OPINI—Kabinet Merah Putih pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wapres Gibran Rakabuming Raka resmi dimulai setelah Presiden melantik 48 menteri, 5 pejabat setingkat menteri, serta 56 wakil menteri.
Sebelumnya, para anggota DPR yang baru juga sudah resmi dilantik. Meski baru, banyak di antara anggotanya adalah wajah lama. Bahkan jabatan ketua DPR yang baru, juga dipegang kembali oleh Puan Maharani dari PDIP yang notabene adalah Ketua DPR periode sebelumnya.
Yang menarik, para anggota DPR baru ini, ternyata 60 persennya adalah pengusaha dan 174 orang terindikasi terhubung dengan politik dinasti.
Dalam pidato sambutan untuk acara Kompas 100 CEO Forum di Istana Garuda, Ibu Kota Nusantara, Kalimantan Timur, Sabtu (12-10-2024), Presiden Jokowi menyampaikan optimismenya atas kondisi Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo. Ia merasa yakin target pertumbuhan ekonomi 8% yang dicanangkan Prabowo akan mampu diwujudkan.
Presiden Jokowi juga yakin pada lima tahun mendatang, pemerintahan baru akan mampu mendongkrak GDP per kapita Indonesia hingga tumbuh di atas 8.000 dolar AS. Adapun pada 10 tahun berikutnya, GDP Indonesia akan berada pada angka kurang lebih 11.000—12.000 dolar AS.
Sebelumnya, Presiden Prabowo memang sempat menyampaikan targetnya menggenjot pertumbuhan ekonomi hingga 8%. Hal tersebut ia sampaikan saat menjadi pembicara dalam acara BNI Investor Daily Summit 2024 di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta Pusat pada Rabu (9-10-2024).
Bernasib Sama
Faktanya, meski telah sering gonta-ganti rezim, keadaan negeri ini bukan tambah maju, tetapi malah makin mundur dan terpuruk. Rezim Jokowi yang sejak di periode pertama pemerintahannya (2014-2019) sudah digadang-gadang membawa harapan baru, toh hanya memberikan harapan semu, bahkan palsu. Justru pada masa rezim Jokowi segala sisi makin rusak. Hal itu terus berlanjut hingga periode kedua pemerintahannya (2019-2024).
Rezim pemerintahan baru pun dipastikan akan bernasib sama. Apalagi rezim pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo bakal mewarisi beban sangat berat dan segudang persoalan yang ditinggalkan rezim Jokowi, khususnya di bidang ekonomi.
Di antaranya angka kemiskinan yang tinggi, angka pengangguran dan PHK yang makin meningkat, pajak yang makin besar, daya beli masyarakat yang makin menurun, jumlah kelas menengah yang makin berkurang, beban pembayaran utang negara yang makin berat, penguasaan sumber daya alam milik rakyat oleh segelintir orang (asing dan aseng) yang makin tidak terkendali, beban ekonomi masyarakat yang makin besar, dsb.
Dalam hal kemiskinan, misalnya, jumlah orang miskin di Indonesia per Maret 2024 mencapai 25,22 juta orang (Setkab). Jumlah itu mengacu pada kriteria Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengumumkan garis kemiskinan di Indonesia pada Maret 2024 sebesar Rp582.932 per kapita per bulan (Finance).
Jika kriteria kemiskinan itu dinaikkan sesuai dengan kriteria Bank Dunia sebesar US$3 per hari, jumlah rakyat miskin naik menjadi 40 persen dari total penduduk Indonesia (Cnbcindonesia). Artinya, dari jumlah total penduduk Indonesia sekitar 282 juta jiwa, sebanyak 112,8 juta terkategori miskin.
Di bidang politik, meskipun berhasil memenangkan Pemilu, Prabowo tidak memiliki mayoritas legislatif yang solid. Partai Gerindra yang ia pimpin hanya memperoleh sekitar 14 persen suara di parlemen. Ini berarti Prabowo harus merangkul koalisi politik yang luas untuk menjalankan pemerintahan.
Dengan koalisi yang gemuk, sangat mungkin muncul konflik kepentingan. Akibatnya, niat hati untuk menyejahterakan rakyat, ujung-ujungnya cenderung sebatas bagi-bagi kekuasaan.
Di sisi lain, kekuasaan oligarki makin mencengkeram. Ini terlihat jelas dalam struktur politik dan ekonomi di mana sejumlah kecil konglomerat mengendalikan sektor-sektor strategis, seperti sumber daya alam (pertambangan, perkebunan), infrastruktur, dan perbankan.
