OPINI—Tak dimungkiri pembangunan infrastruktur di seluruh wilayah Indonesia digenjot sedemikian rupa, tak terkecuali di Sulsel. Hadirnya Kereta Api (KA) di luar Pulau Jawa seolah menjadi angin segar bagi rakyat Sulsel sekaligus sebagai sebuah pencapaian luar biasa bagi pemerintah. Pemerataan pembangunan menjadi dalih selain diklaim menjadi katalisator penggerak roda perekonomian. Benarkah KA bagi rakyat Sulsel adalah sesuatu hal yang urgen?
Berbicara terkait pembangunan infrastruktur (terkhusus KA), maka akan bersinggungan langsung dengan beberapa aspek. Diantaranya aspek sosial dan ekonomi. Misal terkait pembebasan lahan yang cukup alot di beberapa daerah atau segmen dimana akan dilalui jalur KA Makassar-Parepare.
Selain itu hal paling urgen adalah perkara pembiayaan. Tersebab pembangunan KA butuh dana yang lumayan fantastis, sedangkan utang Indonesia terus bertambah. Sebuah paradigma berpikir yang tidak realistis, terkesan sangat dipaksakan.
Selanjutnya masih terkait aspek sosial adalah problem lingkungan akibat alih fungsi lahan. Jauh-jauh hari, WALHI sudah memberikan alarm akan dampak kerusakan lingkungan akibat pembangunan KA ini.
Disinyalir banjir yang menggenang kabupaten Barru dalam beberapa tahun pasca dibangunnya rel KA juga di-amin-kan oleh PT Celebes Railway Indonesia (CRI). CRI mengidentifikasi penyebab banjir diduga akibat rel kereta api (makassar.tribunnews.com, 24/1/2023).
Dari aspek ekonomi pun tak memberi dampak yang cukup signifikan bagi warga sekitar. Bahkan, dari wacana yang berkembang bahwa jalur KA akan terkoneksi dengan dua perusahaan besar yakni PT Semen Tonasa dan Bosowa Semen.
Dimana dijelaskan bahwa fungsi KA disamping mengangkut penumpang juga mengangkut logistik, salah satunya adalah semen. Lalu jika demikian, rakyat dapat apa? Rasanya mudah ditebak bahwa rakyat sering kali hanya mendapatkan residu pembangunan dari hasil paradigma pembangunan dalam sistem kapitalisme.