OPINI—Level pembicaraan tentang genZ sekarang lagi naik daun. Bukan lagi tentang sikap ugal-ugalan mereka atau terkenalnya mereka dengan pencapainnya di dunia hiburan tapi berharganya suara mereka dalam dunia politik.
Generasi Z, atau yang biasa kita sebut sebagai Gen Z adalah kelompok masyarakat yang lahir dalam rentang tahun 1997 hingga 2012. Mereka tumbuh dalam era digital yang serba cepat, penuh dengan arus informasi, dan teknologi yang berkembang pesat.
Di dunia politik, generasi ini semakin menjadi sorotan, terutama di Indonesia, mengingat besarnya jumlah mereka dalam daftar pemilih untuk Pemilu 2024.
Data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), total daftar pemilih tetap (DPT) sebesar 204.807.222, sebanyak 46.800.161 di antaranya adalah pemilih dari generasi Z, atau sekitar 22,85 persen dari keseluruhan pemilih.
Angka ini menunjukkan bahwa Gen Z adalah kekuatan besar yang berpotensi menentukan hasil pemilu dan masa depan politik Indonesia. kumparan.com/16/9/24.
Ketua APSIPOL, Iding Rosyidin mengatakan bahwa di Indonesia ada fenomena kemunduran demokrasi (Democratic Backsliding) telah membuat panik para aparat. Oleh karena itu muncul harapan agar kaum muda Gen Z khususnya mahasiswa bisa menjadi agen perubahan demokrasi.
“Iding Rosyidin menyebutkan, salah satu solusi kemunduran demokrasi itu, yakni adanya reformasi ditubuh partai politik dengan adanya perubahan pola rekrutmen, kaderisasi dan distribusi kader. Sehingga pada saat ini, para mahasiswa yang duduk di bangku kuliah diharapkan sudah mendapatkan bekal pengetahuan politik mumpuni, agar bisa memperbaiki iklim demokrasi Indonesia ke depan.”
Gen Z memiliki peranan besar untuk perubahan negeri kedepannya, bukan soal banyaknya jumlah mereka, tapi potensi yang sudah ditanamkan pada diri mereka. Tapi apakah mereka harus berjuang dengan kemunduran demokrasi atau mereka butuh langkah yang lain untuk gebrakan baru?
Demokrasi bukan Jalan Perubahan hakiki
Bisa dikatakan pemuda/Gen Z hari ini terbagi dalam dua arus besar. Pertama, kelompok pemuda/Gen Z yang tidak tahu jati dirinya, menghabiskan waktu untuk hal yang tidak berguna, bahkan terjerumus sebagai pelaku tindak kriminal.
Kedua, kelompok pemuda/Gen Z yang serius mengejar mimpi dan cita-citanya, tetapi potensinya “disia-siakan” sistem hari ini karena kesalahan terbesar negara yang kehilangan visi politik Islamnya.
Pada akhirnya, potensi anak-anak muda ini dimanfaatkan oleh negara luar atau untuk kepentingan korporasi global sehingga jadilah masa depan umat terus terjajah peradaban Barat.
Dalam sistem demokrasi, pemuda/Gen Z hanya diajarkan bagaimana mencapai pencapaian diri dengan amal individu tanpa memperhatikan kondisi umat atau yang disebut dengan amal jamaih.
Padahal para pemuda muslim mustahil mencukupkan diri dengan amal individu. Mereka membutuhkan amal jemaah yang akan menunjang kualitas amalan mereka kedepannya dalam perbaikan kehidupan masyarakat.
Demokrasi memang dianggap sistem terbaik di seluruh dunia, tetapi faktanya adalah kerusakan. “Contohnya, maraknya pergaulan bebas hingga mengakibatkan banyaknya pemuda krisis akhlak karena dalam demokrasi ada jaminanan bebads berpendapat dan berperilaku. Pembahasan tentang kebobrokan demokrasi, jelasnya, sudah sejak lama dan sejak dulu”.
Betapa “hebatnya” negeri ini masih bertahan dengan demokrasi, padahal banyak yang sudah menganggap demokrasi bukan sistem ideal. Mengapa bisa terjadi? Karena kurangnya edukasi. Di sini pentingnya edukasi dan dakwah agar masyarakat khususnya Gen Z memiliki kesadaran politik dan sadar akar rusaknya sistem sekrang dan pentingnya mengembalikan sistem Islam.
Ketika politik demokrasi itu menampakkan berbagai kerusakan yang diindera pemuda/Gen Z, sejatinya itu bukanlah kemunduran demokrasi. Lebih tepat disebut demokrasi sebagai sebuah sistem yang merusak, sehingga demokrasi memang layak ditinggalkan oleh pemuda/Gen Z.
