Advertisement - Scroll ke atas
Opini

Sekolah Rakyat di Tengah Kemiskinan Sistemik

470
×

Sekolah Rakyat di Tengah Kemiskinan Sistemik

Sebarkan artikel ini
Mansyuriah, S.S. (Aktivis Muslimah dan Pemerhasi Sosial)
Mansyuriah, S.S. (Aktivis Muslimah dan Pemerhasi Sosial)

OPINI—“Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.” Begitulah bunyi Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945. Namun, jika kita melihat realitas hari ini, kondisi tersebut sangat ironis. Masih banyak anak-anak dari keluarga miskin yang tidak mampu mengakses pendidikan yang layak.

Ketimpangan akses pendidikan masih terjadi, baik secara geografis, ekonomi, maupun sosial. Anak-anak yang tinggal di daerah terpencil dan termarjinalkan sering kali harus rela putus sekolah atau bahkan tidak bersekolah sama sekali. Dalam kondisi ini, wajar jika kita mempertanyakan: apakah negara benar-benar telah hadir dalam menjamin hak pendidikan rakyat?

Advertisement
Scroll untuk melanjutkan

Dilansir dari TribunNews.com, mulai Juli 2025, Sekolah Rakyat akan resmi beroperasi dan menyambut 150 siswa dari keluarga miskin dan miskin ekstrem. Langkah ini merupakan bagian dari kebijakan pemerataan akses pendidikan oleh pemerintahan Prabowo.

Sekolah berbasis asrama ini berlokasi di kawasan Salodong, Kelurahan Untia, dan dijadwalkan diluncurkan pada 14 Juli 2025, bersamaan dengan pembukaan serentak di 63 lokasi lainnya di seluruh Indonesia. Namun, muncul pertanyaan yang tak bisa diabaikan: benarkah ini solusi jangka panjang atau sekadar tambal sulam dari persoalan pendidikan yang lebih kompleks?

Sekolah Rakyat, Benarkah Menjadi Solusi?

Sesungguhnya, persoalan utama rakyat hari ini bukan hanya tentang ketimpangan pendidikan, melainkan kemiskinan yang bersifat sistemik. Pendidikan yang timpang memang menjadi masalah, tetapi itu hanyalah gejala dari akar permasalahan yang lebih dalam yakni ketimpangan sosial dan ekonomi yang terus-menerus direproduksi oleh sistem yang tidak adil.

Ketika rakyat hidup dalam kelaparan, tingkat pengangguran tinggi, akses kesehatan terbatas, dan harga kebutuhan pokok tidak terjangkau, maka pendidikan, betapapun pentingnya, tidak akan menjadi prioritas bagi banyak keluarga miskin..

Pendidikan tidak bisa berdiri sendiri. Ia hanya akan efektif jika kebutuhan dasar rakyat terpenuhi. Anak yang lapar tak akan mampu belajar dengan baik, dan guru yang bergaji kecil akan kesulitan menjalankan tugasnya secara optimal.

Dalam konteks ini, program Sekolah Rakyat tidak akan mampu menyelesaikan akar persoalan pendidikan jika tidak dibarengi dengan perubahan struktural yang menyeluruh.

Selama kemiskinan struktural tidak ditangani secara tuntas, maka program pendidikan apa pun termasuk Sekolah Rakyat akan selalu berhadapan dengan keterbatasan.

Negara harus hadir secara utuh, bukan sekadar dalam bentuk program jangka pendek. Ia harus menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyat, membongkar sistem ekonomi yang timpang, dan memastikan bahwa setiap anak bangsa benar-benar mendapatkan akses yang adil terhadap pendidikan dan kehidupan yang layak. Tanpa itu semua, cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa akan terus menjadi utopia.

Kemiskinan Sistemik: Ancaman bagi Masa Depan Generasi

Kemiskinan dan ketimpangan ekonomi yang ada hari ini bukan semata-mata karena rakyat malas atau kurang cerdas. Ia lahir dari struktur ekonomi yang eksploitatif, kebijakan yang tidak merata, serta pembiaran yang berlangsung secara sistematis.

Ketimpangan ini merupakan hasil dari ketidakadilan struktural yang mengakar kuat, tanah dikuasai oleh segelintir orang, lapangan pekerjaan terbatas, dan negara lebih sibuk mengurus data statistik daripada menyentuh realita kehidupan rakyat.

