OPINI—Di tengah genosida yang masih menimpa saudara Muslim kita di Gaza hingga hari ini, tetiba kita menyaksikan sekelompok pemuda yang berfoto “mesra” dengan pemimpin negara tersebut. Ibarat luka yang meradang, tetiba ditabur garam pada luka itu. Rasanya perih dan sakit yang tak berkesudahan. Hingga hari ini genosida itu telah menelan korban jiwa sebanyak 38.584 jiwa meninggal, sementara luka luka 88.800 orang (kompas.tv).
PBNU sendiri sudah buka suara terkait lima Nahdliyin yang terbang ke Israel itu. PBNU akan melakukan klarifikasi terlebih dulu kepada lima orang bertemu Presiden Israel.
Savic Ali menyesalkan lima Nahdliyin yang bertemu Presiden Israel Isaac Herzog. Kunjungan itu dinilai sebagai tindakan orang yang tak memahami geopolitik, tak mengerti kebijakan NU secara organisasi, serta perasaan seluruh warga NU. (nu.or.id, 14/7/2024)
Sementara wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) PP Muhammadiyah Ismail Fahmi mempertanyakan rasa bangga dari rombongan tersebut usai berfoto dengan Presiden Israel.
“Kok bisa bangga dengan berfoto seperti ini ya? Apakah tidak bisa membaca strategi yang sedang dijalankan oleh presiden Israel?,” tulis Ismail Fahmi melalui cuitan di salah satu akun pribadinya. (fajar.co.id, 15/7/20024)
Bukan Pertama Kalinya
Tentu pertemuan seperti ini bukan yang pertama kalinya, meski kejadiannya sudah lama saat itu Katib Aam PBNU Yahya Cholil Staquf pernah bertemu dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada Juni tahun 2018 silam.
Alasannya cukup klise, katanya hanya oknum Individu dan tidak mewakili NU, tapi satu rombongan ?. Pertanyaannya, apakah Presiden Israel mau bertemu dengan mereka secara personal jika tidak mewakili NU?. Dikatakan juga pertemuan tersebut bertujuan untuk mengemukakan gagasan dan mengedepankan politik diplomasi.
Jika dengan mengemukakan gagasan dan diplomasi bisa berhasil menghentikan perang yang ada di Gaza, secara logika harusnya PBB sudah berhasil, tapi faktanya sampai hari ini PBB tidak mampu mengentikan genosida di Gaza.
Sebenarnya alasan apapun itu, dengan bertemunya mereka akan membawa opini baik ke pihak penjajah, bisa saja pertemuan itu justru digunakan Israel untuk menunjukkan bahwa ada kalangan muslim yang berpihak mereka, buruknya bisa memecah belah umat hari ini.
Jadi, sudah semestinya NU tegas kepada dirinya sendiri, jangan bersembunyi di balik kata bahwa itu bukan NU secara struktural, kalaupun dikatakan hanya oknum, sudah terlalu banyak tipe orang orang seperti ini, dan tidak sedikit mereka malah diberi posisi penting.
Diplomasi Dalam Islam
Islam sendiri punya syarat dan standar dalam melakukan diplomasi. Hari ini, upaya diplomasi seringkali dinarasikan sebagai solusi atas banyaknya problem yang menimpa umat khususnya di dunia Islam. Diplomasi saat ini menjadi resep yang ditunggu-tunggu untuk menyelesaikan berbagai macam krisis.
Pada peradaban kapitalisme jalur diplomasi tidak lepas dari kepentingan ekonomi dan politik untuk mengeksploitasi dan melanggengkan dominasi mereka atas negeri-negeri kaum muslim. Dengan diplomasi selalu ada kata kompromistik sehingga tidak ada keadilan, melainkan justru akan memenangkan kepentingan salah satu pihak saja. Jelas, untuk mencapai semua itu akan ada korban jiwa dan kesengsaraan jutaan orang yang dipertaruhkan demi kepentingan mereka.
Berbeda dengan diplomasi yang dilakukan oleh peradaban Islam yang dipastikan hanya bertujuan untuk dakwah Islam dan kemaslahatan kaum muslimin, bukan semata perdamaian, sebab diplomasi yang hanya mengedepankan perdamaian condong ke arah win-win solution, sehingga bisa mengakibatkan adanya kompromi dalam segala hal, termasuk kompromi antara hak dan batil, sementara dalam Islam tidak akan mungkin mencampuradukkan keduanya, karena kebenaran (al-haq) tidak mungkin bisa dikompromikan dengan kebatilan (al-bathil).
Allah Taala telah melarang yang demikian, sebagaimana firman-Nya, “Dan janganlah kamu mencampuradukkan yang hak dengan yang batil, dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedangkan kamu mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 42)
Perdamaian dan dakwah adalah dua hal yang berbeda. Ketika perdamaian menjadi tujuan, segala hal bisa dilakukan demi untuk perdamaian, sekalipun dengan cara yang menyelisihi syariat.
Sementara itu, apabila dakwah menjadi tujuan, segalanya harus sesuai syariat. Perdamaian hanya akan menjadi pilihan jika ternyata dakwah terhalang. Jika tidak bisa lagi dilakukan dengan jalan damai, perang atau jihad menjadi pilihan berikutnya.
Islam juga telah mengharamkan melakukan perjanjian atau kerja sama apapun bentuknya kepada negara Kafir yang secara riil memerangi kaum muslim (muhariban fi’lan), dalam hal ini Israel masuk dalam kategori tersebut.
Allah Swt. telah memerintahkan umat untuk memerangi mereka, bukan berdamai dengannya. Firman-Nya, “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (TQS Al-Baqarah [2]: 190)
Syariat Islam juga melarang kaum muslim bersikap lemah lalu mengajukan perdamaian dengan negara kafir yang memerangi mereka. Firman Allah, “Janganlah kamu lemah dan minta damai, padahal kamulah yang di atas dan Allah pun bersamamu dan Dia sekali-kali tidak akan mengurangi pahala amal-amalmu.” (TQS Muhammad [47]: 35)
Akhiri Penjajahan
Permasalahan utama dan mendasar atas berbagai problem umat Islam sesungguhnya karena ketiadaan institusi pemersatu umat Islam. Institusi negara yang diruntuhkan melalui konspirasi Yahudi ini sesungguhnya merupakan kunci bagi kemenangan kaum muslim. Untuk itu, negeri-negeri kaum muslim harus terlebih dahulu melepaskan belenggu nasionalisme yang menjerat mereka dan bersatu dalam sebuah Institusi, yaitu Negara Islam.
Kaum muslim seharusnya tidak terus dalam labirin pemikiran sesat kaum kuffar. Kita harus memahami hakikat masalah Palestina. Polemik ini hanya bisa diselesaikan dengan Islam, sehingga menyikapi entitas Yahudi dan mengakhiri perang Palestina bukan dengan cara diplomasi, mengecam, atau two state solution. Harus ada langkah konkret dan solutif bagi permasalahan Palestina.
Hal yang tidak kalah penting adalah membentuk kesadaran pada umat bahwa keberadaan kepemimpinan Islam (negara Islam) adalah solusi hakiki bagi Palestina dan negeri-negeri muslim lainnya yang harus terus dilakukan melalui dakwah. Dibutuhkan juga konsolidasi umat Islam secara global untuk mengusir dan melawan para penjajah Yahudi dari bumi Al-Aqsha. Wallahu A’lam. (*)
Penulis:
Mansyuriah, S. S (Aktivis Muslimah dan Pemerhati Sosial)
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.