OPINI—Berawal dari tingginya angka stunting dan gizi buruk di Indonesia, pasangan presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo-Gibran mengeklaim akan memperbaiki dan meningkatkan gizi anak melalui program unggulan bernama makan siang gratis (sekarang berganti nama menjadi makan bergizi gratis).
Berdasarkan riset Center for Indonesian Policy Studies, terdapat 21 juta jiwa atau 7% dari populasi penduduk Indonesia kekurangan gizi dengan asupan kalori per kapita harian di bawah standar Kemenkes, 2.100 kilo kalori (kkal).
Tercatat pula, 21,6% anak berusia di bawah lima tahun mengalami stunting pada 2023. Sedangkan 7,7% lainnya menderita wasting alias rendahnya rasio berat badan berbanding tinggi badan.
Sidang Kabinet Paripurna (SKP) yang dipimpin Presiden Joko Widodo pada Senin (26-2-2024) sudah membahas program makan siang gratis yang merupakan janji kampanye presiden terpilih Prabowo Subianto.
Hal tersebut diungkapkan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertahanan Nasional (ATR/ BPN) Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menuturkan, ada 83 juta penerima program makan siang dan susu gratis.
Namun, rakyat dikecewakan sebelum waktunya. Mungkin itulah kata-kata yang tepat untuk menggambarkan pemimpin hari ini yang ingkar janji, padahal belum dilantik. Hal ini karena publik dihebohkan dengan rencana program makan gratis yang anggarannya akan dipangkas.
Tim Prabowo disebut tengah mengkaji soal penurunan biaya makan siang bergizi agar lebih hemat dari Rp15.000 menjadi Rp9.000 atau Rp7.500 per anak. Meskipun Gibran membantahnya dengan menyebut bahwa tidak akan dipangkas, yakni tetap diangka Rp15.000, tetapi beberapa pejabat tidak menampik rencana tersebut.
Mengancam Kualitas Pendidikan
Sejak awal, Program Makan Bergizi Gratis yang dijanjikan pasangan Prabowo-Gibran saat kampanye Pilpres itu menuai kontroversi. Program tersebut dianggap tidak menyentuh akar persoalan karena pada awalnya dinyatakan untuk menyelesaikan persoalan stunting pada anak-anak.
Sedangkan menurut WHO, penanganan stunting seharusnya dilakukan pada 1000 hari awal kehidupan. Perbaikan nutrisi yang dilakukan setelah masa tersebut jelas sangat terlambat, terlebih karena programnya menyasar anak usia sekolah.
Selain itu, program ini juga berpotensi menimbulkan persoalan baru. Alokasi dana Rp 71 triliun itu sempat disebut oleh Prabowo, akan diambilkan dari anggaran pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial. Asal tahu saja, anggaran pendidikan dan kesehatan saja sudah sangat rendah. Apa jadinya jika harus diambil untuk program makan siang gratis?
Pemerhati pendidikan Diansyah Novi Susanti, S.Pt. menengarai, program ini justru akan mengancam kualitas pendidikan nasional karena program ini disebut-sebut akan menggunakan dana BOS.
Alhasil, program makan siang gratis yang kenyataannya tidak gratis ini tentunya memunculkan masalah baru karena ada pergeseran atau pengalihan dana yang tujuan awalnya difokuskan untuk mendukung ketersediaan akses dan peningkatan kualitas pendidikan.
Program ini tidak tepat serta tidak efektif dan efisien untuk memperbaiki kualitas peserta didik, kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan dari proses pendidikan, bukan hanya sebatas memenuhi nutrisi kebutuhan jasmaninya, apalagi hanya makan siang gratis, tetapi didukung pula oleh kurikulum sistem pendidikan yang digunakan, guru yang berkualitas, dan sarana prasarana yang memadai.
Lagipula, program ini akan membutuhkan biaya yang sangat besar. Berdasarkan Laporan Statistik BPS Tahun 2022/2023, data jumlah sekolah dari TK sampai SMA pada 2023 sekitar 399.376 unit sekolah. Kemudian data pokok pendidikan semester 2023/2024 menyebutkan, jumlah peserta didik di Indonesia sekitar 51.519.391 siswa.
