OPINI—Pendidikan adalah hak dasar untuk seluruh rakyat. Untuk itu, negara wajib menjamin kualitas pendidikan dengan menyediakan sarana dan prasarana yang memadai, menjamin kesejahteraan guru dan meningkatkan mutu pendidikan.
Pada peringatan Hari Pendidikan Nasional 2025, Presiden Prabowo meluncurkan setidaknya empat program pendidikan yang dinamakan Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC). Program pertama yang ia luncurkan adalah revitalisasi sebanyak 10.441 sekolah pada tahun ini.
Program kedua adalah digitalisasi pendidikan dengan menggunakan smart board atau papan pintar. Ketiga adalah program bantuan tunai sebesar Rp 300 ribu tiap bulan untuk guru honorer non-ASN. Program terakhir, memberikan bantuan dana pendidikan bagi guru-guru yang belum menamatkan pendidikan sarjana atau diploma 4. (tempo.co 02/05/2025)
Peluncuran program-program tersebut merupakan upaya dalam meningkatkan pendidikan yang bermutu dan merata pada tahun 2025. Namun, cukupkah program ini menjadi solusi bagi ketimpangan infrastruktur pendidikan yang terjadi di negeri ini?
Dalam laporan BPS bertajuk Statistik Pendidikan 2024, pada Tahun Ajaran 2023/2024 total bangunan sekolah dari SD, SMP, SMA, dan SMK yang rusak mencapai 119.876 bangunan. Namun program renovasi sekolah dengan tujuan pemerataan patut dipertanyakan mengingat yang menjadi sasaran renovasi hanya sebanyak 10.440 bangunan alias hanya 8,7% saja. (muslimahnews.net 07/12/2024)
Rendahnya Kualitas Pendidikan
Infrastruktur mungkin memang bukan segalanya. Sebab faktanya, keterbatasan fasilitas pun masih mampu melahirkan peserta didik yang berdaya juang tinggi. Namun, bukan berarti keberadaan infrastruktur dalam pendidikan bisa diabaikan.
Buruknya infrastruktur bisa berdampak pada kualitas pendidikan. Gedung sekolah yang rusak, kurangnya fasilitas seperti laboratorium dan perpustakaan, hingga keterbatasan guru yang kompeten, menjadikan peserta didik sulit belajar secara optimal. Hal ini pun berdampak pada kualitas peserta didik.
Realitanya, penyelenggaran Pendidikan di Indonesia menemui banyak masalah yang mempengaruhi kualitas pendidikan. Bahkan buruknya infrastuktur pendidikan sudah menjadi masalah yang berlarut-larut.
Pemeliharaan infrastruktur pendidikan kerap terkendala pada birokrasi pemerintahan sehingga tidak jarang terjadi saling lempar tanggung jawab. Solusi revitalisasi yang ditawarkan pemerintah pun terkesan menjadi kebijakan populis, sebab anggaran dana yang digelontorkan masih sangat jauh dari yang seharusnya.
Janji tunjangan untuk para guru pun masih jauh untuk mengantarkan mereka pada kesejahteraan hidup. Padahal guru memikul banyak beban di pundaknya. Maka wajar jika rasa-rasanya potret buram pendidikan Indonesia belum akan mencapai titik terang.
Sebab kegiatan belajar mengajar yang berkualitas tentunya harus ditunjang dengan fasilitas yang memadai agar prosesnya mampu menghasilkan generasi yang cemerlang.
Dampak Kapitalisasi Pendidikan
Sudah menjadi pemahaman bersama bahwa pendidikan adalah salah satu faktor penting untuk kemajuan suatu bangsa. Maka sudah seharusnya pendidikan menjadi perhatian utama negara.
Namun, dalam sistem kapitalisme, peran negara justru diminimkan. Kapitalisasi pendidikan membuat negara berlepas tangan dari penyelenggaraan pendidikan, mencukupkan dengan apa yang sudah disediakan swasta. Hingga sarana dan prasarana yang disediakan pun minimalis mengikut anggaran yang ada.
Rakyat harus terima, semakin lengkap infrastruktur pendidikan yang ada, maka semakin mahal pula biaya pendidikan yang harus dibayar. Selain itu, diadakannya akreditasi internasional pada sekolah maupun perguruan tinggi seolah menjadi stempel untuk melegalkan harga mahal pendidikan.
