OPINI—Kado pahit kenaikan pajak kembali dirasakan rakyat awal tahun ini. Pemerintah mengaku amanat UU HPP ini akan diimplementasikan secara hati-hati agar dapat berjalan selaras dan tidak mengganggu pemulihan ekonomi. Salah satunya dengan menaikkan PPN secara bertahap dari 10% menjadi 11% pada 2022, dan naik lagi menjadi 12% di awal 2025. Pada akhirnya pemerintah boleh menaikkan hingga 15%.
Pengumuman kenaikan pajak ini telah menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Meski Pemerintah mengkonfirmasi kenaikan PPN 12% hanya pada jenis barang dan jasa premium, semisal beras premium, jasa pendidikan dan kesehatan premium, dll.
Namun masyarakat kelas menengah tetap terkena imbasnya. Hal ini terjadi lantaran simpang siur informasi sebelum pengumuman resmi pemerintah telah menimbulkan ekspektasi inflasi dan dampak psikologis bagi pelaku usaha.
”Walaupun dari daftar barangnya sudah tepat menurut saya, masyarakat kelas menengah bawah sudah merasakan sebetulnya dampak dari ekspektasi kenaikan PPN. Ini tentu saja semakin mengikis daya beli kalangan menengah bawah. Dan, ketika barang itu sudah naik, biasanya tidak akan turun atau hampir kecil kemungkinannya untuk turun kembali,” tutur Mohamad Faisal, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia. (kompas.id 01/01/2025)
Bahkan demi mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan kenaikan pajak ini, pemerintah memberikan beberapa stimulus diantaranya pemberian bansos berupa diskon listrik 50% dan bantuan beras 10 kg selama 2 bulan, dll.
Namun fakta menunjukkan, adanya pembatasan objek kenaikan PPN dan pemberian stimulus jangka pendek tidak akan serta merta mengurangi beban rakyat. Sekalipun kenaikan PPN ini hanya diberlakukan secara selektif, tetapi imbasnya tetap ke semua kalangan dan berdampak jangka panjang. Sebab para pengusaha yang terkena pajak itu akan menaikkan harga jual barang yang diproduksinya karena biaya produksi meningkat. Akibatnya inflasi pun akan tetap terjadi.
Pajak Sumber Pendapatan Utama APBN di Negara Kapitalis
Kebijakan pajak merupakan keniscayaan dalam sistem ekonomi kapitalisme. Pajak memainkan peran penting dalam mengatur dan memengaruhi sistem ekonomi kapitalisme yang berasaskan materialistik. Bahkan pajak sebagai salah satu sumber pendapatan utama yang diandalkan dan menjadi tumpuan kelangsungan negara. Maka wajar saat APBN terus mengalami defisit dan utang menggunung, jalan satu-satunya yang dipandang bisa mendatangkan dana adalah pajak.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kemenkeu RI, pada 2024, penerimaan negara dari berbagai sumber diproyeksikan mencapai Rp2.802 triliun. Pajak menghasilkan keuntungan terbesar dengan target perolehan Rp2.309,9 triliun, naik Rp191 triliun dari tahun sebelumnya atau 82,4% dari total pendapatan negara.
Tidak heran jika kewajiban membayar pajak selalu dipropagandakan karena perekonomiannya memang bertumpu pada pajak. Meski rakyat sudah teriak terbebani, namun atas nama undang-undang penguasa tetap menarik pajak.
Padahal, negeri ini kaya akan sumber daya alam yang jika dikelola dengan baik, akan cukup untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Masalahnya, sumber daya telah salah kelola, ia telah diserahkan kepada asing. Alhasil, alih-alih memberi kemudahan, rakyat justru dipaksa merogoh kantong lebih dalam.
Jika ditelisik, kebijakan yang menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan utama APBN merupakan sebuah kesalahan. Sebab pajak adalah bentuk pemalakan negara kepada rakyatnya. Bagaimana tidak? Pihak yang tidak bayar pajak dipandang sebagai pihak yang melakukan kejahatan dan wajib dikenai sanksi.
Di sinilah paradoksnya, negara seharusnya berkewajiban untuk menyejahterakan rakyatnya dengan berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya, bukan sebaliknya justru negara berharap pada rakyat untuk membayar pajak kepada negara dengan sukarela atas hasil jerih payahnya agar terpenuhi segala kebutuhan hidup yang makin hari makin sulit.
