sehingga memicu masuknya tenaga kerja asing di tengah rakyat yang butuh lapangan pekerjaan. Inilah dampak dari penerapan ideologi kapitalisme liberal, negara hanya berperan sebagai regulator bukan pelayan masyarakat. Negara seolah berlepas tangan terhadap kebutuhan masyarakat termasuk dalam menyediakan lapangan pekerjaan.
Islam Solusi Tuntas
Berbeda dengan sistem kapitalisme sekuler, dalam Islam, penguasa atau negara menganggap dirinya sebagai pengurus dan penjaga. Adanya dimensi akhirat dalam kepemimpinan umat Islam membuat para pemimpin takut akan kezaliman terhadap rakyatnya. Mereka akan berusaha semaksimal mungkin untuk merawat dan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dengan menerapkan syariat Islam sebagai pedoman hidup.
Ajaran Islam menetapkan mekanisme untuk menjamin kesejahteraan seluruh rakyat dengan mewajibkan bagi laki-laki untuk bekerja. Namun hal ini tentu memerlukan dukungan negara, berupa sistem pendidikan yang memadai, agar masyarakat, khususnya laki-laki, memiliki akhlak muslim yang baik serta keterampilan yang mumpuni.
Pada saat yang sama, negara juga mempunyai kewajiban untuk menyediakan peluang kerja halal dan lingkungan bisnis yang menguntungkan. Cara tersebut akan memperluas akses terhadap sumber daya ekonomi halal dan mencegah penguasaan barang publik oleh sebagian masyarakat, terutama asing. Termasuk mencegah berkembangnya sektor nonriil yang kerap membuat mandek, bahkan menghancurkan perekonomian negara.
Sektor-sektor yang potensinya sangat besar, seperti pertanian, industri, perikanan, perkebunan, pertambangan, dan sejenisnya akan digarap secara serius dan sesuai dengan aturan Islam. Pembangunan dan pengembangan sektor-sektor tersebut dilakukan secara merata di seluruh wilayah negara sesuai dengan potensinya.
Negara akan menerapkan politik industri yang bertumpu pada pengembangan industri berat. Hal ini akan mendorong perkembangan industri-industri lainnya hingga mampu menyerap ketersediaan sumber daya manusia yang melimpah ruah dengan kompetensi yang tidak diragukan sebagai output sistem pendidikan Islam.
Negara juga dimungkinkan untuk memberi bantuan modal dan memberi keahlian kepada rakyat yang membutuhkan. Bahkan, mereka yang lemah atau tidak mampu bekerja akan diberi santunan oleh negara hingga mereka pun bisa tetap meraih kesejahteraan.
Layanan publik dipermudah, bahkan digratiskan sehingga apa pun pekerjaannya tidak menghalangi mereka untuk bisa memenuhi kebutuhan dasar, bahkan hidup secara layak. Dengan begitu, kualitas SDM pun akan meningkat dan siap berkontribusi bagi kebaikan umat.
Semua ini kembali pada soal paradigma kepemimpinan Islam yang berperan sebagai pengurus dan penjaga. Seorang kepala negara akan bertanggung jawab terhadap semua yang dipimpinnya. Jika hanya satu orang saja yang menderita karena salah urusnya, maka penguasa harus siap mempertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. (*)
Penulis:
Muthmainnah Ilham, S.Pd., M.Si
(Guru dan Pemerhati Remaja)
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.