OPINI—Dalam tradisi Islam, lisan dianggap sebagai salah satu anugerah terbesar yang diberikan Allah SWT kepada manusia. Rasulullah Muhammad saw telah mengajarkan umatnya bahwa setiap perkataan yang diucapkan memiliki konsekuensi, baik itu untuk kebaikan atau keburukan.
Hadis-hadis yang menggambarkan pentingnya menjaga lidah dari ucapan yang merugikan, serta keutamaan berkata yang baik, menjadi pedoman yang tak ternilai dalam kehidupan sehari-hari umat Muslim.
Dalam konteks ini, lisan tidak hanya menjadi alat komunikasi, tetapi juga cermin dari nilai-nilai etika dan spiritualitas yang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Di era globalisasi dan teknologi modern seperti sekarang ini, tantangan dalam menjaga lisan yang bijaksana menjadi semakin kompleks. Lisan bukan sekadar alat untuk menyampaikan informasi, tetapi juga cermin dari karakter dan moral seseorang.
Islam menegaskan bahwa setiap kata yang diucapkan harus memperhatikan nilai-nilai etika dan kebaikan. Al-Quran dengan tegas mengajarkan agar berbicara dengan lembut dan memperlakukan orang lain dengan hormat, sementara menghindari fitnah dan perilaku yang merugikan.
Namun, kendati dijaga sebagai anugerah yang berharga, lisan juga dapat menjadi sumber keburukan jika tidak dijaga dengan baik. Praktik ghibah, misalnya, tidak hanya merusak individu yang menjadi sasaran, tetapi juga merusak hubungan sosial secara luas. Islam mengajarkan bahwa setiap individu memiliki tanggung jawab moral atas kata-kata yang diucapkan, karena kata-kata tersebut dapat memiliki dampak yang jauh lebih besar daripada yang kita bayangkan.
Oleh karena itu, dalam essay ini, kita akan mengeksplorasi lebih dalam tentang bagaimana Islam mengajarkan keutamaan lisan serta mengidentifikasi bahaya-bahaya yang dapat timbul jika lisan digunakan tanpa penuh pertimbangan dan kehati-hatian. Beberapa keutamaan dan bahaya lisan antara lain:
Keutamaan Lisan dalam Islam
Lisan dalam Islam dianggap sebagai salah satu nikmat terbesar yang diberikan Allah kepada manusia, karena melalui lisan, manusia dapat berkomunikasi, menyampaikan ilmu, menasehati, serta menyebarkan kebaikan. Beberapa keutamaan lisan dalam perspektif Islam antara lain:
Dakwah dengan Lisan
Dakwah memiliki peran dalam Islam sebagai sarana untuk menyampaikan ajaran-ajaran Islam kepada orang lain. Dakwah bertujuan mengajak manusia kepada kebenaran, mendekatkan diri kepada Allah, dan menjauhkan diri dari perbuatan yang dilarang oleh-Nya. Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan bahwa menyeru kepada kebajikan dan mencegah kemungkaran adalah kewajiban bagi setiap Muslim, bukan hanya tugas para ulama atau tokoh agama.
Selain itu, dakwah juga merupakan bentuk mengikuti teladan Nabi Muhammad SAW, yang sepanjang hidupnya berdakwah dengan penuh kesabaran dan kebijaksanaan. Dakwah berfungsi untuk menyebarkan kebaikan, memperbaiki moral masyarakat, dan menjaga ajaran Islam agar tetap hidup dan relevan di setiap zaman. Melalui dakwah, seorang Muslim tidak hanya mendapatkan pahala yang besar dari Allah, tetapi juga berkontribusi dalam menjaga keutuhan dan persatuan umat.
Oleh karena itu, penting bagi setiap Muslim untuk berusaha berdakwah dengan cara yang bijak dan penuh kasih sayang, sesuai dengan tuntunan Islam. Berdakwah memerlukan seorang dai untuk menyeru kepada kebaikan dan menjalankan amar ma’ruf nahi munkar. Semakin banyak orang yang mendengarkan, semakin baik, karena diharapkan mereka akan mengalami perubahan sikap dan peningkatan amal.
Secara otomatis, pahala dari amal mereka juga akan mengalir kepada dai tersebut. Rasulullah Saw Bersabda:
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورٍ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْشيئًا. رواه مسلم
“Barang siapa mengajak pada kebaikan, maka ia akan mendapat pahala sebanyak pahala yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun.” (H.R. Muslim)
Maka dapat dibayangkan betapa banyak pahala yang bisa diperoleh dari lisan yang rutin berdakwah. Inilah kehebatan lisan; ia dapat mendatangkan pahala jika dimanfaatkan dengan benar. Selama kita yakin dan mampu menyampaikan kebaikan, teruslah beramal. Selagi ada waktu, masih muda, dan ajal belum tiba.