Dalam situasi seperti ini, pendidikan seharusnya menjadi alat untuk membebaskan rakyat dari kemiskinan. Namun yang terjadi justru sebaliknya, pendidikan ikut menjadi korban dari sistem yang menindas.

Sistem ekonomi kapitalis memberi kebebasan tanpa batas dalam aktivitas ekonomi, yang akhirnya memungkinkan segelintir pengusaha menguasai hajat hidup orang banyak, termasuk sumber daya alam yang seharusnya dikelola untuk kemakmuran rakyat.

Lebih jauh lagi, sistem ini meniscayakan kebebasan kepemilikan dan liberalisasi pasar, sehingga satu atau dua individu bisa menguasai seluruh sektor strategis negara. Inilah yang disebut sebagai oligarki kapitalis. Negara hanya berperan sebagai regulator, mentransformasikan semangat wirausaha ke dalam sektor publik.

Ketika negara dijalankan seperti sebuah perusahaan, maka orientasinya jelas, keuntungan, bukan pelayanan. Rakyat pun hanya menjadi objek pasar, bukan subjek pembangunan. Akibatnya, kemiskinan terus diwariskan, dan generasi muda kehilangan masa depannya.

Anak-anak yang seharusnya belajar, justru terpaksa bekerja untuk membantu keluarga. Banyak dari mereka akhirnya putus sekolah karena tak mampu membayar biaya pendidikan, meskipun konstitusi menjamin hak tersebut. Ini adalah kerugian besar, tidak hanya bagi keluarga mereka, tetapi juga bagi masa depan bangsa secara keseluruhan.

Strategi Pendidikan dalam Islam

Dalam Islam, pembiayaan pendidikan untuk seluruh tingkatan (tidak hanya SD dan SMP) sepenuhnya merupakan tanggung jawab negara. Seluruh pembiayaan pendidikan, baik menyangkut gaji para guru/dosen, maupun menyangkut infrastruktur serta sarana dan prasarana pendidikan, sepenuhnya menjadi kewajiban negara. Ringkasnya, dalam Islam, pendidikan disediakan secara gratis oleh negara dalam semua jenjang.

Hal ini bisa terwujud karena Islam mengharuskan negara mengadopsi politik pendidikan Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunah (wahyu Allah Taala, Zat Pencipta manusia). Politik pendidikan Islam tersebut berdiri di atas sejumlah prinsip berikut.

Pertama, pandangan tentang ilmu dan pendidikan. Terkait hal ini, Nabi Saw. bersabda dari Abu Musa, “Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutusku dengannya adalah bagai ghaits (hujan yang bermanfaat) yang mengenai tanah. ”(HR Bukhari).

Islam memandang ilmu bagaikan jiwa dalam manusia. Ilmu ibarat air bagi kehidupan. Pendidikan merupakan perkara sangat vital, memiliki peran strategis yang tidak bisa diukur hanya dari dimensi keuntungan materi.

Kedua, fungsi negara. Rasulullah saw. pernah bersabda, “Imam adalah pemimpin yang akan diminta pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR Bukhari).

Negara bertanggung jawab penuh, tidak menjadi regulator, apalagi bergantung kepada kemampuan swasta (masyarakat ataupun korporasi) dalam berbagai pelaksanaan kewajibannya.

Ketiga, sumber pembiayaan. Sistem pendidikan formal yang diselenggarakan Khilafah memperoleh sumber pembiayaan sepenuhnya dari negara, yakni baitulmal.

Keempat, sentralisasi kekuasaan negara dan desentralisasi administrasi. Dalam Islam, kekuasaan negara terkait pembiayaan maupun kurikulum bersifat terpusat agar tujuan pendidikan segera terwujud.

Kelima, merupakan bagian integral dari negara (yang memberikan kesejahteraan bagi seluruh alam. Penerapan sistem politik Islam dan ekonomi Islam meniscayakan negara memiliki visi misi menyejahterakan rakyat.

Pemenuhan hak pendidikan pun bukan hal sulit. Dengan demikian, solusi hakiki bagi jaminan pembiayaan pendidikan sejatinya adalah kembali kepada penerapan syariat Islam secara kafah. Wallahu a’lam. (*)

 

Penulis: Mansyuriah, S. S. (Aktivis Muslimah)

 

 

***

 

 

Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.

error: Content is protected !!