OPINI—Muharram terkait erat dengan diksi hijrah. Tersebab saat tersebut dimulainya penanggalan hijriah, yang disebut sebagai tahun baru Islam. Ya… saat dimana Rasulullah saw. bersama sahabat tercinta, Abu Bakar As-Shiddiq hijrah dari Kota Makkah ke Kota Yatsrib (sekarang Madinah). Itulah awal titik tolak perubahan hakiki yang ditandai dengan tenggelamnya kegelapan zaman jahiliah.
Jika merefleksikan kondisi umat hari ini, tidak berbeda jauh dengan kondisi pada masa jahiliah berabad yang lampau. Bahkan, banyak fenomena yang lebih sadis dan di luar nalar. Misal merebaknya kasus inses, masifnya penyimpangan seksual dari kaum pelangi (LGBTQ+), pembunuhan di circle keluarga/kerabat, aborsi janin pada kehamilan di luar nikah, dan segudang kemaksiatan yang tak berbilang lagi.
Beragam problem terus mendera negeri ini, tak terkecuali di Makassar. Ada pula problem kemiskinan ekstrem yang berdampak pada banyak hal termasuk, tingginya angka bunuh diri. Dampak kemiskinan lainnya adalah tidak terpenuhinya gizi masyarakat yang menjadi salah satu faktor dominan penyebab stunting. Rasanya setiap waktu, rakyat disuguhi dengan berita-berita dan fakta yang sangat menyesakkan dada.
Berbagai kebijakan terus digagas, berharap akan menyolusi banyaknya problem yang terjadi. Namun, realita yang terpampang di depan netra sangat jauh dari harapan. Bahkan yang terdata dan terindera justru kerusakan makin meningkat.
Diperparah dengan masifnya program Moderasi Beragama (MB) dalam berbagai implementasinya. Makin menjauhkan umat dari Islam kafah. Padahal, inilah solusi yang seyogianya diambil sebagaimana momen hijrah pada masa lalu.
Kebijakan Disconnect
Berbagai kebijakan yang ditempuh penguasa seakan disconnect dan terkesan dipaksakan. Untuk itu, penulis mencoba menganalisis kondisi tersebut.
Pertama, paradigma berpikir sekuler kapitalis. Sengkarutnya regulasi yang ada saat ini, mengindikasikan pijakan paradigma berpikir yang keliru. Asas sekuler kapitalististik menjadi tumpuan dalam mengambil kebijakan. Dominan masyarakat lebih memilih menggunakan aturan buatan manusia.
Aturan yang berkolaborasi antara penguasa dengan para pemilik modal (kapitalis), sukses membuat kerusakan di segala aspek kehidupan. Wajar saja jika dimana-mana terjadi penyimpangan dan kerusakan, sebab menafikan aturan Sang Pencipta.
Kedua, sikap apatis. Kompleksnya problem kehidupan membuat sebagian besar rakyat bersikap cuek bin masa bodoh alias apatis. Rakyat disibukkan dengan urusan masing-masing. Bahkan sekadar ber-empati pun sangat sulit ditemui dalam iklim rusak saat ini. Sehingga tercipta masyarakat individualis secara alami.
Ketiga, hedonis materialistis. Gemerlapnya kehidupan dunia ala kapitalisme, menjadikan gaya hidup hedon sangat diminati. Kondisi generasi cenderung larut dalam dunia intertainment dan aktivitas hura-hura. Plus teknologi berbasis digital yang bisa diakses tanpa batas. Disempurnakan dengan standar kebahagiaan yang ditakar dengan materi. Apapun dilakukan asal menghasilkan cuan, walau akidah tergadai. Naudzubillah!
Gambaran secuil fakta dan kondisi umat saat ini menegaskan bahwa terjadi kekeliruan dalam sistem tata kelola dalam berbagai lini kehidupan. Kapitalisme yang diagung-agungkan Barat dan negeri-negeri pengembannya, nyatanya tak mampu menyolusi beraneka problem yang terjadi.
Terlihat kerusakan sudah sedemikian parah, bahkan terdata secara global. Kerakusan para kapitalis dalam mengeksploitasi Sumber Daya Alam (SDA), membuat kerusakan lingkungan dalam skala yang sangat luas. Kondisi ini berimplikasi terjadinya bencana alam yang menghadirkan nestapa dimana-mana.
Hijrah ke Sistem Hakiki
Momentum hijrah seyogianya menjadi pelecut bagi umat, agar menengok sejarah panjang peradaban mulia 14 abad lampau. Peradaban yang mampu memberi kesejahteraan meliputi 2/3 belahan dunia dalam kurun waktu sekitar 1300 tahun. Rentang waktu yang tidak singkat. Dimana kehidupan saat itu diliputi kesejahteraan tanpa diskriminasi.
Kota Madinah menjadi awal kepemimpinan Rasulullah saw. untuk mengatur seluruh aspek kehidupan dengan aturan Sang Pencipta, Allah ‘Azza wa Jalla. Gambaran umat saat itu sungguh sebuah kondisi yang harusnya selalu dirindukan. Tidak sebatas menjadi romantisme sejarah, tetapi harus diwujudkan saat ini sebagai konsekuensi dari akidah Islam. Inilah makna hijrah hakiki yakni melakukan perubahan ke arah yang benar, yakni yang sesuai dengan tuntunan Al-Qur-an dan as-sunah.
Negara (dalam sistem Islam) diamanahi oleh syariat untuk memenuhi seluruh kebutuhan dasar rakyat, baik kebutuhan individu maupun kebutuhan publik. Dengan instrumen sedemikian sempurna, meniscayakan celah kemaksiatan tertutup rapat.
Masyarakatnya disibukkan dengan aktivitas-aktivitas dalam rangka meraih rida-Nya, karena inilah makna kebahagiaan hakiki. Kondisi ini bisa diraih jika negara menerapkan aturan Allah Swt. dalam seluruh aspek kehidupan.
Inilah satu-satunya solusi agar perubahan hakiki dapat diraih. Perubahan yang mengantarkan seluruh rakyat pada gerbang kesejahteraan, di dunia dan di akhirat kelak.
Sebagaimana dalam QS. Al-A’raf ayat 96, yang artinya: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”
Oleh karena itu, mari jadikan momentum Muharram untuk bersegera hijrah menerapkan seluruh aturan-Nya. Aturan yang terpancar dari wahyu Allah Swt. dan dicontohkan oleh manusia mulia, Muhammad saw. dan para khalifah setelahnya. Wallahualam bis Showab. (*)
Penulis
Dr. Suryani Syahrir, S.T., M.T.
(Dosen dan Pemerhati Generasi)
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.