Berkata Baik atau Diam
Agar lisan kita selalu mendatangkan pahala, hendaknya kita selalu mengucapkan kata-kata yang positif dan baik. Berbicara dengan cara yang sopan dan menenangkan bagi pendengar adalah kunci utama. Penting untuk tidak hanya berbicara dengan cara yang menyenangkan didengar, tetapi juga dengan jujur dan bebas dari kebohongan.
Jika sulit untuk mengendalikan diri dari berkata kasar atau terbiasa dengan nada bicara yang keras, sehingga bisa menyakiti perasaan orang lain, lebih baik untuk menahan diri dan diam. Rasulullah Saw talah memperingatkan.
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ. رواه البخاري
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (H.R. Bukhari)
Jika sulit untuk mengontrol lisan, diam adalah pilihan terakhir yang bijaksana. Bagi yang belum terbiasa dengan dzikir, doa, atau membaca Al-Quran, apalagi belum mahir berbicara di depan publik untuk tujuan mengajak kepada kebaikan atau mencegah kemungkaran, lebih baik memilih untuk diam daripada berbicara yang tidak bermanfaat.
Orang yang cenderung pendiam memiliki potensi dosa yang lebih rendah. Oleh karena itu, untuk kebaikan diri sendiri, lebih baik diam lebih sering dan lebih banyak mendengarkan.
Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ صَمَتَ نَجا. رواه الترمذي
“Barang siapa diam, ia selamat.” (H.R. Tirmidzi)
Bahkan sebuah ucapan populer dari ahli ilmu berbunyi,
إِنْ كَانَ الْكَلَامُ مِنْ فِضَّةٍ فَالسُّكُوْتُ مِنْ ذَهَبٍ
“Jika ucapan adalah perak, maka diam adalah emas.”
Bahaya Lisan dalam Islam
Lisan memiliki kekuatan luar biasa dalam kehidupan manusia. Melalui lisan, seseorang dapat mengekspresikan pemikiran, perasaan, dan keyakinannya. Namun, jika tidak digunakan dengan bijaksana, lisan dapat menjadi sumber bahaya yang besar. Ucapan yang keluar dari lisan bisa berdampak luas dan bahkan merusak, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
Dalam Islam, lisan yang tidak terjaga dengan baik dapat menimbulkan dosa-dosa besar seperti fitnah, ghibah (menggunjing), dan dusta. Fitnah dan ghibah dapat merusak reputasi dan hubungan sosial, sementara dusta dapat menghancurkan kepercayaan dan memicu kebencian.
Oleh karena itu, penting untuk memahami potensi bahaya lisan agar kita dapat lebih berhati-hati dalam setiap ucapan yang kita keluarkan, menghindari perkataan yang sia-sia atau berbahaya, dan selalu berusaha menggunakan lisan untuk hal-hal yang bermanfaat dan mendatangkan kebaikan. Beberapa bahaya lisan dalam pandangan Ilam antara lain:
Gibah
Berkata seorang sahabat, Abu Hurairah radiallauh anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah menanyai para sahabatnya.
“Tahukah kalian apakah gibah itu?” mereka menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Rasulullah bersabda: “yaitu engkau menyebutkan sesuatu yang dibenci oleh saudaramu.”
Lalu Rasulullah ditanya, “bagaimana pendapat engkau bila apa yang aku katakan tentang saudaraku itu benar adanya.”
Rasulullah bersabda: “bila memang benar apa yang engkau katakan tentangnya, maka engkau telah menggibahnya. Namun, bila yang engkau katakan tidak benar tentangnya, maka engkau telah berdusta padanya.” (H.R. Muslim).
Itulah pengertian ghibah menurut Rasulullah, yaitu menyebutkan hal-hal yang tidak disukai oleh seseorang di belakangnya. Hal ini bisa berupa menyebutkan aib, kekurangan, fisik, nasab, perilaku, atau apa saja yang tidak akan disukai oleh orang tersebut jika mendengarnya secara langsung.
Ghibah adalah tindakan yang sangat tercela. Allah mengibaratkan orang yang berghibah seperti memakan bangkai manusia. Banyak orang yang ibadahnya tertib, shalat lima waktu dengan lancar, rajin bersedekah, dan tekun mengamalkan sunnah.
Namun, mereka masih belum mampu menjaga lisannya dari membicarakan keburukan sesama Muslim. Terlebih lagi, jika seseorang menyimpan kebencian, dia tidak akan merasa puas sebelum menceritakan kekurangan orang lain kepada orang lain.
