Advertisement - Scroll ke atas
  • Pemkot Makassar
  • HLN ke-79
  • Bapenda Makassar
  • Universitas Diponegoro
  • HUT Sulsel ke-355 (Media Sulsel)
Opini

Merawat Energi Demokrasi Indonesia

190
×

Merawat Energi Demokrasi Indonesia

Sebarkan artikel ini
Merawat Energi Demokrasi Indonesia
Haris Zaky Mubarak, MA (Analis dan Mahasiswa Doktoral Universitas Indonesia)
  • Pemprov Sulsel
  • HUT Sulsel ke-355
  • Ir. Andi Ihsan, ST, MM (Kepala Biro Umum Pemprov Sulsel)
  • PDAM Makassar
  • Pilkada Sulsel (KPU Sulsel)

OPINI—Sesaat setelah pelantikan resmi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) masa bakti 2024 sampai 2029. Ada harapan khusus yang diharapkan publik tentang perjalanan demokrasi bangsa dan negara Indonesia.

Konteks ini menjadi penting untuk direspon secara mendalam karena adanya penurunan kualitas demokrasi di Indonesia seperti yang dirilis oleh Freedom House yang menyebut Indeks demokrasi Indonesia yang mengalami penurunan 62 poin pada 2019 sampai 2023 (Freedom House, 2024).

Advertisement
Scroll untuk melanjutkan

Sebagai negara demokrasi yang masih ingin berkembang lebih baik maka tantangan kedepan terhadap realitas politik Indonesia harus benar-benar perbaikan. Jika dicermati secara khusus, hampir setengah dari anggota DPR, DPD dan MPR yang baru dilantik memiliki latar belakang pengusaha besar dalam kancah nasional. Afiliasi besar dengan kekuatan bisnis.

Rasionalitas ini menunjukkan jika ada banyak anggota DPR, DPD dan MPR baru yang terafiliasi dengan berbagai kepentingan pengusaha. Ini menunjukkan akan adanya tekanan potensi konflik kepentingan yang kemungkinan akan timbul sebagai akibat dari situasi ini.

Sentrisme Monopoli

Hubungan yang kompleks antara pengusaha dan politisi jelas merupakan sengkarut dua mata sisi yang saling berhadapan. Dalam studi kajian politik pemerintahan di Filipina, pengusaha menguasai ranah politik dan bisnis yang dibangun dengan cara yang sama, dengan memusatkan perhatian kepada presiden sebagai patron ataupun poros kekuatan dari pengusaha.

Kondisi ini setidaknya mengkolonisasi semua sumber-sumber kekuatan secara terbuka unutk mendukung dukungan pada sektor privat kuat. Sistem kroni kapitalis ini dikenal dengan istilah booty capitalism. (Hunchcroft, 1998).

Di Indonesia, kelompok pengusaha merupakan pemburu penerimaan sejumlah uang dari penguasa. Pada kelompok inilah ada ruang kendali yang mengendalikan sistem politik secara penuh.

Secara rasional, motivasi utama kelompok pengusaha dalam berpolitik umumnya didorong oleh satu keinginan yakni demi mempertahankan bisnis secara panjang. Pada konteks ini kelompok bisnis yang berafiliasi dengan kepentingan bisnis pada akhirnya harus memusatkan perhatian pada urusan loyal atau tidak loyal.

Walaupun pihak penguasa pemerintahan berganti, kelompok kroni politik bisnis ini akan selalu berupaya menjadi sekutu penguasa. Pengalaman historis yang terjadi di negara Thailand menunjukkan sebuah keniscayaan politik walau rezim sipil diganti rezim militer, pengusaha selalu menyesuaikan diri.

Secara prosudural, daya jelajah politik pada titik ini memang sangat dipengaruhi oleh kemampuan finansialnya, bisnis politik secara terbuka. Apalagi jika dibanalitaskan dengan kondisi mutakhir yang berkembang seperti sekarang ini dengan kemampuan finansial yang besar seseorang dapat dengan mudah mengatur popularitas di media massa dan media sosial.

Melalui dukungan tim jaringan media yang luas, setiap kelompok atau individu dapat mudah melakukan berbagai macam propaganda untuk kampanye politik dan mengontrol segala macam informasi pemberitaan. Kondisi ini jelas memberi bukti jika pengusaha yang berpolitik praktis akan punya dominasi kepentingan dan kebutuhan yang monopoli.

Sementara dalam realitas politik pemerintahan yang sebenarnya, sebagai pejabat publik kelompok penguasa punya standarisasi kewenangan untuk dapat menyelesaikan berbagai macam masalah publik. Sikap adil kepada semua jelas menjadi standar nyata yang harus ditegakkan.

Pada posisi ini segala macam aspirasi publik harus menjadi keutamaan mutlak yang wajib dipenuhi merata. Dasar ini yang menjadi sesuatu yang berat jika dikaitkan dengan kepentingan bisnis dan politik. Bisnis harus menjadi arus utama dalam kebijakan politik karena menjadi sumber dana bagi kerja-kerja politik.

Intervensi kekuatan bisnis dalam kegiatan politik jelas akan memberi tendensi yang mengkhawatirkan karena infiltrasi masif dari banyak kepentingan bisnis ke dalam lembaga politik di Indonesia. Dalam posisi ini lembaga legislatif harus menjadi acuan representasi dari banyak kepentingan masyarakat.

