Advertisement - Scroll ke atas
  • Media Sulsel
  • Universitas Dipa Makassar
Opini

Marak Perkawinan Anak, Buah Sistem Rusak

519
×

Marak Perkawinan Anak, Buah Sistem Rusak

Sebarkan artikel ini
Marak Perkawinan Anak, Buah Sistem Rusak
Dr. Suryani Syahrir, S.T., M.T, Dosen dan Pemerhati Generasi.
  • Pascasarjana Undipa Makassar
  • Pemprov Sulsel
  • PDAM Makassar

OPINI—Beragam problem anak masih terus mendera negeri ini. Mulai kasus bullying, stunting, pelecehan seksual, kekerasan, dan masih banyak lagi. Pun perkawinan anak atau pernikahan usia dini, dianggap masalah dalam sistem hari ini. Berbagai kebijakan terus digenjot untuk meminimalkan angka perkawinan anak. Tersebab, provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) merupakan salah satu provinsi dengan tingkat perkawinan anak yang cukup tinggi di Indonesia.

DP3A-Dalduk KB Prov. Sulsel bersama USAID Erat, baru saja melaksanakan Diskusi Publik dengan tema Stop Perkawinan Anak-Indonesia Merdeka, Berbicara Stop Perkawinan Anak” yang bertempat di Hotel Remcy Makassar (10/08/2023).

Advertisement
Scroll untuk melanjutkan

Diskusi tersebut dilaksanakan dengan niat baik yakni bahwa kesejahteraan anak dan pemenuhan hak-hak anak merupakan komitmen yang diakui secara tegas dalam UU Republik Indonesia. Di mana UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadikan perlindungan dan pemenuhan hak anak sebagai prioritas nasional. https://dp3adaldukkb.sulselprov.go.id/p-hlp42d.html

Namun, niat saja tidak cukup. Pasalnya, sudah berapa banyak regulasi yang katanya dibuat dalam rangka menyolusi berbagai permasalahan anak, tetapi sampai hari ini beraneka kerusakan terlihat makin meningkat. Tentu hal ini perlu menjadi perhatian bersama. Pertanyaan yang muncul adalah apakah berbagai kebijakan yang digagas hanya sekadar pencitraan ataukah memang solusi yang ditawarkan tidak menyentuh akar masalah?

Asas yang Keliru

Tak dimungkiri, sistem hari ini melahirkan beragam kebijakan yang tidak solutif. Bahkan banyak kebijakan terkesan paradoks, yang berujung pada kerusakan sistemik. Jika ditelisik lebih detail, akan ditemui kesalahan dalam pengambilan asas atau dasar berpikir. Padahal, asas inilah yang menjadi patokan dalam setiap aktivitas.

Paradigma yang dibangun dalam sistem kapitalisme adalah berdasar sekularisme. Pemisahan agama dari kehidupan (sekuler), membuat apa-apa yang lahir darinya menuai kerusakan. Beberapa kasus yang viral, di antaranya kasus aborsi tujuh janin, kasus pembunuhan anak yang dibuang di Waduk Regulasi Nipa-Nipa, dan sederet lainnya.

Pun terkait perkawinan anak, berdasarkan data dari Pengadilan Tinggi Agama Makassar tahun 2022 lalu, ada 2.663 pengajuan dispensasi perkawinan anak dan 96% usulan sudah menjalani putusan atau disetujui. https://mediaindonesia.com

Mengapa kerusakan demi kerusakan terus meningkat? Jika ditelisik akan ditemui beberapa sebab, di antaranya adalah secara fitrah manusia merupakan makhluk yang sangat lemah dan terbatas. Oleh karena itu, manusia membutuhkan sesuatu yang lebih di luar dirinya. Lebih jauh lagi, siapa pun kita saat ini, kita adalah makhluk ciptaan-Nya (hamba). Allah Swt. adalah Sang Pencipta manusia dan seluruh isi jagat raya. Maka, sudah sepantasnya manusia mengambil segala aturan yang berasal dari-Nya. Bukan aturan dari manusia, seperti yang dilakoni sistem demokrasi hari ini.

Kebijakan Disconnect

Mencermati upaya yang dilakukan pemerintah saat ini, bagai pungguk merindukan bulan. Bagaimana tidak, sesuatu yang dihalalkan Sang Pencipta, justru dianggap problem. Analogi yang berkembang adalah perkawinan disoal, sementara seks bebas merajalela. Inilah yang dimaksud kebijakan disconnect. Membuka kran kemaksiatan di hulu, sementara dibuat aturan (seolah peduli) di hilir. Artinya, tidak menyelesaikan masalah dari akar dan tentu saja tidak komprehensif.

