OPINI—Fenomena seseorang perempuan cantik asal Arab Saudi bernama Khulood memakai kaos hitam dan rock mini berjalan dipinggir jalan di daerah Najd, salah satu daerah menganut paham Islam konservatif dan menurut sejarah di sinilah awal mula munculnya gerakan Islam ekstrimis yang disebut aliran Wahabi.
Semat menghebohkan netizen di twitter dengan snapchat Khulood. Beberapa kalangan sosial media nyinyir dengan pakaian yang digunakan dan ada pula yang pro terhadap pakaian yang digunakan khulood. Dengan tingkah snapchater Khulood tersebut warga Arab Saudi tidak terbiasa dan akhirnya dipolisikan.
Negara mengatur pakaian bukan hanya di Arab Saudi, di Perancis pun demikian mengatur warganya dalam berpakaian. Kalau di Arab Saudi ‘niqab’ (sehelai kain yang menutup wajah atau cadar) itu suatu hal yang lumrah dan menurutnya itu sesuatu keistimewaan, tapi berbeda dengan Perancis, melarang pemakaian niqab bagi warganya maupun warga Negara asing yang masuk ke Perancis.
Di Korea Utara dan Sudah juga termasuk Negara yang mengatur pakaian bagi warganya. Di korea Utara melarang warganya memakai celana, pelanggaran atas peraturan tersebut akan membayar denda atau diminta kerja paksa. Di Sudan pernah terdapat 9 perempuan yang tertangkap mengenakan celana dan sadisnya di cambuk sampai 40 kali.
Di negara kita pun tak lepas dari peraturan berpakaian tepatnya di serambi Mekkah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), merupakan daerah yang kental akan syariat Agama Islam sehingga terbentuk sebuah Polisi syariah yang disebut Wilayatul Hisbah.
Tugas mereka memberikan sarung kepada warga yang memakai celana ketat dan memberikan kerudung yang keluar dari rumah tidak menggunakan kerudung.
Perlawanan Perempuan Saudi
Di negara-negara yang konservatif di atas tidak hanya mempermasalahkan pakaian bagi perempuan, seperti di Arab Saudi termasuk Negara yang memberikan ruang sempit bagi perempuan, sebagaimana kasus perempuan menyetir mobil di lakukan oleh Loujab al-Hathlou salah satu aktivis HAM perempuan di Arab Saudi.
Perempuan menyetir kendaraan memang tidak di berikan izin oleh pemerintahan Arab Saudi dan Hathlou melakukan hal tersebut demi menggugat peraturan yang di anggap tidak mencerminkan kesetaraan gender.
Na’as perlawanan Hathlou tetap di tangkap dan harus masuk buih selama 73 hari pada Desember tahun 2014. Perlawanan Hathlou bukan hanya perizinan mengendarai kendaraan mobil, Aktivis HAM ini pula pernah mencalonkan dirinya di pemilihan Umum pada bulan 2015 lalu. Hathlou dalam kampanye mengatakan bahwa perempuan berhak memilih dan dipilih. Nyatanya, nama Hatlou tidak tercantum pada kertas suara.
Arab Saudi terlalu kaku terhadap kebebasan perempuan dalam mengekspresikan dirinya di depan publik. Beberapa larangan yang di tetapkan oleh pemerintah Arab Saudi yang bukan hanya izin menyetir kendaraan dan pakaian saja, ada beberapa yang pelarangan yang menarik di ketahui hingga perempuan arab terbelenggu dalam peraturan kepemerintahan Saudi yaitu tampil cantik dengan pakaian dan riasan, interaksi dengan laki-laki, berenang di tempat publik, mengikuti pertandingan olahraga, mencoba pakaian di toko pakaian, bekerja dan bersekolah tanpa izin suami.
Peraturan yang amat ketat bagi perempuan Arab Saudi membuat perempuan Arab Saudi terasa berada pada derajat rendah sebagaimana pernyataan Mahedah Al-Jroush seorang psikoterapis dan fotografer Arab Saudi mengatakan,
“Kami, perempuan terus dipermalukan, diancam, dan diperlakukan seperti mahluk rendah”
Pernyataan ini dikeluarkan pada saat melakukan demonstrasi melawan larangan menyetir bagi perempuan, dalam demonstrasi tersebut pada tahun 2011 para perempuan yang berani melakukan demo dan tertangkap oleh polisi didenda dan kemudian di penjara, sementara lainnya kehilangan pekerjaan termasuk Mahedah Al-Jroush kehilangan pekerjaannya.