Fakta ini menciptakan lingkungan politik yang sangat transaksional dan bukan diskursus tentang kompetensi dan rasionalitas pengetahuan yang teruji secara kapasitas dari legislator. Tentu saja secara sadar membawa dampak resiko yang besar bagi meneguhkan demokrasi dan kemajuan bangsa Indonesia.

Hal yang dikhawatirkan dalam penegakan demokrasi adalah soal tekanan potensi konflik kepentingan antara pembuat kebijakan dengan pelaksana bisnis menjadi semakin nyata. Pada sisi rasional ini, saat pembuat kebijakan memiliki kepentingan bisnis maka sulit untuk memastikan keputusan yang diambil dapat mengakomodir kepentingan publik.

Hal yang fundamental kemungkinan terjadi disini adalah soal implementasi lahirnya undang-undang yang berpotensi menguntungkan sektor bisnis dan kelompok tertentu.

Meneguhkan Kualitas

Demokrasi yang rusak akan menciptakan dampak sentralisme monopoli menjadi sangat kuat.Situasi ini akan memperdalam ketimpangan sosial dan ekonomi yang sudah ada. Ketika arena politik didominasi elit ekonomi, suara dan kepentingan kelompok marginal dan kurang beruntung semakin terpinggirkan.

Dalam konteks inilah perlu dapat dipersiapkan upaya peningkatan kualitas demokrasi dengan penerapan sistem checks and balances yang vital bagi demokrasi yang sehat. Saat lembaga legislatif didominasi oleh kepentingan bisnis, kemampuannya untuk mengawasi dan mengimbangi kekuasaan eksekutif agar tak salah langkah.

Menghadapi tantangan yang sangat besar diperlukan reformasi sistem pemilu yang dapat mengurangi biaya politik dan membuka akses yang lebih luas bagi calon pemimpin yang matang dengan pengalaman, sarat kompetensi, kapasitas dan unggul secara kualitas. Implementasi dari kredibelitas calon pemimpin seperti ini memberi dampak stimultan bagi penataan dan penguatan regulasi segala macam aturan konstitusional, termasuk dalam etika menjaga jarak konflik kepentingan antara tugas pemerintahan dengan kepentingan bisnis.

Jalan menuju demokrasi yang lebih substansial dan inklusif bagi Indonesia tidaklah mudah, tetapi ini merupakan perjalanan yang harus ditempuh. Dengan komitmen bersama dari seluruh elemen masyarakat demi mewujudkan demokrasi yang benar-benar melayani rakyat. Dalam konteks inilah perlu dipertimbangkan bagaimana gambaran kelembagaan demokrasi dapat menciptakan sistem yang lebih efektiif bagi partisipasi publik dalam proses kebijakan.

Dalam perjalanan sejarahnya, teori dan praktik tentang demokrasi terpusat pada klaim-klaim yang saling berlawanan mengenai kekuasaan oleh kelompok-kelompok sosial (masyarakat) yang saling bersaingan. Demokrasi perwakilan merupakan sebuah tawaran untuk menjawab skenario prosedural dalam mewujudkan demokrasi.

Secara rasional, demokrasi harus selalu berpijak pada prinsip kesetaraan dalam arti bahwa setiap manusia setara; oleh karena itu tidak ada spesialisasi kelompok tertentu atau asumsi bahwa seseorang lebih terhormat daripada yang lain. Banyak pendapat menjadi wajar jika demokrasi kita terlibat, sulit memenuhi standar fundamental, terutama dalam hal praktik demokrasi dalam berbangsa dan bernegara.

Demokrasi hanya menyentuh aspek proseduralnya.Karena itu, demokrasi harus mengatasi bentuk proseduralnya yang sekarang, meskipun proseduralnya sendiri tak dapat dihilangkan tetapi demokrasi substansial mutlak diperlukan.

Pemahaman kekuasaaan tertinggi ini faktanya masih dibatasi oleh kesepakatan yang ditentukan oleh elite politik yang dituangkan dalam rumusan konstitusi yang mengakomodir kepentingan politik. Dalam konteks ini memang dibutuhkan kontrak sosial yang sangat kuat dengan landasan konstitusi.

Dari sini semua perangkat negara baik itu pemerintah, legislatif, yudikatif dan rakyat harus patuh terhadap konstitusi negara yang membatasi dan mengatur bagaimana kedaulatan rakyat itu disalurkan, dijalankan dan diselenggarakan dalam kegiatan kenegaraan dan kegiatan pemerintahan sehari-hari.

Pada hakikatnya, kedaulatan rakyat tetap harus dijamin jika rakyatlah yang sesungguhnya menjadi pemilik Negara dengan segala kewenangannya untuk menjalankan semua fungsi kekuasaan Negara, baik di bidang legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.

Tentu kita sebagai publik sangat mengharapkan jika kedepan kualitas demokrasi Indonesia sebanding dengan perbaikan kualitas lembaga- lembaga pemerintahan dan lembaga rakyat Indonesia. (*)

 

 

Penulis: Haris Zaky Mubarak, MA (Peneliti, Konsultan dan Mahasiswa S3 Universitas Indonesia)

 

***

 

Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.

error: Content is protected !!