Atas dalih kebebasan ala demokrasi, semua hal bisa dilakukan. Pada saat yang sama, negara seolah memberi ruang yang sangat lebar untuk mendukung kebebasan tersebut. Lihatlah konser-konser musik yang dipadati ribuan manusia, termasuk anak di dalamnya. Bercampurnya laki-laki dan perempuan tanpa didasari iman, membuat interaksi bablas. Belum lagi, tayangan-tayangan vulgar sangat mudah diakses di media sosial maupun media elektronik lainnya.

Berbagai stimulus liar dan sangat terbuka, memungkinkan anak untuk melakukan hal-hal yang tidak wajar. Jadilah seks bebas dilakukan tanpa bisa dikendalikan. Muaranya adalah kehamilan anak (yang tidak diinginkan, tapi dilakukan dengan suka rela) terus meningkat. Mirisnya, solusi yang ditempuh pemerintah adalah pelarangan perkawinan anak. Padahal, penyebab kehamilanlah yang harusnya menjadi fokus permasalahan.

Beginilah jika asas yang digunakan dalam menyikapi setiap permasalahan adalah asas yang rusak. Asas sekularisme sebagai asas sistem Kapitalisme telah berhasil memporak-porandakan generasi saat ini. Kerusakan yang terjadi di hampir semua lini kehidupan, seakan tak dapat dibendung lagi. Bagaikan air bah. Plus tsunami informasi yang tanpa filter, menjadi penyempurna kerusakan generasi termasuk anak. Jika demikian, maka seyogianya mencari solusi yang bisa menuntaskan masalah secara paripurna.

Sistem Solutif

Sistem Islam mengatur semua hal. Negara diamanahi oleh syariat dalam melakukan semua pengaturan. Termasuk dalam hal pemenuhan kebutuhan dasar individu (pangan, sandang, dan papan) dan publik (pendidikan, kesehatan, dan keamanan). Mekanisme pemenuhannya pun sangat rinci dan tentu saja berdasar akidah Islam. Rakyat dan penguasa berkolaborasi dalam melaksanakan seluruh syariat-Nya dalam semua lini kehidupan.

Terkait perkawinan anak, perkara ini tak berdiri sendiri. Perlu dipahami akar masalah mengapa perkawinan anak marak terjadi dan dominan dalam kondisi hamil di luar nikah. Penting juga mendudukkan, yang mana problem dan yang mana bukan. Perkawinan anak, ketika berdiri sendiri tanpa penyebab kehamilan di luar nikah adalah sesuatu yang tidak dilarang di dalam hukum Islam.

Berkenaan dengan hal tersebut, Islam memiliki sistem pergaulan dengan pengaturan mulai dari skala individu, masyarakat hingga negara. Dimulai dari individu, di mana setiap individu muslim wajib menutup aurat (secara syar’i) ketika keluar rumah atau bertemu dengan orang dan atau lelaki bukan mahrom. Selanjutnya, tidak tabarruj (memakai pakaian atau perhiasan yang berlebihan), tidak berdua-duaan yang bukan mahrom, dan hal lain yang diatur dalam syariat.

Masyarakat menjadi pengontrol dalam pelaksanaan hukum syarak tersebut. Ada ruang amar makruf nahi mungkar, saling menasihati. Tidak seperti saat ini, masyarakat cenderung apatis dan individualis. Selanjutnya negara memegang peran yang sangat urgen. Segala kebijakan yang ditempuh penguasa berjalan dalam koridor syariat. Media informasi dipastikan steril dari hal-hal yang melanggar hukum syarak, seperti pornografi dan hal-hal lain yang mengumbar syahwat.

Selain upaya preventif tersebut, Islam juga memberi sanksi yang tegas bagi setiap individu yang melakukan pelanggaran (secara adil). Bagi pezina yang sudah menikah dihukum rajam sampai mati dan bagi pezina yang belum menikah adalah cambuk 100 kali plus diasingkan selama setahun.

Sebagaimana dalam QS. An-Nur ayat 2, artinya, “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”

Beginilah sistem Islam yang diterapkan oleh negara, menutup celah kemaksiatan begitu rupa. Sangat wajar jika dalam sejarah panjang peradaban Islam, sangat minim terjadinya kemaksiatan. Hal ini juga karena hukum yang dilaksanakan adalah bersumber dari Dzat Yang Mahasempurna, Dia-lah yang paling tahu apa yang terbaik buat hambanya. Oleh karena itu, jika negeri ini dan negeri-negeri lainnya ingin terbebas dari segala macam bentuk kemaksiatan, maka menerapkan seluruh hukum Islam adalah solusi satu-satunya. Wallahualam bis Showab. (*)

 

Penulis

Dr. Suryani Syahrir, S.T., M.T.
(Dosen dan Pemerhati Generasi)

 

***

 

Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.

error: Content is protected !!