Para oligarki ini juga sering memiliki kedekatan dengan lingkaran kekuasaan politik. Ini memungkinkan mereka memengaruhi kebijakan publik demi keuntungan pribadi dan kelompoknya. Belum lagi ragam persoalan di bidang hukum, sosial, pendidikan, dll. yang makin ke sini tampak makin rumit dan kompleks.
Akar Masalah Tak Tersentuh
Secara teori, model Kabinet Zaken dipandang sebagai model yang ideal karena bisa menghindari terjadinya malfungsi kabinet, menghindari terjadinya praktik korupsi di kabinet, serta memaksimalkan kinerja dari para menteri anggota kabinet. Penggunaan model ini bahkan disebut-sebut akan menjamin kerja kementerian yang gemuk yang justru bisa lebih efektif karena ada fokus kerja yang tersentral.
Masalahnya, berharap ada “makan siang gratis” pada sistem politik sekuler liberal hari ini bagaikan mimpi di siang bolong. Pasalnya, parpol dibentuk dan orang-orang aktif berpartai justru dalam rangka menjadikannya sebagai kendaraan atau batu loncatan. Tujuan akhirnya adalah memenuhi syahwat kekuasaan yang dengannya jalan memperoleh materi menjadi terbuka lebar.
Negeri ini punya pengalaman yang cukup panjang tentang hal demikian. Jabatan yang diberikan terbukti menjadi alat parpol dan elitenya untuk menarik keuntungan. Jabatan-jabatan strategis dan nonstrategis di bawah kementerian, menjadi ajang pemetaan potensi kader partai, bukan hanya di level pusat, tetapi hingga di level daerah.
Sampai-sampai sebaran manfaat kebijakan pun ditentukan berdasarkan itung-itungan politik kepentingan. Inilah keniscayaan dari sistem politik demokrasi.
Sistem politik demokrasi menutup kebobrokannya dengan berbagai mitos dan narasi. Di antaranya, mitos “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”, mitos “kedaulatan di tangan rakyat”, serta mitos “suara rakyat, suara Tuhan”.
Mitos-mitos ini kemudian diperkuat dengan narasi soal jaminan kebebasan atau HAM, mulai dari kebebasan berpikir atau berpendapat, kebebasan beragama, kebebasan berperilaku, hingga kebebasan untuk memiliki sesuatu.
Pada praktiknya, semua mitos dan narasi ini membawa kepada keburukan. Betapa tidak? Dalam konteks pengaturan hidup bernegara dan bermasyarakat, “rakyat” dimaksud nyatanya merujuk para elite pemilik modal.
Hal ini dikarenakan meski rakyat diberi ruang menentukan siapa yang menurut mereka layak memegang kepemimpinan, tetapi “seperti apa pilihan mereka” nyatanya bisa diciptakan oleh kekuatan modal. Bukankah untuk memenangkan pemilihan harus ada iklan dan kampanye yang membutuhkan modal besar?
Belum lagi soal absennya agama dalam kehidupan. Sistem demokrasi dipastikan menafikan peran Tuhan, termasuk dalam pengaturan negara dan masyarakat. Jangan harap ada konsep halal-haram, semua aturan ditetapkan berdasarkan maslahat atau alasan kepentingan. Kepentingan siapa? Tentu saja kepentingan rakyat pemilik kekuatan dan kedaulatan. Siapa lagi kalau bukan para pemilik modal!
Oleh karenanya, selama sistem demokrasi dipertahankan, bisa dipastikan kekuasaan hanya akan menjadi ajang bancakan para pemilik modal. Hal ini sebagaimana yang kita lihat dari penentuan pejabat publik di kementerian dan kelembagaan, termasuk pada rezim sekarang.
Aroma politik akomodasi dan bagi-bagi kue kekuasaan begitu kental. Dapat dipastikan perubahan kondisi rakyat dan negara pada masa yang akan datang hanya mimpi yang utopis.
Menaruh Harapan Hanya pada Islam
“Sesungguhnya manusia yang paling dicintai oleh Allah pada Hari Kiamat dan paling dekat kedudukannya di sisi Allah adalah seorang pemimpin yang adil. Sedangkan orang yang paling dibenci oleh Allah dan paling jauh kedudukannya dari Allah adalah seorang pemimpin yang zalim.” (HR Tirmidzi).
Dalam Islam, seorang kepala negara harus melindungi dan menjaga rakyat serta lingkungannya. Ia tidak berani berbuat sewenang-wenang karena Allah Swt. telah mengamanahkannya menjadi pemimpin atas orang-orang yang dipimpinnya.