Dalam sistem kapitalisme, penguasa hanya berperan sebagai regulator bukan pengurus rakyat. Hubungan yang terjalin antara penguasa dan rakyat pun seperti hubungan jual beli. Pemerintah menjual berbagai kebutuhan rakyat, termasuk pendidikan, dan rakyat pun membeli atau menerima pemenuhan kebutuhan itu dengan cara membayar pajak.
Selain itu, carut marutnya mekanisme pengelolaan pendidikan dalam sistem kapitalisme membuat banyak celah untuk terjadinya kebocoran dana. Dari laporan hasil pemantauan Tren Korupsi oleh ICW pada Mei 2024, kerugian negara akibat kebocoran dana pendidikan tahun 2023 mencapai Rp132 miliar.
Maka patut diwaspadai, dalam pelaksanaan PHTC ini pun bisa jadi tidak luput dari kebocoran dana baik di pusat maupun daerah. Sebab, bukan rahasia lagi saat ini kerap proyek yang dijalankan menjadi lahan korup bagi yang berwenang.
Wajar jika keberhasilan program-program yang diluncurkan pemerintah yang katanya untuk mewujudkan pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan sering diragukan. Watak pemerintahan yang korup dan tidak jujurlah yang membuat rakyat menyangsikannya.
Pendidikan, Hak Dasar Rakyat
Islam memandang pendidikan sebagai hak dasar yang termasuk kebutuhan pokok rakyat. Maka haram hukumnya penguasa menjadikan sektor pendidikan sebagai komoditas ekonomi yang diperdagangkan pada rakyatnya. Rasulullah saw. bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Penguasa wajib menjamin pemerataan kualitas pendidikan, baik sarana, prasarana, dan fasilitas di sekolah demi kenyamanan selama proses belajar mengajar. Pendidikan harus tersedia secara gratis mulai dari bangku sekolah dasar hingga ke jenjang perguruan tinggi agar semua individu rakyat bisa mengenyam pendidikan.
Pengabaian penguasa atas hal ini tentu menjadi konsekuensi besar yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt.
Rasulullah saw. bersabda, “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah)
Dalam syariat jelas hukum menuntut ilmu adalah wajib. Maka penguasa tidak boleh berlepas tangan dari tanggung jawab dalam mengelola pendidikan demi kepentingan rakyat.
Kurikulum pendidikan dalam Islam berlandaskan pada akidah Islam. Hingga penyusunan materi pelajaran dan metode pengajarannya tidak menyimpang dari Islam. Bahkan adanya sekolah swasta pun kurikulumnya wajib mengikuti ketetapan Khilafah yakni berbasis akidah Islam. Tujuan pendidikan pun satu yakni membentuk kepribadian Islam serta membekali peserta didik dengan ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan masalah kehidupan.
Sejarah mencatat, pada masa kekhilafahan, Negara Islam mampu menjadi mercusuar pendidikan dunia. Darinya lahir ulama-ulama besar, perawi hadits, ilmuan-ilmuan di seluruh penjuru negeri yang keilmuannya masih dimanfaatkan dunia sampai hari ini. Masih berdirinya perguruan tinggi tertua di negeri-negeri muslim juga menunjukkan betapa majunya sistem pendidikan di masa pemerintahan Islam.
Sistem Islam memiliki mekanisme khusus dalam penyediaan dana pendidikan yakni dari baitulmal. Sumber pendanaannya ada dua, Pertama, pos fai dan kharaj yang merupakan kepemilikan negara seperti ganimah, khumus, jizyah, dan dharibah. Kedua, pos kepemilikan umum, seperti minyak dan gas, hasil kelautan, kehutanan, dan lainnya. Sumber pendanaan lainnya bisa berasal dari wakaf rakyat pada sektor pendidikan.
Dana pendidikan tersebut ditujukan untuk dua kepentingan, yakni untuk membayar gaji guru serta seluruh pihak yang terkait dengan pelayanan pendidikan dan untuk membiayai pengadaan seluruh sarana dan prasarana yang menunjang dalam proses pendidikan.
Mekanisme pengalokasian dananya juga terstruktur tanpa khawatir ada penyalahgunaan. Sebab sistem Islam mampu melahirkan orang-orang yang amanah. Mereka bekerja atas dasar takwa kepada Allah Swt. Sistem Islam mampu mewujudkan pendidikan yang berkualitas serta merata di seluruh wilayah negara dan akan melahirkan generasi cemerlang. Wallahualam bissawab. (*)
Penulis: Jumriah, S.Pd (Aktivis Muslimah)
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.