OPINI—Swasembada pangan adalah kemampuan suatu negara untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduknya sendiri. Swasembada pangan mencakup produksi, distribusi, dan penyimpanan pangan.
Presiden Prabowo mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mencapai swasembada dan kemandirian pangan. Kebijakan tersebut adalah menghentikan impor beras, jagung untuk pakan ternak, garam, dan gula konsumsi 2025.
Penghentian impor beras, jagung dan gila di harapkan dapat menghemat devisa negara hingga 5,2 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau sekitar Rp84,24 triliun (asumsi kurs Rp16.200 per dolar AS).
Menteri Perdagangan Budi Santoso menyatakan, anggaran yang tidak terpakai dapat digunakan untuk keperluan lain seperti menambah anggaran pupuk untuk pertanian maupun kebutuhan produksi perikanan (10/01/25, Tirto.id).
Selain menghentikan impor beberapa bahan pangan, kebijakan lainnya adalah pembukaan lahan baru sebanyak 20 juta hektar yamg tersebar di beberapa wilayah di Indonesia.
Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan mengatakan, upaya pembukaan lahan baru untuk lumbung pangan sudah mulai digarap di Merauke, Papua Selatan seluas 100.000 hektare dari target pemerintah 1 juta hektare.
Cetak sawah akan diutamakan untuk komoditas pangan pokok utamanya padi. Namun, pemerintah saat ini juga sudah mulai mengembangkan tanam tebu di Papua seluas 20.000 hektare dari target 600.000 hektarr
Pembukaan lahan tidak hanya terjadi dimarauke, tetapi juga di daerah lainnya, salah satunya di Kalimantan dengan membuka lahan 120 hektar untuk ditanami tanaman jagung. Untuk penanamannya akan dilakukan serentak pada tanggal 15 januari 2025 (13/01/25, Lenterakalimantan.net).
Peneliti The Indonesian Institute Christina Clarissa Intania mengkritik kebijakan Presiden Prabowo tentang pembukaan lahan hutan sebesar 20 juta hektar. Crhistina menilai kebijakan tersebut tidak hanya mengancam kelestarian alam tetapi juga keberlanjutan hidup masyarakat adat yang tinggal di kawasan hutan.
Christina menegaskan bahwa rencana deforestasi yang begitu luas berisiko menggusur masyarakat adat dari tanah mereka yang selama ini belum mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah. “Banyak wilayah adat yang belum mendapat pengakuan formal, sehingga hak-hak mereka, baik sebagai pemilik tanah maupun atas kelangsungan hidup mereka, terancam,” ujarnya dalam keterangan resmi, Jumat, 3 Januari 2025 (3/01/25, Tempo.co).
Pemerintah saat ini tidak belajar dari pemerintah sebelumnya yang mengalami kegagalan dalam food estate. Kegagalan demi kegagalan yang di hadapi oleh petani yakni selalu gagal panen. Sebab, hasil produktifitas tanaman yang di tanaman tidak bagus. Hingga program ini terbengkalai.
Pemerintah menilai, permasalahan tidak terwujudnya swasembada pangan karena rendahnya hasi produksi pangan sehingga dibutuhkan lahan yang sangat luas untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Disisi lain, pemerintah tidak melihat distribusi pangan yang tidak merata dan adanya mafia yang mempermainkan distribusi pangan.
Selain itu, lahan-lahan pertanian yang subur kebanyakn telah dialih fungsikan menjadi bangunan-bangunan permanen. Bukankah sangan berbahanya jika terjadi deforestasi. Akan terjadi kerusakan lingkungan yang sangat parah dan perubahan iklim yang tak terhindarkan.
Sejatinya, akar masalah dari gagalnya program swasembada pangan karena penerapan sistem kapitalisme yang hanya untuk menguntungkan sebahagian orang saja. Dimana dominasi swasta dalam menggarap proyek-proyek strategis terkait pangan dan penguasaan lahan-lahan strategis. Swasta pula yang menjual pupuk dan benih dengan harga yang mahal bagi petani.
Sejatinya, pangan adalah kebutuhan dasar rakyat yang pemenuhannya wajib dijamin oleh negara. Oleh karenanya, negara wajib mengurusi pangan mulai dari hulu hingga hilir. Mulai dari penanaman, pemanenan, pengolahan, pengemasan, distribusi, hingga sampai ke tangan konsumen terakhir, yaitu rakyat.
Dalam pandangan islam Llahan memiliki kondisi yang berbeda-beda sehingga penggunaan lahan harus sesuai dengan kondisinya. Lahan pertanian yang subur harus dipertahankan tetap menjadi lahan pertanian, tidak boleh dialihfungsikan. Sedangkan untuk kebutuhan permukiman bisa menggunakan tanah selain lahan pertanian. Hutan juga harus dijaga kelestariannya, tidak boleh dialihfungsikan secara serampangan.
Adapun untuk memenuhi kebutuhan akan lahan pertanian, negara dalam sistem Islam akan merevitalisasi lahan mati, yaitu lahan yang tidak dikelola oleh pemiliknya selama lebih dari tiga tahun berturut-turut. Lahan tersebut akan diambil oleh negara dan diberikan pada warga negara yang membutuhkan dan mampu mengelolanya, yakni menanaminya sehingga menjadi lahan produktif. Kebijakan menghidupkan lahan mati ini berdasarkan hadis rasulullah, “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR Tirmidzi, Abu Dawud).
Menghidupkan tanah mati merupakan upaya ekstensikasi sehingga lahan pertanian menjadi luas. Luasnya lahan pertanian akan membuat produksi pertanian menjadi besar dan mampu mencukupi pangan yang rakyat butuhkan. Bukan malah mengalihfungsikan hutan menjadi tanah pertanian atau perkebunan.
Selain itu, negara juga melakukan intensifikasi, memberikan subsidi besar untuk petani dan menyediakan alat pertanian yang tercanggih sehingga hasil panen bisa optimal. Dengan demikian swasembada pangan dan ketahanan pangan akan terwujud secara nyata. (*)
Penulis: Nur Ana
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.
















