OPINI—Guru memiliki peran penting dalam pendidikan, bukan hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai pembina karakter generasi muda. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kriminalisasi guru semakin marak terjadi di Indonesia, menunjukkan lemahnya perlindungan hukum bagi profesi ini. Saat guru berusaha mendisiplinkan siswa, mereka kerap berhadapan dengan risiko hukum, yang membuat mereka ragu bertindak tegas.
Contohnya adalah kasus Maya, guru di SMPN 1 Bantaeng, yang dijebloskan ke penjara karena menertibkan murid yang terlibat cekcok dengan temannya, menyebabkan dirinya terkena sisa air pel. Ketika murid tersebut dibawa ke ruang bimbingan konseling dan dicubit, orangtuanya yang merupakan anggota kepolisian melaporkan Maya hingga kasusnya berakhir di meja hijau.
Di SMAN 2 Sinjai Selatan, guru honorer bernama Mubazir juga dipenjara setelah memotong rambut siswa yang tidak mengikuti aturan sekolah meskipun telah diberi peringatan selama seminggu. Orangtua siswa kemudian melaporkan Mubazir ke polisi.
Kasus serupa menimpa Darmawati, guru di SMAN 3 Parepare, yang dituduh melakukan pemukulan terhadap siswa yang tidak mengikuti shalat jamaah Dzuhur. Padahal, Darmawati hanya menepuk pundak siswa tersebut dengan mukena, dan hasil visum menunjukkan tidak ada luka.
Zaharman, seorang guru yang menegur siswa merokok saat jam pelajaran, mengalami kebutaan permanen pada mata kanannya akibat diketapel oleh orangtua siswa (Kompas.com, 30/10/24).
Kasus terakhir yang sedang ramai diperbincangkan adalah Supriyani, guru honorer di SD Negeri 4 Baito Konawe Selatan. Ia dituduh menganiaya anak seorang anggota polisi hingga luka lebam dan sempat ditahan di Polsek Baito.
Bahkan, ia dimintai uang damai sebesar Rp 50 juta oleh pihak korban. Supriyani dan rekan-rekan guru berulang kali membantah tuduhan ini baik di persidangan maupun di media (Medcom.id, 01/11/24; BBC.com, 01/11/24).
Fenomena ini menunjukkan bahwa posisi guru sangat rentan, terutama ketika tindakan disiplin yang mereka ambil justru membawa risiko hukum yang berat.
Perbedaan Persepsi dan Lemahnya Perlindungan Guru
Kasus kriminalisasi terhadap guru di Indonesia semakin mencerminkan adanya perbedaan pandangan tajam antara orang tua, guru, masyarakat, dan negara terkait batasan tindakan disiplin dalam pendidikan anak. Di satu sisi, orang tua dan masyarakat mungkin mengharapkan pendekatan pendidikan yang lebih lunak dan tanpa paksaan.
Namun, di sisi lain, guru merasa bahwa kedisiplinan diperlukan untuk membentuk karakter siswa serta memastikan mereka memahami tanggung jawab dan konsekuensi tindakan mereka. Tanpa kebijakan yang jelas dan perlindungan kuat, menjadi sangat rentan terhadap tuduhan kriminal, meskipun tindakan mereka bertujuan mendidik dan membimbing siswa.
Dalam sistem pendidikan saat ini, ketidaksepahaman mengenai batasan kedisiplinan telah menciptakan iklim ketakutan bagi para guru. Undang-Undang Perlindungan Anak, yang sejatinya dibuat untuk melindungi hak anak dari tindakan kekerasan, kerap kali disalahartikan atau disalahgunakan.
Akibatnya, bukan hanya anak-anak yang terlindungi, tetapi guru justru menjadi pihak yang kerap dipersalahkan ketika terjadi perbedaan interpretasi tentang pendidikan.
Kondisi ini menempatkan guru dalam posisi sulit, membuat mereka ragu dalam menjalankan tugasnya dengan sepenuh hati, terutama ketika tindakan menasihati atau mendisiplinkan siswa dianggap sebagai kekerasan.
Pendidikan Islam Menguatkan Peran dan Perlindungan Terhadap Guru
Dalam perspektif Islam, kedudukan dan peran guru sangatlah dimuliakan. Guru dipandang sebagai sosok penting yang berperan besar dalam membentuk moral dan intelektual generasi muda.
Islam memandang tindakan disiplin yang dilakukan dalam batas yang wajar bukan sebagai kekerasan, melainkan sebagai bagian dari proses pendidikan yang bertujuan membentuk karakter siswa.
Dengan demikian, guru tidak perlu merasa khawatir atau takut menghadapi ancaman hukum yang tidak berdasar ketika mendidik siswa dengan cara yang tepat.
Dalam sistem Islam, negara berperan penting dalam memastikan kesejahteraan dan perlindungan guru. Negara tidak hanya menyediakan perlindungan hukum yang jelas bagi guru, tetapi juga memahami bahwa pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara orang tua, guru, masyarakat, dan negara.
Sistem ini menjamin kesejahteraan guru melalui penggajian yang layak dan lingkungan kerja yang mendukung, sehingga mereka dapat mengajar dengan tenang dan fokus tanpa tekanan atau kekhawatiran ekonomi. Dukungan ini sangat diperlukan agar guru dapat menjalankan tugasnya dengan sepenuh hati dan tanpa rasa takut akan ancaman kriminalisasi yang tidak berdasar.
Selain itu, negara bertanggung jawab dalam memberikan pemahaman yang sama tentang tujuan pendidikan kepada seluruh lapisan masyarakat. Dengan adanya pemahaman bersama, sinergi antara orang tua, guru, masyarakat, dan negara dapat terwujud, menghindarkan terjadinya perbedaan pandangan yang tajam mengenai tindakan disiplin dalam pendidikan.
Tujuan pendidikan dalam Islam yaitu untuk membentuk karakter generasi yang berkepribadian Islam lebih mudah tercapai jika setiap pihak memiliki visi dan pemahaman yang sejalan.
Dengan adanya sinergi antara guru, orang tua, masyarakat, dan negara, hal ini dapat melahirkan generasi yang tidak hanya berilmu, tetapi juga berkarakter. Setiap pihak akan memahami perannya dengan baik, dan tidak akan terjadi lagi kesalahpahaman atau ancaman kriminalisasi yang menghambat pendidikan karakter siswa.
Kasus-kasus seperti yang dialami oleh para guru seharusnya tidak terulang lagi, dan perlindungan terhadap guru harus diperkuat demi masa depan pendidikan yang lebih baik. (*)
Penulis: Jumarni Dalle, A.Md.Keb.,SKM.,SH.,MH (Mahasiswi Program Doktor Syariah/Hukum Islam UIN Alauddin Makassar)
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.