Angka Pelecehan Seksual di Arab Saudi
Berbagai aturan bagi perempuan banyak mendapat pemberlakuan tidak adil di kepemerintahan dan kaum laki-lakinya selalu merendahkan harkat dan martabat perempuan dengan maraknya kasus pelecehan seksual yang di alami oleh perempuan Arab Saudi. Meski menggunakan pakaian tertutup tak membantu menghindari pelecehan sosial di publik.
Sebagaimana pada tahun 2013-2014 kementerian dan kehakiman negara Arab Saudi melansir data statistik total 3.982 kasus pelecehan seksual yang dibawa hingga pengadilan. Rata-rata ada enam kasus pelecehan seksual yang di laporkan setiap harinya.
“Pangsa” terbesar untuk pengalaman traumatik ini terjadi di ibukota saudi Riyadh, yakni sebanyak 1.999 kasus. Sementara di Mekkah terjadi 494 kasus, di Madinah 275 kasus, dan di wilayah provinsi-provinsi timur dilaporkan ada 335 kasus. Ini adalah kasus yang terungkap ke publik.
Diyakini bahwa kasus yang terkubur menjadi rahasia lebih banyak lagi. Sudah menjadi jamak bagi perempuan Saudi. Data dari riset Thomson Reuters Foundation yang dirilis pada November 2013, Arab Saudi menempati posisi ketiga sebagai negara Arab terburuk untuk tempat tinggal perempuan. Riset tersebut berdasarkan jawaban dari 336 ahli gender yang berpartisipasi sebagai responden sekaligus penilai.
Pada tahun 2014 silam Arab News pernah melansir sebuah laporan bahwa pelecehan menjadi keresahan dan ketakutan perempuan di Jeddah sebab kasus pelecehan seksual meningkat.
Fahra Zaman, seorang narasumber, mengaku pernah ketakutan saat ia sedang naik taksi menuju tempat kerja lalu sebuah mobil mengganggu taksinya dan berusaha memberhentikan taksi yang ditumpanginya. Fenomena lazim seperti ini sering kali di temui dengan korban para perempuan yang sedang berjalan kaki di trotoar.
Dalam tulisan Noura Binti Afeich menyurvei kasus pelecehan seksual dengan mendatangi beberapa perempuan Saudi. Angka 78 persen perempuan Saudi mengalami pelecehan seksual yang berusia 18-48 tahun, 92 persen responden kemudian mengiyakan bahwa pelecehan seksual pada perempuan memang sedang jadi tren di Saudi.
Hasil lainnya menyebutkan bahwa 27 persen responden mengaku pernah mendapat pelecehan secara verbal, 26 persen dilecehkan melalui telpon, 24 persen dilecehkan lewat cara pandang, dan 15 persen pernah dilecehkan dengan cara disentuh bagian tubuhnya.
Lalu bagaimana pendapat kaum adam (Pria) Arab Saudi dengan maraknya kasus pelecehan seksual? Apakah kaum adam merasa bersalah? Mari kita mengutip dari riset King Abdul Azis Center for National Dialogue yang dipublikasikan pada tahun 2014 lalu dan melibatkan 992 narasumber.
Hasilnya 86,5 persen responden laki-laki mengatakan bahwa faktor utama mengapa pelecehan seksual begitu tinggi di Saudi adalah karena perempuan-perempuan di negara itu memakai riasan wajah yang berlebihan. Ini artinya di mata mayoritas responden laki-laki, para korban malah menyalahkan perempuan sebagai pemicu terjadinya pelecehan seksual.
Negara yang menganut paham Syariah Islam sebagai landasan hukum mereka tak membuat kriminalitas asusila pun marak terjadi terhadap perempuan yang jadi korbannya. Perempuan di negara Arab Saudi terlalu amat sempit bagi perempuan dengan berbagai larangan yang menjatuhkan harkat dan martabatnya.
Perlunya Negara-negara mayoritas Islam tidak kaku dalam memberikan ruang perempuan baik dalam mengemukakan pendapat dihadapan publik maupun berekspresi termasuk kesetaraan gender. (*)
Penulis: Ikhlasul Amal Muslim (Mahasiswa)
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.