OPINI—Deputi Bidang Pemberdayaan Pemuda Kemenpora bekerjasama dengan UIN Alauddin Makassar menggelar Sosialisasi Penguatan Moderasi Beragama di Kalangan Pemuda. Rektor UIN Alauddin Makassar Prof. Drs. Hamdan Juhannis M.A, Ph.D yang secara tegas mensupport moderasi beragama karena sejalan dengan pancacita Rektor.
Acara ini juga menghadirkan narasumber H Amiruddin S Ag M Ag selaku Kepala Bagian Tata Usaha Kanwil Kemenag Sulawesi Selatan yang membawakan materi terkait Implementasi Peraturan Presiden No.58 tahun 2023 tentang penguatan moderasi beragama. (uin-alauddin.ac.id, 25/10/2024)
Dengan adanya sosialisasi ini, para pemuda dan generasi kelak diharapkan mampu mengimplementasikan nilai nilai moderasi dengan baik sebab merekalah tulang punggung negara dan generasi penerus bangsa.
Tidak dimungkiri sosialisasi moderasi beragama memang kian gencar dan massif, ide ini sudah bertahun tahun diaruskan, tetapi persoalan bangsa juga makin ruwet, kemiskinan, stunting, kerusakan generasi, hingga tingginya kekerasan, belum juga terselesaikan.
Padahal dengan adanya konsep pendekatan moderasi beragama terhadap kearifan lokal diharapkan mampu menyolusi persoalan bangsa, terutama persoalan ‘Radikalisme’ dan ‘Intoleransi’ yang maknanya ambigu. Seolah apapun masalahnya, moderasi beragama solusinya. Tapi faktanya? Jauh panggang dari api, yang ada kondisi bangsa dan generasi makin runyam.
Alhasil, moderasi beragama tidak menyentuh akar persoalan bangsa ini. Sengkarutnya permasalahan yang ada tidak bisa diselesaikan hanya dengan ‘Moderasi Beragama’. Jika menelisik masalah generasi remaja/ pemuda saat ini, sederet fakta yang ada menunjukkan kerusakan di kalangan remaja semakin beragam dan kompleks.
Mulai dari penyalahgunaan Narkoba, sex bebas dan menyimpang (LGBT), judi online, Pinjol, tawuran antar pelajar, geng motor yang berbanding lurus dengan meningkatnya kriminalitas, serta kasus perundungan yang beraneka ragam bentuknya, seolah sudah menjadi “makanan sehari-hari” dan menjadi catatan hitam kondisi pemuda hari ini.
Ditambah lagi sistem pendidikan yang mengatur mereka adalah sistem pendidikan sekuler yang menihilkan peran agama tecermin pada visi, kurikulum, program, metodologi pengajaran, hingga indikator output dan outcome-nya.
Semua komponen itu dikaitkan dengan orientasi kehidupan duniawi semata dan sama sekali mengabaikan tujuan kehidupan ukhrawi efeknya mengabaikan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan pada pemuda/ generasi.
Moderasi beragama yang didefinisikan sebagai cara pandang dalam beragama secara moderat, yakni memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak ekstrem serta mengedepankan toleransi.
Pada sisi implementasinya, program moderasi hanya berfokus pada pembentukan profil toleran dan menangkal radikalisme di kalangan pemuda. Ini jelas absurd, nyatanya kasus intoleransi di kalangan pemuda dan remaja tidak mendominasi.
Karena faktor penyebab terbesar pada kerusanakan pemuda hari ini bukanlah pertikaian karena SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), melainkan pengaruh dari budaya liberal yang terus mencemari generasi muda sehingga mereka merasa bebas bertingkah laku.
Adanya kerancuan atau ketakjelasan arah konsep moderasi beragama ini pada akhirnya memaksa seorang muslim memiliki profil moderat yang taat dan tunduk pada mekanisme hukum sekuler yang berlaku di negeri ini, yakni beragama tetapi tidak bertentangan dengan arah pandang sekuler Barat.
Maka tidak heran jika moderasi beragama memberikan cara pandang Barat, bukan cara pandang yang seharusnya bagi seorang muslim. Di tengah sederet fakta kerusakan ini, pemerintah malah menderaskan program moderasi beragama yang tidak menyentuh substansi kompleksnya permasalahan bangsa ini.
Sisi lain, adanya moderasi beragama sejalan dengan propaganda Barat yang terus memberikan stigma buruk terhadap ajaran Islam dengan label ‘Radikal’ dan ‘Intoleransi. Isu radikalisme sendiri bukanlah hal baru, radikalisme, ekstremisme, dan terorisme adalah tiga istilah yang digunakan Barat untuk menimbulkan kesan negatif pada masyarakat dunia terhadap Islam.
Seolah muslim yang “taat”, yang ingin menjalankan ajaran agamanya secara kafah (total) adalah muslim radikal dan ekstrimis. Alhasil label radikal, ekstrem dan intoleransi hanya dikhususkan kepada muslim semata.
Sejatinya berbagai propaganda menyudutkan Islam tentu tidak akan tumbuh subur dalam negara yang berlandaskan akidah Islam. Pemahaman moderasi beragama menimbulkan kerancuan berpikir di tengah kehidupan kaum muslim yang rentan menimbulkan kedangkalan berpikir pada agamanya sendiri serta berpotensi menyulut konflik antarmanusia.
Ketika kita melihat masalah umat secara menyeluruh, moderasi beragama tentu tidak akan mampu mengobati masalah bangsa. Satu satunya solusi bagi bangsa adalah dengan menerapkan sistem Islam. Islam telah menjamin akan memberikan keberkahan dari langit dan bumi kepada seluruh manusia jika mau mengambil Islam secara menyeluruh. Wallahu alam. (*)
Penulis: Mansyuriah, S. S (Alumnus Prodi Sastra Arab UNHAS)
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.