Advertisement - Scroll ke atas
Opini

Menata Kota, Menyelamatkan Lingkungan: Butuh Solusi Sistemis

710
×

Menata Kota, Menyelamatkan Lingkungan: Butuh Solusi Sistemis

Sebarkan artikel ini
Mansyuriah, S.S. (Aktivis Muslimah)
Mansyuriah, S.S. (Aktivis Muslimah)

OPINI—Pada awal Februari 2025, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, mengalami banjir yang melanda empat kecamatan, termasuk Manggala, Biringkanaya, Panakkukang, dan Tamalanrea. Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), banjir ini menyebabkan 1.255 jiwa terpaksa mengungsi. Sementara di Kabupaten Maros sebanyak 14 kecamatan trendam banjir.

Disinyalir tahun ini adalah banjir terparah. Akibatnya, pemukiman, akses jalan, termasuk akses jalur utama Maros-Makassar mengalamai kelumpuhan, berbagai fasilitas publik pun seperti sekolah, rumah sakit dan pusat perbelanjaan juga terendam banjir. Tak pelak ribuan warga terdampak dan mengungsi, anak-anak sekolah terpaksa diliburkan karena sekolah dan akses ke sekolah terendam banjir.

Advertisement
Scroll untuk melanjutkan

Seolah sudah faham betul bahwa ketika musim hujan datang, maka sudah bisa dipastikan akan terjadi banjir, bahkan ada beberapa titik yang sudah langganan dengan banjir. Kenapa kondisi ini terus terjadi dan berulang?

Tata Kelola Ruang yang Gagal

Bencana hidrometeorologi sepertri ini akan terus berulang setiap Desember hingga Februari. Banjir yang berulang kali melanda Makassar menunjukkan perlunya pendekatan sistemis dalam penanggulangan bencana.

Peningkatan kapasitas drainase, pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, dan perencanaan tata ruang yang memperhatikan aspek lingkungan menjadi kunci untuk mengurangi risiko banjir di masa depan.

Berulangnya bencana banjir ini sangat erat kaitannya dengan pembangunan yang terus meningkat tanpa disertai dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Banyak daerah yang mestinya menjadi daerah resapan tapi beralih fungsi menjadi bangunan seperti perumahan dan Ruko.

Seharusnya, dalam pengelolaan lahan, memilah area lahan yang diperuntukkan untuk daerah industri, untuk pusat perbelanjaan, perkantoran, perumahan, termasuk mana area yang diperuntukkan sebagai daerah resapan (recharge area) sehingga tercipta keseimbangan ekologis. Tapi faktanya kepentingan kapitalis telah mendominasi kebijakan alih fungsi kawasan tanpa memperhatikan faktor ekologis, semuanya demi cuan.

Ditambah lagi dengan pesatnya urbanisasi dan semakin padatnya populasi dunia, kota-kota besar menjadi pusat pertumbuhan ekonomi, sosial, dan budaya. Namun, di balik kemajuan tersebut, ada tantangan besar yang harus dihadapi: kerusakan lingkungan yang semakin parah.

Polusi udara, banjir, polusi suara, hingga hilangnya ruang terbuka hijau menjadi beberapa masalah utama yang mengancam kualitas hidup warga kota. Jadi ironis ketika pembangunan infrastruktur yang seharusnya memberikan kemanfaatan, tetapi malah berdampak negatif pada lingkungan.

Apalagi pertumbuhan jumlah penduduk di kota-kota besar seringkali tidak diimbangi dengan perencanaan yang matang. Akibatnya, banyak kota yang menjadi padat, kumuh, dan terbelah oleh kemiskinan serta kesenjangan sosial.

Permasalahan lingkungan saat ini tidak dapat terlepas dari sistem yang sedang diterapkan, yaitu kapitalisme. Fokus utama sistem kapitalisme menekankan pada pertumbuhan ekonomi. Ini menjadikan negara-negara kapitalis menggenjot produksi meski memberikan tekanan kepada lingkungan. Spirit kapitalisme yang mengedepankan pencapaian keuntungan sebesar-besarnya dengan biaya atau modal sekecil-kecilnya.

Akibatnya, perusahaan terdorong untuk membuat keputusan jangka pendek berdasarkan pada apa yang membantu industri mereka untuk bisa bertahan, meskipun efeknya membahayakan masyarakat dan lingkungan.

Butuh Solusi Sistemis

Sebenarnya kerusakan lingkungan tidak akan terjadi jika dibarengi dengan regulasi yang terukur dan terarah, fakta hari ini tidak demikian. Sehingga terjadilah berbagai macam kerusakan dan bencana.

Misalnya saja, curah hujan yang tinggi tidak akan jadi masalah jika hutan-hutan tidak ditebangi, tanah resapan tidak dibetoni, daerah aliran sungai tidak mengalami abrasi, dan sistem drainase dibuat terintegrasi.

Bukankah Allah Swt. telah menciptakan sistem hidup yang penuh keseimbangan dan harmoni? Kehadiran hujan pun sejatinya mendatangkan rahmat, bukan menjadi laknat.

Pembangunan infrastruktur di dalam sistem Islam dibangun atas paradigma yang jauh berbeda dengan sistem kapitalisme. Pertama, dalam Islam, penyediaan dan pengelolaan infrastruktur publik merupakan tanggung jawab negara.

Arahnya adalah untuk memberikan kemaslahatan umum, bukan malah melayani kepentingan pemilik modal. Regulasinya pun ditetapkan dengan berpijak pada kesesuaian terhadap hukum syarak.

Rasulullah saw. bersabda, “Pemimpin yang memimpin rakyat adalah pengurus dan ia bertanggung jawab pada rakyat yang ia urus.”

Kedua, konsep pembangunan infrastruktur publik dalam Islam berada di bawah tanggung jawab khalifah. Ini menjadikan kemaslahatan masyarakat sebagai prioritas utama. Secara finansial tidak akan membebani keuangan negara karena ditopang dengan sistem ekonomi Islam.

Sistem ekonomi Islam, dengan APBN syariahnya, memiliki sumber pendanaan secara garis besar berasal dari beberapa pos, yakni (1) harta milik umum yang dikelola negara, seperti barang tambang; (2) fai, kharaj, ganimah, jizyah; (3) harta zakat; (4) sumber pemasukan temporal, seperti infak, wakaf; dsb.

Ketiga, pembangunan infrastruktur diarahkan untuk mewujudkan visi penciptaan manusia. Allah Swt. menciptakan manusia sebagai khalifah di muka bumi dan untuk memakmurkan bumi. (Al-Baqarah: 30 dan QS Hud: 61).

Sejatinya, dunia ini butuh sistem Islam karena paradigma sistem Islam bertentangan secara dengan sistem kapitalisme yang diterapkan sekarang. Dalam sistem kapitalisme, kebijakan penguasa yang merepresentasi kepentingan para pemilik modal justru jadi sumber kerusakan, sementara sistem Islam lahir dari keimanan dan ketundukan pada Pencipta dan pemelihara seluruh alam.

Ajaran Islam benar-benar mengajarkan harmoni dan keseimbangan. Adab terhadap alam bahkan dinilai sebagai bagian dari iman. Penguasa dalam Islam betul-betul berperan sebagai pengurus dan penjaga umat. Semuanya bisa berjalan saat syariat Islam diterapkan secara keseluruhan. (*)

Wallahu alam.

Penulis: Mansyuriah, S. S (Makassar Muslimah Urban Forum)

***

Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.

error: Content is protected !!