Bisa terbayang jika satu siswa dianggarkan Rp15.000/hari, akan seberapa besar dana yang dikeluarkan untuk hal ini? Fantastis! Padahal, anggaran dana BOS memiliki alokasi lain, seperti untuk kesejahteraan guru honorer, pengembangan ekstrakurikuler, pengembangan sarana dan prasarana sekolah, dll. yang tentunya sangat dibutuhkan untuk keberlangsungan pendidikan nasional.
Belum lagi adanya potensi abuse of power (penyelewengan kekuasaan) yang begitu besar. Hal ini terkait dengan celah korupsi yang selalu saja mengintai implementasi setiap kebijakan yang pemerintah terbitkan. Untuk itu, baik dipangkas atau tidak, program ini tetap tidak menyelesaikan persoalan.
Demi Kualitas Generasi?
Terdapat inkonsistensi pasangan Prabowo-Gibran dalam program ini. Mulai dari pergantian nama hingga polemik susu sapi diganti susu ikan. Saat kampanye pilpres lalu, anggaran makan siang gratis per porsi diproyeksikan sebesar Rp15.000. Kini kemungkinan akan dipangkas menjadi Rp7.500 per porsi. Dengan porsi harga sekian, mungkinkah nutrisi dan gizi dapat terpenuhi dengan baik?
Beberapa pakar gizi dan kesehatan juga menyarankan hal serupa agar program makan bergizi gratis jangan sampai mengeliminasi tujuan memperbaiki kualitas gizi generasi. Ini karena wacana pemberian susu ikan merupakan produk makanan yang terkategori ultra process food.
Jika makanan yang disajikan ke generasi banyak berkurang kandungan gizinya, akan muncul masalah penyakit, seperti obesitas, diabetes, jantung, dan gangguan kesehatan lainnya. Alih-alih mengonsumsi makanan sehat dan bergizi, generasi malah mengonsumsi makanan yang membahayakan kesehatan.
Hal ini juga menunjukkan pemerintah berlepas diri dari tanggung jawabnya dalam memenuhi gizi generasi. Ini karena kebijakan mengganti susu sapi dengan susu ikan secara tidak langsung telah memberi kesempatan bagi korporasi untuk meraup keuntungan.
Saat ini tidak banyak industri dalam negeri yang memproduksi bubuk HPI (susu ikan) sehingga ada peluang bagi industri susu atau penyedia pangan dari luar negeri untuk melakukan investasi di Indonesia, seperti Jepang dan Australia yang merespons positif program ini.
Sebelumnya, Indonesia telah menjadi pasar ekspor produk susu terbesar ketiga bagi Australia dengan nilai sekitar 130 juta dolar AS per tahun. Tidak menutup kemungkinan peluang besar ini akan direalisasikan Australia dalam program susu ikan gratis.
Sebagai gambaran, untuk memenuhi kebutuhan pangan 82,9 juta anak sekolah selama satu hari saja dibutuhkan 4 juta kiloliter susu segar. Tidak terbayang berapa banyak keuntungan yang didapat korporasi dari produksi susu ikan ini.
Kenyataannya, program makan bergizi gratis akan sulit mewujudkan generasi berkualitas. Masalah stunting dan gizi buruk hanyalah persoalan cabang akibat tidak terpenuhinya kebutuhan dasar. Kebutuhan dasar tidak terpenuhi karena pendapatan rakyat lebih rendah dibandingkan pengeluaran. Kondisi rakyat saat ini besar pasak daripada tiang karena pendapatan kecil, bahkan tidak ada.
Sementara itu, pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan dasar terus meningkat. Jika kondisi ini terjadi secara berkelanjutan, angka kemiskinan bisa meningkat sehingga memengaruhi tingkat stunting dan gizi buruk. Jika ditinjau dari sisi gizi, sebenarnya masalahnya bukan program makan bergizi gratisnya, melainkan kemiskinan yang menghalangi terbentuknya generasi sehat dan kuat.
Politik Pragmatis Demokrasi vs Politik Shahih Islam
Inilah potret buram para pemimpin yang dilahirkan dari politik pragmatis demokrasi. Penguasa sangat perhitungan dengan rakyat. Hubungan rakyat dan pemimpin pun bagai penjual dan pembeli. Jika rakyat ingin mendapatkan fasilitas, rakyat disyaratkan membayar pajak dan sejumlah iuran lainnya. Penguasa bahkan tidak ubahnya kehilangan hati nurani ketika realitasnya banyak rakyatnya yang sengsara akibat kebijakan yang diterapkan.
