OPINI—Guru adalah salah satu faktor penentu dalam kemajuan bangsa melalui pendidikan. Mirisnya saat ini profesi gurulah yang mengalami tingkat stres yang lebih tinggi dibanding profesi lain. Pasalnya selain memikirkan ketidakpastian nasib terkait kesejahteraan hidup, kini guru harus dihadapkan pada kasus kriminalisasi.
Guru yang berupaya melakukan pendisiplinan pada peserta didik dengan memberikan hukuman ataupun teguran, kini dituduh melakukan tindak kejahatan.
Beberapa kasus yang sudah terjadi, pertama seorang guru yang bernama Maya di SMPN 1 Bantaeng dijebloskan ke penjara akibat menertibkan seorang murid yang baku siram dengan temannya dengan sisa air pel, tapi mengenai dirinya. Siswa tersebut dibawa ke ruang BK dan dicubit. Oleh orangtua wali murid yang merupakan seorang anggota kepolisian, ia dilaporkan hingga diproses di meja hijau.
Lalu, guru Darmawati di SMAN 3 Parepare juga harus mendekam di penjara dan menghadapi panjangnya proses persidangan karena tuduhan melakukan pemukulan terhadap siswa yang membolos shalat jamaah Dzuhur. Padahal Darmawati hanya menepuk pundak siswa tersebut dengan mukena. Hasil visum juga menunjukan tidak ada luka sedikitpun di pundak siswa tersebut.
Selain itu, adapula kasus guru Zaharman yang mengalami kebutaan permanen pada mata kanannya akibat diketapel oleh orangtua siswa. Zaharman sebelumnya menegur siswa yang merokok di lingkungan sekolah saat jam pelajaran.
Terakhir yang sedang menjadi perhatian banyak pihak di negeri ini, yaitu seorang guru honorer Supriyani di kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Ia kini menjadi terdakwa atas tuduhan melakukan pemukulan terhadap siswanya yang merupakan anak anggota kepolisian. (Kompas.com 30/10/2024)
Fakta di atas hanya secuil dari realita yang terjadi. Maraknya kriminalisasi terhadap guru menunjukkan lemahnya perlindungan negara atas guru dan bukti karut-marutnya kondisi pendidikan, khususnya kejelasan hak dan kewajiban antara guru, siswa, dan orang tua siswa dalam dunia pendidikan di sekolah.
Punishment and Reward Dalam Pendidikan
Dalam pendidikan akan senantiasa ada punishment and reward (pemberian sanksi dan pemberian hadiah) sebagai motivasi bagi siswa. Namun yang menjadi kisruh sebab sekarang tidak ada standar yang jelas yang bisa menjadi acuan bagi guru untuk memberikan tindakan pendisiplinan pada siswanya.
Selain itu batas sanksi yang dijatuhkan oleh guru kepada siswa tidak dijelaskan pada orang tua. Seharusnya negara, dalam hal ini dinas pendidikan memiliki parameter yang jelas terkait seperti apa bentuk punishment yang bisa dijatuhkan kepada peserta didik yang wajib dipahami oleh guru dan orang tua atau wali.
Di samping itu, harus ada perlindungan hukum bagi guru agar tidak mudah dipolisikan oleh pihak terkait. Begitu pula sebaliknya, peserta didik wajib mendapatkan perlindungan hukum, sebab jangan sampai kemudahan adanya sanksi memberikan peluang tindakan yang menyebabkan trauma, cacat atau luka fisik.
Disinilah pentingnya komunikasi antara semua pihak yang terkait dalam pendidikan, terutama guru, siswa dan orang tua siswa. Sebab banyaknya permasalahan yang muncul dipicu ketidakpahaman pihak-pihak yang terkait dalam keberlangsungan pendidikan yang baik.
Sekolah dan Dinas Pendidikan wajib memberikan pengarahan kepada guru, siswa dan orang tua siswa terkait hak dan kewajibannya selama memberi dan menerima pendidikan di sekolah. Serta pemahaman yang jelas pada orang tua atau wali bahwa selama anak ada dalam lingkungan sekolah, maka sekolah memiliki wewenang untuk memberikan sanksi sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukannya, agar tidak ada lagi korban kekerasan ataupun kriminalisasi baik dari siswa maupun guru.