Rasulullah Saw. pernah bersabda “Barang siapa yang diserahi kepemimpinan terhadap urusan kaum muslimin namun ia menutup diri tidak mau tahu kebutuhan mereka dan kefakiran mereka, niscaya Allah tidak memperhatikan kebutuhannya dan kefakirannya di hari kiamat.” (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
Ironinya, negara saat ini tidak menjadikan Al Qur’an dan As Sunnah sebagai landasan membuat kebijakan. Beginilah karakter dari sistem sekuler kapitalisme, yakni memisahkan agama dari kehidupan.
Berharap keadilan dan kesejahteraan pada negara kapitalis saat ini hanyalah mimpi. Sejatinya ia adalah sistem dzolim yang berkamuflase dengan narasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Nyatanya segala bentuk kebijakan yang diterapkan justru merampas hak milik rakyat.
Sudah saatnya rakyat mencampakkan sistem kepemimpinan sekuler kapitalistik yang meniscayakan kebijakan dzolim. Kemudian beralih mengambil sistem kepemimpinan Islam yang menjadikan penguasa sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (penjaga) bagi seluruh rakyatnya. Selain itu, sistem Islam memiliki pengaturan yang khas terkait sistem ekonominya.
Sumber APBN Negara Islam Tidak Bergantung Pada Sektor Pajak
Negara Islam adalah negara yang menerapkan syariat pada seluruh aspek kehidupan manusia. Menjadikan Al-Qur’an, Sunah, ijmak sahabat, dan kias syar’i sebagai landasan dalam membuat hukum. Dalam syariat, penguasa wajib untuk memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok bagi rakyatnya berupa terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, dan papan dengan mekanisme tidak langsung, serta jaminan pemenuhan kebutuhan masyarakat berupa pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
APBN Negara Islam memiliki struktur pemasukan dan pengeluaran harta berdasarkan pada pengaturan syariat. Pos pemasukan APBN terdiri dari 12 jenis, yakni pendapatan dari harta rampasan perang (anfal, ganimah, fai, dan khumus); pungutan dari tanah yang berstatus kharaj; jizyah (pungutan dari nonmuslim yang tinggal di negara Islam); harta milik umum; harta milik negara; ‘usyur (harta yang ditarik dari perdagangan luar negeri); harta tidak sah para penguasa dan pegawai negara atau harta hasil kerja yang tidak diizinkan syarak; khumus barang temuan dan barang tambang; harta kelebihan dari (sisa) pembagian waris; harta orang-orang murtad; dharîbah (pungutan hanya pada orang kaya dan tidak permanen); dan harta zakat. (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah).
Terlihat, negara Islam memiliki banyak sumber pemasukan. Pengaturan terkait pemasukan dan pengeluaran negara antara sistem Islam dan sistem kapitalisme sangat berbeda. Perbedaan sangat menonjol adalah sumber APBN Negara Islam atau kas baitulmal tidak bergantung pada sektor pajak, berlaku sebaliknya pada sistem kapitalisme.
Pajak atau dharîbah yang ditetapkan oleh negara Islam jelas berbeda dengan pajak yang ditetapkan negara kapitalis, baik latar belakang, maksud, dan tujuannya. Dharîbah dalam sistem ekonomi Islam adalah instrumen pemasukan yang menjadi pilihan terakhir negara dan hanya berlaku pada orang kaya saja.
Sifatnya pun tidak permanen dan hanya akan ditarik dalam keadaan darurat, yakni saat kas baitulmal atau keuangan negara tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan darurat rakyat. Selain kondisi ini, penarikan pajak dianggap sebagai tindakan kedzoliman sebab hukum asal menarik pajak dari rakyat adalah haram.
Maka dharîbah dianggap sebagai kontribusi tambahan, bukan sebagai kontribusi utama apalagi penopang APBN sebagaimana yang terjadi di negara kapitalis. Dalam sistem kapitalisme, semua dipajakin, baik barang, transaksi, maupun jasa, padahal ini jelas dilarang dalam syariat. Islam telah melarang segala bentuk kedzoliman dan pelanggaran hak milik orang lain.
Alhasil, tidak akan ada dalam negara Islam, rakyat yang dipalak dengan segala rupa pajak. Sebab para pemimpin memiliki keyakinan bahwa mereka yang berani memalak rakyat, tidak akan bisa mencium bau surga. Demikian, hanya dengan diterapkannya sistem ekonomi Islam dan kepemimpinan Islam secara menyeluruh, akan terwujud rahmatan lil‘alamin. (*)
Wallahu’alam.
Penulis: Jumriah, S.Pd (Aktivis Muslimah)
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.