Politik pragmatis sungguh telah menjadikan kekuasaan sebagai tempat penguasa berbisnis dalam hal kepentingan rakyat. Penguasa hanya memikirkan diri dan kroninya agar terus mendapatkan keuntungan materi. Mereka tidak peduli jika nasib rakyat harus menjadi korban atas kerakusan para pemimpin negara.
Untuk itu, kekecewaan rakyat kali ini seharusnya mampu membuka mata dan pikiran mereka, bahwa segala sesuatu yang dijanjikan saat kampanye hanyalah janji-janji politik tanpa realisasi. Kepercayaan rakyat terhadap penguasa semestinya makin terkikis akibat politik pragmatis yang terus diterapkan. Inilah blunder politik pragmatis dalam demokrasi yang sejatinya makin membuktikan sistem ini rusak dan merusak.
Berbeda halnya dengan Islam yang memiliki sejumlah mekanisme dalam memenuhi kecukupan gizi rakyat sehingga stunting akan dengan mudah dicegah. Sejumlah mekanisme tersebut berpangkal pada kekuatan baitulmal.
Jika saat ini, defisit APBN selalu saja menjadi kendala dan alibi pemerintah bagi keberhasilan sebuah program, maka tidaklah demikian dengan baitulmal. Baitulmal justru akan kukuh dengan pemasukan yang melimpah dan belanja negara yang sesuai dengan tuntunan syariat.
Kekuatan pertama baitulmal terletak pada pemasukannya yang besar, termasuk dari pengelolaan SDA. Regulasi kepemilikan yang mengharamkan penguasaan SDA yang jumlahnya melimpah oleh individu apalagi asing, menjadikan pemasukan negara dari SDA akan berpotensi surplus. Ini tentu tidak seperti APBN negara bersistem demokrasi yang bertumpu pada pajak dan membiarkan swasta mengelola SDA, sehingga pemasukannya amat sedikit.
Kekuatan selanjutnya ada pada belanja negara yang sesuai dengan syariat sehingga akan mengenal skala prioritas. Negara akan begitu perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan pokok individu masyarakat sehingga program-program mengentaskan kemiskinan akan diprioritaskan.
Hal ini termasuk juga program-program penunjang berupa penciptaan lapangan kerja. Pengelolaan SDA oleh negara tanpa campur tangan asing justru akan membuka selebar-lebarnya lapangan kerja bagi masyarakat. Ini karena eksplorasi dan eksploitasi SDA membutuhkan SDM yang banyak.
Pada saat yang sama, negara juga tidak akan memungut iuran apapun tanpa ketentuan syara’, termasuk pajak. Pendapatan baitulmal yang sudah melimpah tidak membutuhkan pajak. Andai pada suatu kondisi ternyata baitulmal kosong, maka negara akan memungut pajak hanya kepada orang-orang yang kelebihan harta, itupun dari kaum laki-laki saja.
Selain itu, fasilitas rumah sakit dan sekolah akan disediakan negara dengan kualitas terbaik, gratis, dan merata di seluruh wilayah, agar masyarakat mudah mengaksesnya.
Sejatinya Program Makan Bergizi Gratis nyata-nyata lahir dari politik pragmatis demokrasi. Di dalam Islam, tidak perlu ada program khusus bertajuk “makanan bergizi” ataupun “makanan gratis” sebagaimana Program Makan Bergizi Gratis untuk anak sekolah, yang jelas-jelas tidak solutif, alih-alih mampu mengatasi stunting.
Tanpa program semacam itu, Islam memiliki kebijakan berdasarkan syariat Islam kafah yang akan menjamin kesejahteraan masyarakat secara individu per individu tanpa khawatir kelaparan, kurang gizi, alih-alih terancam stunting.
Dengan begitu, yang umat butuhkan saat ini adalah paradigma kepemimpinan yang bervisi mengurus dan melayani umat agar seluruh persoalan mereka -termasuk stunting- bisa teratasi secara tuntas dan paripurna. Wallahu a’lam bi ash shawab. (*)
Penulis: Hijrawati Ayu Wardani, S.Farm., M.Farm. (Dosen dan Pemerhati Sosial)
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.