OPINI—Hukum adalah pondasi penting bagi stabilitas dalam masyarakat. Sebab hukum itulah yang menjadi pertahanan masyarakat atas ketidakadilan yang didapatkannya. Tentu menjadi hal yang sangat menyakitkan saat pertahanan itu tidak lagi mampu menjadi benteng keadilan. Mungkin rasa sakit inilah yang harus diderita masyarakat Indonesia sebab penegakan hukum saat ini semakin melemah.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Deputi Direktur Amnesty Internasional Indonesia, Widya Adiwena, bahwa hukum di Indonesia semakin lemah. Pasalnya, kriminalisasi kerap terjadi, terutama dari aparat kepada masyarakat yang melakukan aksi unjuk rasa.
Salah satu contohnya di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, negara tidak melakukan konsultasi yang berarti dengan masyarakat terkait proyek pembangunan yang mengancam akses Masyarakat Adat Tempatan ke tanah leluhur mereka. Aparat kepolisian setempat justru menggunakan gas air mata, meriam, dan peluru karet kepada masyarakat Rempang yang menyuarakan keberatan. (Idntimes.com 26/04/2024)
Selain itu Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ika Ningtyas melaporkan 89 kasus serangan terhadap jurnalis sepanjang tahun 2023, di mana yang terbanyak adalah yang dialami oleh jurnalis di daerah yang bekerja di isu akuntabilitas dan korupsi, sosial, lingkungan dan konflik agraria. (voaindonesia.com 02/02/2024)
Data statistik menunjukkan jumlah kasus kejahatan dari tahun 2016-2023 mengalami lonjakan yang luar biasa. Kepolisian RI Polri mencatat, ada 288.472 kejahatan terjadi di Indonesia sepanjang 2023. Jumlah tersebut mengalami kenaikan 4,33% dibandingkan pada tahun 2022 yang sebanyak 276.507 kasus, sedang di tahun 2016 sebanyak 52.539. (dataindonesia.id 28/12/2023)
Ironinya ini menunjukkan pelemahan hukum di Indonesia nyata adanya. Tindak kriminalitas kian marak dan juga banyak kasus yang tidak terselesaikan dengan tuntas.
Sistem Hukum Cacat
Rasa percaya atas penegakan hukum dalam sistem demokrasi kian hari makin berkurang bahkan hilang. Bagaimana tidak? Kita telah melihat hukum tak berlaku adil. Pelaku kejahatan berat seperti korupsi dan pembunuhan, hanya dikenai sanksi penjara 3 hingga 15 tahun, kemudian dipotong masa tahanan, setelah itu bebas.
Di sisi lain, saat rakyat berusaha kritis mengkritik kebijakan penguasa yang dzolim justru bisa terancam ujaran kebencian, pencemaran nama baik hingga makar. Bahkan di saat rakyat berunjuk rasa menuntut hak hidupnya justru ia menjadi tersangka yang dipenjarakan.
Konsep negara yang katanya menjunjung tinggi hak asasi justru memperlihatkan adanya standar ganda dalam penerapannya. Banyak undang-undang yang tidak mampu menjadi solusi permasalahan rakyat dan negara, sanksi hukum yang berlaku tidak memberikan efek jera bagi pelakunya dan tidak mampu mencegah seseorang dari melakukan kejahatan, hingga lingkungan aman bagi tempat tinggal manusia tidak tercipta.
Inilah catatan hitam demokrasi yang katanya menjunjung hak asasi. Namun penegak hukum sendiri yang melanggar hak-hak asasi rakyat dengan tidak berkeadilan dalam menjatuhkan hukum.
Mau heran, tapi inilah sistem demokrasi yang meniscayakan manusia membuat hukumnya sendiri. Halal haram tidak menjadi standar hukum, semua hanya dilihat dari kebermanfaatannya. Maka hukum dapat berubah-ubah dan diinterpretasikan sesuai kepentingan pembuatnya dan yang berkuasa.
Wajar jika diskriminasi dalam penegakan hukum terjadi, sebab sanksi yang dijatuhkan seringnya sesuai kondisi ekonomi dan kekuasaan pelaku. Stigma “hukum dapat dibeli” atau “hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah” pun tidak terhindarkan.