Demokrasi sudah jelas merupakan sistem kehidupan buatan manusia. Demokrasi telah menghasilkan kerusakan secara pemikiran, peraturan dan perasaan. Dalam kaca mata muslim, sistem aturan yang bukan berasal dari wahyu Allah SWT adalah sistem kufur sehingga haram mengadopsinya.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam al Quran surat al Maidah ayat 49-50
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ. أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Terjemahnya: “Dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah. Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?”
Gen Z seharusnya menyadari bahwa akar persoalan negara saat ini adalah akibat penerapan sistem sekuler demokrasi kapitalisme sehingga perubahan yang harusnya mereka perjuangkan adalah membangun kesadaran politik Islam, bukan perubahan semu yang ditawarkan sistem politik demokrasi. Itulah yang dinamakan dengan perubahan hakiki.
Perubahan hakiki bukan sekadar perubahan parsial berupa pergantian rezim setiap lima tahunan, melainkan harus mengarah pada perubahan sistem hidup yang diterapkan, yakni perubahan dari sistem sekuler demokrasi yang nyata rusak dan merusak menuju sistem Islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunah.
Untuk itu, sudah seharusnya Gen Z menawarkan solusi perubahan itu dengan tegaknya syariat Islam, yakni menerapkan hukum-hukum Allah yang dipastikan akan membawa keberkahan.
Pentingnya Pendidikan Politik Islam
Dalam Islam, politik berasal dari kata “saasa-yasuusu-siyasatan”. Makna dari kata tersebut terangkum dalam pengurusan urusan umat. Dengan demikian, apa pun yang menjadi masalah umat, penguasa wajib hadir menjadi pelayan rakyatnya.
Definisi politik ini sangat erat kaitannya dengan penguasa/politisi. Bandingkan dengan situasi hari ini, banyak politisi yang jauh dari gambaran sebagai seorang pelayan rakyat.
Pendidikan politik adalah bagaimana proses seseorang memiliki sikap dan orientasi terhadap penomena politik yang berlaku atau yang terjadi ditengah-tengah masyarakat dimana dia berada.
Dalam artian seseorang yang memiliki pendiidikan politik akan memiliki kesadaran politik. Dengan kesadaran politik yang dimilikinya akan memiliki cara pandang yang khas dalam mengatur dan mengurus urusan masyarakat.
Dan tanggung jawab mengadakan pendidikan politik seperti ini adalah tanggungjawab negara. Khilafah akan melakukan pendidikan politik Islam kepada para pemuda/Gen Z, karena politik dalam Islam adalah satu kebutuhan dan umat Islam termasuk Gen Z wajib berpolitik sesuai dengan tuntunan Islam.
Disamping sebuah negara melakukan pendidikan politik terhadap para pemuda/Gen Z, pendidikan politik juga menjadi menjadi tugas penting dari partai politik. Jika kita berbicara partai politik Islam dalam konteks sekarang ini, maka parpol Islam harus berperang penting dalam konteks perubahan di tengah-tengah umat.
Para Gen Z harus berpartisipasi dalam perubahan politik Indonesia. Dan untuk itu mereka membutuhkan peran partai politik untuk membimbing mereka memahami politik yang benar, dan melakukan perubahan politik.
Dengan begitu para Gen Z akan menjadi politisi sejati untuk perbaikan generasi kedepannya. Hal itu akan terwujud dengan memahami politik Islam dan perubahan politik menuju sistem Islam, bukan mempertahankan demokrasi yang terbukti problematik.
Untuk itu para Gen Z membutuhkan sebuah partai Islam ideologis untuk mewadahi mereka dalam mewujudkan perannya ditengah-tengah masyarakat. karena hanya partai Islam ideologis yang mampu mencetak kader-kader terbaik pelaku perubahan dengan militansi tinggi seperti Ali bin Abi Thalib, juga Mushab bin Umair.
Kriteria parpol sahih harus dipahami pemuda/Gen Z: memiliki ideologi sahih (Islam) sekaligus menjadi ikatan yang menghimpun para anggotanya; memiliki konseptual politik yang dipilihuntuk menjalankan perubahan (mengadopsi fikrah politik tertentu); memiliki metode langkah perubahan yang relevan dengan problem sistem (metode perubahan yang teruji); memiliki para anggota yang memiliki kesadaran yang benar (bukan sekedar karena ketokohan, kepakaran, jabatan).
Jadi sudah semestinya pemuda/Gen Z harus bergabung dengan partai politik sahih untuk memperbaiki kehidupan masyarakat dan negara. Mewujudkan tata dunia baru yg berbeda dengan model politik demokrasi yang jelas telah gagal sejak lama. Wallahu a’lam bisshowab. (*)
Penulis: Anggun Sunarti, SH
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.