Guru Tidak Lagi Digugu dan Ditiru
Jika ditelisik, karut-marut pendidikan yang terjadi bersifat sistematis. Sistem kehidupan yang sekuler dan liberal menjadikan perhormatan siswa pada gurunya luntur. Selain itu, aturan punishment yang tidak jelas justru menjadi pisau bermata dua untuk guru dalam melakukan pendisiplinan pada siswa. Perlindungan negara atas guru saat ini sangat lemah hingga sangat mudah digugat di meja hijau.
Tidak heran jika guru tidak bisa optimal dalam menjalankan perannya sebagai pendidik generasi. Nyatanya ia berada dalam posisi dilematis. Di satu sisi ia harus menasehati siswa, menegakkan disiplin dan tata tertib sekolah, namun di sisi lain ia khawatir akan dikriminalisasi atas tuduhan tindak kekerasan.
Dampaknya guru menjadi kurang tegas terhadap siswa yang nakal, wibawanya pun makin rendah. Maka pelanggaran tata tertib sekolah dan ketidakberadaban terhadap guru makin marak dilakukan siswa karena merasa kebal hukum.
Tentu nurani guru memberontak sebab diabaikan dan tidak dihormati siswa. Namun, dalam situasi seperti itu guru seringnya mencari aman saja. Bahkan tidak jarang guru datang ke sekolah sekedar gugur kewajiban, menyampaikan materi lalu pulang.
Guru, digugu dan ditiru. Ungkapan zaman dahulu yang tidak lagi diindahkan zaman ini. Ia yang seharusnya digugu dan ditiru, kini justru tidak dihormati, bahkan dirundung dan dipolisikan.
Maka untuk mengatasi karut-marut ini, dibutuhkan perubahan sistem kehidupan. Perubahan dari sistem sekuler liberal yang menjamin kebebasan berperilaku menuju sistem Islam yang mengajarkan adab dan keluhuran berperilaku.
Pendidikan Islam
Dalam sistem Islam, negara akan menerapkan syariat Islam secara menyeluruh, termasuk bidang pendidikan. Kurikulum pendidikan disusun berbasis akidah Islam sehingga akan membentuk generasi yang berkepribadian Islam serta menguasai sains dan teknologi. Selain itu, negara menjamin kesejahteraan guru dengan sistem penggajian yang terbaik, sehingga guru dapat menjalankan amanah sebaik-baiknya.
Islam memuliakan guru, maka dalam pendidikannya, anak didik akan dipahamkan terkait kemulian guru dan wajibnya menjaga adab terhadap guru. Jika seorang siswa berakhlak kurang baik kepada gurunya, akibatnya ia akan kehilangan keberkahan ilmu.
Mereka akan memahami bahwa ketundukan kepada guru adalah kebanggaan, sedangkan kerendahhatian adalah kemuliaan. Sehingga tidak akan ada siswa yang tidak menghormati gurunya.
Pun dalam sistem pendidikan Islam ada syariat mengenai ta’dzîb (pendisiplinan) pada anak, sebab tidak mungkin pendidikan berjalan tanpa pendisiplinan. Ketika ada siswa melanggar maka ada sanksi yang sudah ditentukan oleh syariat.
Contohnya untuk anak di bawah usia 10 tahun tidak boleh mendapatkan sanksi fisik, seperti pemukulan. Namun, di atas 10 tahun boleh ada sanksi fisik dengan syarat di antaranya adalah tidak boleh menggunakan alat yang bisa melukai, memberikan pukulan yang tidak sampai menimbulkan trauma, luka apalagi cacat, dan sebagainya.
Sistem pendidikan Islam memiliki tujuan, kurikulum, juga punishment yang jelas. Negara akan senantiasa hadir untuk memberikan perlindungan dan jaminan kemanan serta hukum yang tegas apabila ada yang melanggar ketetapan syariat Islam.
Sehingga guru tidak akan mudah dikriminalisasi dan siswapun terlindungi dari tindak kekerasan diluar batas yang telah ditetapkan syariat. Kondisi ini menjadikan guru dapat optimal menjalankan perannya sebagai pendidik.
Semua ini dapat terwujud dalam penerapan sistem Islam oleh negara. Sebab sistem Islam meniscayakan adanya sinergi semua pihak. Ini menguatkan tercapainya tujuan pendidikan Islam.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb.
Penulis: Jumriah, S.Pd. (Aktivis Muslimah)
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.