Jika direnungkan, prinsip dasar demokrasi yang mengusung ide kebebasanlah muara dari kerusakan yang terjadi, sebab ukuran kebahagiaan dalam sistem ini bersifat materialistik hingga unsur agama diabaikan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Agama hanya menjadi penghilang dahaga spiritualitas belaka hingga mengakibatkan kejahatan merajalela dan terus berulang tanpa solusi yang mengakar. Undang-undang buatan manusia tidak mampu melahirkan hukum yang menyentuh esensi keadilan yang diharapkan.
Maka demokrasi yang melahirkan hukum cacat dan lemah sudah seharusnya dicampakkan lalu beralih pada sistem hukum Islam yang terbukti mampu menjadi solusi dasar atas problematika kehidupan serta memberikan keadilan dan memberi sanksi yang menjerakan.
Sistem Hukum Adil
Keadilan dan Islam adalah satu kesatuan. Imam Ibnu Taimiyah menuturkan keadilan adalah apasaja yang ditunjukkan oleh al-Qur’an dan as-sunnah, baik dalam hukum-hukum hudud maupun hukum-hukum yang lainnya.
Allah Swt. berfirman dalam surah Al Maidah ayat 50 yang artinya “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”.
Syaikh Wahbah az-Zuhaili menerangkan dalam kitab at-tafsir al-Munir bahwa ayat ini berarti tak ada seorang pun yang lebih adil daripada Allah dan tak ada satu hukum pun yang lebih baik daripada hukumNya.
Terkait kebebasan, kebebasan pada hakikatnya adalah bebas dari penghambaan selain daripada Allah Swt. dengan mengikuti Al-Qur’an dan As-sunnah sebagai satu-satunya aturan yang wajib untuk diterapkan. Islam menjamin kebebasan masyarakat selama itu tidak melanggar syariat.
Islam mengatur ucapan, keyakinan, dan perbuatan manusia sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur’an Surah Al-Hajj ayat 30-32, al-Hujurat ayat 12, an-Nahl ayat 90, juga pada ayat-ayat yang lainnya.
Maka tidak boleh ada pelanggaran syariat atas nama kebebasan. Jika seseorang melakukan perbuatan tercela menurut hukum Islam, ia wajib dikenai sanksi atas perbuatannya. Sebab Islam memandang perbuatan tercela adalah kejahatan. Setiap sanksi dalam Islam diatur sedemikian rupa untuk mencegah manusia dari melakukan tindakan kajahatan. Sistem sanksi ini berfungsi sebagai zawajir dan jawabir.
Zawajir artinya pencegah, yakni hukuman yang diterapkan secara tegas akan membuat orang tersebut jera dan membuat yang lain tidak akan mengikutinya. Jawabir artinya penebus, yakni hukuman yang diterapkan Islam akan menebus dosa pelaku kejahatan di dunia sehingga dia tidak akan diminta pertanggungjawaban di akhirat.
Apabila hukum Islam diterapkan akan terwujud cara pandang dan perlakuan yang sama atas individu-individu masyarakat, tanpa ada diskriminasi atas hak yang satu dengan yang lainnya.
Namun keadilan hakiki ini tidak dapat dirasakan jika hanya menerapkan sistem sanksi Islam, dan mustahil diterapkan dalam sistem demokrasi sebab ia bertentangan dengan Islam.
Penerapan sistem sanksi Islam harus dibarengi dengan penerapan sistem Islam di aspek yang lain seperti pendidikan, pergaulan, ekonomi, dan lainnya.
Oleh sebab itu, negara wajib menerapkan hukum Islam dalam seluruh aspek kehidupan agar tercipta hukum yang adil yang mampu menjamin kemuliaan, keamanan, ketentraman dan kenyamanan hidup manusia.
Sistem Islam adalah sistem dari Al Khaliq Al Mudabbir, yang memahami hakikat penciptaan manusia. Maka penerapan sistem Islam akan menjaga pilar-pilar tegaknya keadilan hukum yakni individu yang bertaqwa, masyarakat yang senantiasa beramar makruf nahi munkar, dan negara yang menerapkan hukum-hukum Islam secara menyeluruh.
Wallahu a’lam bishawab.
Penulis:
Jumriah, S.Pd
(Aktivis Muslimah)
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.