Jangankan menipu rakyatnya, mengorbankan alam dan hewan pun tidak akan bisa dilakukan karena ada Allah Swt. yang selalu mengawasi tindak tanduknya. Ada pertanggungjawaban besar yang menantinya di akhirat kelak.
Di dalam Islam, kekuasaan hakikatnya adalah amanah. Amanah kekuasaan ini bisa menjadi beban pemangkunya di dunia sekaligus bisa mendatangkan siksa bagi dirinya di akhirat.
Nabi saw. bersabda, “Kepemimpinan itu awalnya bisa mendatangkan cacian, kedua bisa berubah menjadi penyesalan, dan ketiga bisa mengundang azab dari Allah pada Hari Kiamat, kecuali orang yang memimpin dengan kasih sayang dan adil.” (HR Ath Thabrani)
Kekuasaan adalah amanah. Nabi saw. mengingatkan para pemangku jabatan dan kekuasaan agar tidak menipu dan menyusahkan rakyatnya. Beliau saw. bersabda, “Tidaklah seorang hamba—yang Allah beri wewenang untuk mengatur rakyat—mati pada hari ia mati, sementara ia dalam kondisi menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan surga bagi dirinya.” (HR. Al Bukhari).
Di dalam Islam, agar pemangku kekuasaan bertindak amanah, ia wajib mengemban kekuasaannya di atas pondasi agama, yakni Islam.
Inilah yang juga ditegaskan oleh Imam Al Ghazali rahimahulLâh, “Agama dan kekuasaan itu ibarat dua saudara kembar. Oleh karena itu, sering dikatakan bahwa agama adalah pondasi, sementara kekuasaan adalah penjaganya. Apa saja yang tidak memiliki pondasi akan hancur. Apa saja yang tidak memiliki penjaga akan lenyap.” (Abu Hamid al Ghazali, Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, 1/78).
Di dalam Islam, kekuasaan harus diorientasikan untuk menegakkan Islam dan melayani berbagai kepentingan masyarakat, baik muslim maupun nonmuslim. Hal ini hanya akan terwujud jika kekuasaan itu menerapkan syariat Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan.
Kekuasaan semacam ini terwujud hanya dalam institusi pemerintahan Islam. Bukan dalam sistem pemerintahan yang antisyariat, baik sistem demokrasi ataupun yang lain.
Sistem Islam akan mengatur berbagai urusan seluruh warga negaranya (muslim maupun nonmuslim) dengan syariat Islam, seperti menjamin kebutuhan hidup, menyelenggarakan pendidikan yang terbaik dan terjangkau, serta menyediakan fasilitas kesehatan yang layak dan cuma-cuma untuk semua warga tanpa memandang kelas ekonomi.
Sistem Islam akan mengelola sumber daya alam milik rakyat (seperti tambang minyak, gas, batu bara, mineral, emas, perak, nikel, dll.) agar bermanfaat bagi segenap warga negara, tidak akan ada pembiaran sumber daya alam milik rakyat itu dikuasai oleh swasta, apalagi pihak asing.
Sistem Islam juga akan menjaga dan melaksanakan urusan agama seperti melaksanakan hudûd untuk melindungi kehormatan, harta, dan jiwa masyarakat muslim maupun nonmuslim.
Islam akan disebarluaskan ke seluruh dunia. Bahkan peemrintahan Islam akan akan memimpin jihad demi menyelamatkan kaum muslim yang tertindas di berbagai negeri, seperti di Palestina, Xinjiang, Myanmar, dll.
Alhasil, mau tidak mau, jika bangsa ini ingin maju, sejahtera, adil, dan makmur, yang mereka butuhkan bukan sekadar rezim atau penguasa baru. Akan tetapi, yang mereka butuhkan sekaligus adalah sistem pemerintahan baru, yakni sistem pemerintahan Islam.
Sebabnya jelas, sejahtera, adil, dan makmur hanya mungkin terwujud saat umat Islam mengamalkan dan menerapkan syariat Islam.
Pengamalan dan penerapan syariat Islam secara kafah tentu merupakan wujud ketakwaan hakiki. Ketakwaan hakiki inilah yang bakal mendatangkan aneka keberkahan, khususnya bagi negeri ini.
Demikian sebagaimana dinyatakan oleh Allah Swt. dalam Al-Qur’an, “Andai penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, Kami pasti akan membukakan bagi mereka aneka keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka telah mendustakan (ayat-ayat Kami). Karena itu, Kami menyiksa mereka akibat perbuatan mereka.” (QS. Al A’raf [7]: 96).
Wallahu a’lam bi ash shawab.
Penulis: Hijrawati Ayu Wardani, S.Farm., M.Farm. (Dosen dan Pemerhati Sosial)
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.