OPINI—Perhelatan akbar peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia telah berlalu, namun kontroversi pelarangan hijab pada Petugas Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) akan terus dikenang sebagai bentuk diskriminatif.
Dari 38 provinsi ada 18 orang Muslimah berhijab yang menjadi wakil untuk jadi petugas Paskibraka pusat yang akan bertugas di Ibu Kota Negara yang baru.
Secara mengejutkan 18 orang anggota Paskibraka muslimah tersebut tidak ada satupun yang menggunakan hijabnya saat pengukuhan, sehinggga Pengurus Pusat Purna Paskibraka Indonesia (PPI) menyesalkan hal itu.
Dilansir dari cnnindonesia.com (14-8-2024), kepala BPIP Yudian Wahyudi menyatakan para calon anggota Paskibraka sebelumnya telah menandatangani surat persetujuan saat mendaftar, termasuk untuk mengikuti atribut seragam yang ditentukan.
Pada saat pendaftaran, setiap calon Paskibraka tahun 2024 mendaftar secara sukarela, untuk mengikuti seleksi administrasi dengan menyampaikan surat pernyataan yang ditandatangani di atas materai.
MUI merespon aturan ini tidak pancasilais dan mendesak agar aturan ini dihapus, beliaupun menyarankan jika tidak ada kebebasan dalam berjilbab, sebaiknya para peserta Muslimah tersebut pulang saja. (mui.or.id, 14-08-2024)
Meski pada akhirnya BPIP menganulir keputusan ini, tapi sungguh dengan kejadian ini membuka mata kita bahwa ini adalah bentuk diskriminasi bagi muslimah dan wujud nyata sekularisme.
Sisi lain, dengan tujuan memperingati hari kemerdekaan, justru terjadi penjajahan terhadap kemerdekaan dalam menjalankan ketaatan bagi seorang muslimah yang wajib ditutup auratnya.
Bentuk Diskriminatif
Sejatinya adanya aturan melarang hijab adalah bentuk diskriminatif dan dapat membatasi kebebasan individu untuk mengekspresikan identitas dan keyakinan mereka, terutama bagi mereka yang memilih untuk mengenakan hijab sebagai kewajiban yang datang dari Allah.
Sementara bagi muslimah yg mengenakannya harusnya dijamin dalam kebebasan (merdeka). Lalu kenapa harus terikat atau harus ada aturanyang melanggar kebebasan? Hijab/ jilbab itu bukan hanya identitas muslimah tapi manifestasi keimanan seorang muslimah.
Kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah hak asasi manusia yang diakui secara internasional. Dengan melarang simbol keagamaan seperti hijab dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak tersebut.
Terlebih lagi, pelarangan hijab pada para anggota Paskibaraka merupakan paradoks, disaat kita selalu menyerukan kebebasan tapi pada saat yang sama terjadi pelarangan berhijab dengan dalih sudah aturan dan dijalankan secara sadar. Jika benar kita mengusung kebebasan, kenapa untuk berhijab bagi 18 anggota Paskibraka kebebasan itu tidak ada?
Produk Demokratisasi dan Sekularisasi
Tidak dimungkiri tren berhijab di kalangan siswi sepertinya cukup membuat “gerah” sejumlah pihak. Terlebih lagi, media kerap menggoreng beberapa peristiwa disertai narasi yang menyudutkan. Harusnya tidak ada yang perlu dipermasalahkan ketika para siswi mengenakan hijabnya sebagai bentuk ketaatan terhadap Allah, sehingga menjadi aneh ketika ada beberapa pihak mempermasalahkan hal tersebut.
Sejatinya pelarangan hijab bagi anggota Paskibraka adalah produk dari demokratisasi dan akibat sekularisasi. Kaum muslim terjebak dengan pemahaman yang mengajarkan bahwa tujuan hidup manusia hanyalah materi dan makna kebahagiaannya hanyalah kepuasan jasadi.
Mereka tidak mengenal bahwa agama adalah tuntunan hidup. Alhasil, dalam bertingkah laku, mereka tidak mengenal aturan agama. Kehidupan sekuler pun begitu sistematis diterapkan dalam setiap inci kehidupan. Mulai dari keluarga, lingkungan, masyarakat, hingga negara. Efeknya dalam kehidupan, masyarakat menafikan nilai nilai agama.
Solusi Islam
Dalam Islam, hijab adalah wujud kesopanan dan ketaatan pada ajaran agama. Al-Qur’an dan hadis memerintahkan perempuan untuk menutup kepala dan tubuhnya untuk melindungi perempuan dari perhatian yang tidak diinginkan dan menjaga martabat mereka. Seorang muslimah yang berhijab menggambarkan bahwa dirinya sedang berusaha menjalankan aturan Allah.
Allah Swt. telah mewajibkan para perempuan untuk menutup aurat. Seorang perempuan wajib menggunakan pakaian luar berupa baju kurung/jilbab dan khimar/kerudung saat keluar ke kehidupan umum.
Hal ini sesuai dengan firman Allah, “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya.” (QS An-Nûr [24]: 31)
Juga dalam firman Allah, “Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’” (QS Al-Ahzâb: 59).
Makna dari kalimat “hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya” berarti mengulurkan mulâ’ah (baju kurung) atau milhafah hingga menjulur ke bawah (irkhâ’).
Dari peristiwa ini, kita bisa belajar bahwa perjuangan apa pun jika tidak berawal dari paradigma dan perubahan sistem secara mendasar, hanya akan berbuah kesia-siaan, bahkan malah ditunggangi dan menjadi bagian dari sistem rusak itu sendiri.
Maka harus disadari bahwa penindasan itu adalah akibat pengaruh sistem sehingga solusi mendasarnya haruslah perubahan sistem itu sendiri, bukan sekadar menuntut persamaan dan bebas dari diskriminasi
Dengan adanya fenomena pelarangan hijab pada anggota Paskibraka merupakan buah dari penerapan kehidupan sekularisme. Fenomena yang problematik ini hanya bisa selesai tuntas dengan menghadirkan kehidupan Islam yang akan menjamin para remaja taat agama dan fokus berkarya untuk umat.
Hanya menaati Allah Swt. yang akan membawa perubahan yang kita perlukan dan menjamin perlindungan umat manusia. Tidak ada solusi, kecuali solusi yang diberikan oleh Pencipta kita. Kita harus menegakkan perisai umat. Wallahu a’lam. (*)
Penulis: Mansyuriah, S. S (Aktivis Muslimah)
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.