Advertisement - Scroll ke atas
  • Pemkot Makassar
  • Bapenda Makassar
  • Universitas Diponegoro
Opini

Generasi Emas Tanpa Pendidikan, Mungkinkah?

421
×

Generasi Emas Tanpa Pendidikan, Mungkinkah?

Sebarkan artikel ini
Generasi Emas Tanpa Pendidikan, Mungkinkah?
Jumriah, S.Pd. (Aktivis Muslimah)
  • Pemprov Sulsel
  • PDAM Makassar
  • Pilkada Sulsel (KPU Sulsel)

OPINI—Indonesia saat ini masih terus berjuang mengatasi beragam masalah pemerataan pendidikan. Salah satu diantaranya, tingginya angka putus sekolah. Di mana hal ini bisa menjadi ancaman yang serius untuk masa depan generasi.

Penjabat (Pj) Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel), Zudan Arif Fakrulloh menyebut, sebanyak 140.017 anak yang putus atau tidak bersekolah di Sulsel saat ini.

Advertisement
Scroll untuk melanjutkan

Menurut Zudan, salah satu penyebab angka putus atau tidak sekolah ini semakin meningkat adalah tekanan kemiskinan. Dengan demikian, Zudan memberikan beasiswa kepada orang yang kurang mampu. (heraldsulsel.com 03/09/2024)

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa mayoritas (76%) keluarga menyatakan penyebab utama anak mereka putus sekolah adalah karena alasan ekonomi. Sebagian besar (67,0%) di antaranya tidak mampu membayar biaya sekolah, sementara sisanya (8,7%) harus mencari nafkah.

Tentu ini sangat memprihatinkan dan harus segera diselesaikan. Sebab jika tidak, permasalahan yang lebih pelik akan terjadi yakni meningkatnya pengangguran, kemiskinan, kenakalan remaja, kriminalitas, dsb. Mungkinkah generasi emas lahir saat pendidikan saja masih sulit diraih?

Pendidikan “Barang Mahal”

Dalam sistem kapitalisme sekuler yang diterapkan negara saat ini, pendidikan termasuk hal yang bisa dikomersialisasi. Sehingga wajar jika masyarakat menganggap hanya orang yang berduit saja yang bisa mengenyam pendidikan berkualitas.

Masyarakat yang tergolong miskin harus bertambah kepahitan hidupnya sebab hak untuk mendapatkan pendidikan lengkap dan layak tak bisa mereka raih.

Mereka harus berjibaku dengan dunia kerja, meski tak sedikit diantaranya anak usia sekolah dasar, namun mereka lakukan demi membantu perekonomian keluarga. Hal ini semakin melengkapi kegagalan pemerintah sekular dalam memenuhi hak rakyatnya.

Anggaran pendidikan yang ditetapkan oleh pemerintah sebesar 20% dari APBN, selain itu juga bersumber dari APBD. Anggaran ini tidak hanya disalurkan ke pendidikan di sekolah, namun juga ke berbagai program pendidikan lainnya.

Anggaran dari APBN tahun 2024 sekarang berjumlah Rp660,8 trliliun, yang masih sangat terbatas untuk mampu memeratakan pendidikan maupun menjamin pendidikan gratis dari tingkat dasar hingga menengah. Apatah lagi jika berharap negara mampu menjamin pendidikan gratis di semua jenjang pendidikan. Jauh panggang dari api.

Meski pemerintah berdalih telah melakukan berbagai upaya pemerataan pendidikan, nyatanya angka anak putus dan tidak sekolah tiap tahunnya meningkat sejalan dengan angka kemiskinan. Mirisnya, negara ini adalah negara yang kaya raya, kaya akan sumber daya alamnya.

Namun faktanya kekayaan alam dan fasilitas umum yang harusnya hanya dikelola sebaik-baiknya oleh pemerintah, justru diserahkan pada pihak swasta untuk dikelola. Sehingga, anggaran pendapatan negara tidak akan pernah cukup untuk menyejahterakan rakyat, terlebih dalam pemenuhan hak pendidikan untuk generasi.