Sebuah hadis yang menceritakan kengerian siksaan bagi orang yang hobi menggibah. Diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, dari Anas bin Malik, ia berkata, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
لَمَّا عُرِجَ بِي مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمُشُونَ وُجُوهَهُمْ وَصُدُورَهُمْ فَقُلْتُ مَنْهَؤُلَاءِ يَا جِبْرِيلُ قَالَ هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ لُحُومَ النَّاسِ وَيَقَعُونَ فِي أَعْرَاضِهِمْ. رواه أبوداود
“Ketika aku dimirajkan (dinaikkan) ke langit, aku melewati suatu kaum yang kuku mereka terbuat dari tembaga. Lalu mereka mencakar wajah dan dada mereka sendiri. Aku lalu bertanya, “wahai Jibril siapakah mereka itu?” Jibril menjawab, “mereka itu orang-orang yang memakan dagingnya manusia (menggibah) dan menjatuhkan harga diri mereka.” (H.R. Abu Daud)
Dusta
Dusta dianggap haram dalam Islam karena berarti menyampaikan sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan. Namun, ada pengecualian dalam situasi tertentu, seperti menggunakan kata ambigu untuk membuat lawan bicara mengartikan sesuatu dengan cara lain.
Contohnya bisa ditemukan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, di mana Abu Hurairah menceritakan kisah Nabi Ibrahim dan istrinya, Sarah. Keduanya melewati suatu daerah yang dipimpin raja zalim, ia memiliki kebiasaan buruk, senang merampas istri orang. Oleh prajurit, Sarah lalu dipanggil ke istana menghadap raja.
Sebelum berangkat, Nabi Ibrahim berpesan kepada istrinya,
يَا سَارَةُ لَيْسَ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ مُؤْمِنٌ غَيْرِي وَغَيْرَكِ وَإِنَّ هَذَا سَأَلَنِي فَأَحْبَرْتُهُ أَنَّكِ أُخْتِيفَلَا تُكَذِّبيني. رواه البخاري
“Wahai Sarah. Tidak ada lagi orang di muka bumi ini yang beriman selain aku dan engkau. Dan sungguh orang ini (prajurit) bertanya kepadaku, lalu aku sampaikan kepadanya bahwa engkau adalah saudariku. Maka engkau jangan menganggapku berbohong.” (H.R. Bukhari)
Dalam hadis ini, Nabi Ibrahim menggunakan istilah ambigu ‘saudariku’ yang sebenarnya merujuk pada saudara seagama. Namun, istilah tersebut dipahami oleh prajurit sebagai saudara kandung. Ini merupakan contoh dari kebohongan yang dibolehkan dalam situasi darurat untuk kebaikan dan untuk menghindari bahaya yang lebih besar.
Mengenai dusta yang dibolehkan, lebih spesifiknya terdapat dalam hadis berikut ini. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dengan sanad shahih, dari Ummu Kultsum binti Uqbah ia berkata, “aku tidak pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memberi keringanan untuk berdusta kecuali dalam tiga hal.
Rasulullah bersabda:
لَا أَعُدُّهُ كَاذِبًا الرَّجُلُ يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ يَقُولُ الْقَوْلَ وَلَا يُرِيدُ بِهِ إِلَّا الْإِصْلَاحَ وَالرَّجُلُيَقُولُ فِي الْحَرْبِ وَالرَّجُلُ يُحَدِّثُ امْرَأَتَهُ وَالْمَرْأَةُ تُحَدِّثُ زَوْجَهَا. رواه أبو داود صحيح
“Tahukah kalian apakah gibah itu?” mereka menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Rasulullah bersabda: “yaitu engkau menyebutkan sesuatu yang dibenci oleh saudaramu.”
Lalu Rasulullah ditanya, “bagaimana pendapat engkau bila apa yang aku katakan tentang saudaraku itu benar adanya.” Rasulullah bersabda: “bila memang benar apa yang engkau katakan tentangnya, maka engkau telah menggibahnya. Namun, bila yang engkau katakan tidak benar tentangnya, maka engkau telah berdusta padanya.” (H.R. Muslim)
Dapat dipapahami bahwa tidak semua bentuk kebohongan diperbolehkan. Selain situasi yang telah disebutkan oleh Nabi, berdusta tanpa alasan syar’i dianggap haram dan termasuk dosa besar, meskipun hanya untuk membuat orang tertawa.
Ironisnya, banyak media di negara kita malah mempromosikan acara yang sarat dengan kebohongan, hanya untuk hiburan dan tawa penonton, dan beberapa acara TV bahkan menjadikannya sebagai perlombaan. Na’udzu billah min zalik. (*)
Penulis: Safni Yunia (Aktivis Muslimah)
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.