Ironi, sistem kapitalisme sekularlah yang meniscayakan sumberdaya bisa diprivatisasi dan pendidikan pun dikapitalisasi. Negara lepas tanggung jawab dalam menjamin hak pendidikan untuk seluruh rakyatnya. Hubungan lembaga pendidikan dan peserta didik tak jarang mengarah pada transaksi harga antara penjual dan pembeli.

Selama pendidikan menjadi “barang mahal”, tentu tidak akan mungkin semua kalangan bisa mengakses pendidikan secara merata meski sekedar pendidikan dasar. Juga, mustahil lahir generasi emas tanpa mengeyam pendidikan yang layak dan berkualitas, yang terjadi generasi akan lemah dan mudah diperbudak.

Realitas ini menunjukkan bahwa pemerintah dalam sistem kapitalis sekular tidak dapat menciptakan iklim kehidupan yang kondusif untuk mencetak generasi emas. Pemerintah dan masyarakat sudah semestinya sadar untuk mengambil solusi alternatif Islam dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi generasi.

Sistem Pendidikan Islam

Dalam Islam, pendidikan memiliki posisi yang sangat penting. Bahkan menjadi kewajiban untuk kaum muslim menuntut ilmu. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw., “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah)

Pendidikan memastikan pemikiran Islam tetap terjaga di tengah kaum Muslim dari generasi ke generasi. Pendidikan menjadi investasi peradaban masa depan. Pendidikan ditujukan untuk menghasilkan generasi emas yang akan menjadi pemimpin dan pembangun peradaban.

Negara berkewajiban menjamin tiga kebutuhan pokok masyarakat yakni pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Berbeda dengan kebutuhan pokok individu (sandang, pangan, dan papan) yang dijamin secara tak langsung oleh negara, pendidikan, kesehatan dan keamanan dijamin secara langsung oleh negara. Maksudnya, tiga kebutuhan ini diperoleh secara cuma-cuma sebagai hak rakyat atas negara (Abdurahman al-Maliki, 1963).

Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Imam bagaikan penggembala dan dialah yang bertanggung jawab atas gembalaannya itu.” (HR Muslim)

Sehingga dalam Islam, pembiayaan pendidikan untuk seluruh tingkatan sepenuhnya merupakan tanggung jawab negara, dengan kata lain disediakan secara gratis oleh negara. Semua rakyat berhak mendapatkan kesempatan yang sama dalam mengenyam pendidikan, baik muslim maupun nonmuslim, kaya maupun miskin.

Sumber anggaran pendidikan oleh negara dalam Islam diambil dari dua sumber yakni Baitul Mal dan pos kepemilikan umum. Sumber pendapatan Baitul Mal yang dapat digunakan untuk membiayai pendidikan, yaitu pos fai’ dan kharaj, khumuûs (seperlima harta rampasan perang), jizyah, dan dharîbah (pajak yang hanya dipungut saat kas baitulmal kosong dan dikenakan hanya pada orang kaya laki-laki).

Sedangkan dari pos kepemilikan umum seperti hasil pengelolaan negara atas tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan). Selain itu, negara tetap membuka peluang untuk masyarakat jika mereka ingin memberikan wakaf ataupun infaq dalam pendidikan.

Demikianlah Islam memposisikan dan mengatur pendidikan rakyatnya. Pendidikan yang merupakan bagian dari hak dan kebutuhan pokok tidak akan dibebankan kepada kantong individu rakyat. Sebab akan menjadi beban berat yang dipikul rakyat sebagaimana yang terjadi hari ini.

Inilah pentingnya, jaminan pemenuhan pendidikan berkualitas oleh negara, sebagai wujud pengurusannya atas umat. Hal ini akan terwujud saat negara mencampakkan sistem kapitalisme dan menerapkan sistem Islam secara menyeluruh untuk mengatur urusan hidup rakyat. Maka bukan hal mustahil generasi emas dan berkualitas itu akan lahir kembali sebagaimana yang telah terjadi di masa keemasan Negara Islam.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb.

 

Penulis:Jumriah, S.Pd. (Aktivis Muslimah)

 

***

 

Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.

error: Content is protected !!