OPINI—Tepatnya di tanggal 04 April 2025 zionis kembali melancarkan serangannya secara brutal dan terus menerus. Bahkan hampir satu kota rata dengan tanah karena serangan tersebut. Tercatat ada 50.357 orang di Palestina tewas akibat serangan militer Zionis sejak 7 Oktober 2023.
Meski telah melakukan gencatan senjata pada 18 Maret 2025 lalu namun hal ini tidak memberikan solusi perdamaian di wilayah tersebut. Idealnya hanya sebatas “ rest time” bagi zionis untuk mengumpulkan kekuatan mereka untuk kembali melakukan penyerangan lebih brutal.
Hampir tiap hari media menyuguhi siaran memilukan ini namun negeri-negeri Islam seakan kehilangan taringnya untuk menyerukan perang akan zionis Israel. Di satu sisi mereka memiliki kekuatan militer yang tidak bisa disepelekan.
Namun mengapa negeri-negeri Islam diam? Meski mereka tetap melakukan bantuan materiil berupa bantuan makanan, obat-obatan dan tenaga medis. Namun hal itu hanya menjadi penghibur belakang dan tidak akan mampu menyelesaikan kebiadaban zionis Israel di Palestina.
Rekonstruksi Gaza, Liga Arab Mendukung Moderasi Palestina
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang sejak awal berambisi mengambil alih Gaza dan merelokasi penduduknya ke tempat lain dengan dalih wilayah tersebut tidak dapat dihuni dan penduduknya tidak dapat hidup secara manusiawi di tempat yang tertutup puing-puing dan persenjataan yang belum meledak.
Dalam pertemuan KTT Liga Arab di Kairo, Mesir, Selasa (04 Maret 2025) Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi meminta agar dilakukan pembentukan komite Palestina untuk pemerintahan Gaza sementara Komite Palestina diisi oleh kalangan independen, termasuk teknokrat, yang akan memerintah Gaza sementara, yakni dalam periode 6 bulan di bawah naungan Pemerintah Otoritas Palestina (PA) yang berpusat di Tepi Barat. Anggota-anggota komite tersebut tidak berafiliasi dengan faksi-faksi Palestina apa pun.
Sementara itu, bagi warga Gaza, ancaman terbaru Presiden AS Donald Trump yang akan membumihanguskan Gaza jika pembebasan sandera Zionis tidak dilakukan, terasa seperti tidak lebih dari sekadar pembenaran untuk melakukan kekerasan lebih lanjut kepada mereka. Gaza selalu menjadi perhatian dunia, terutama negara-negara yang berkepentingan di kawasan tersebut.
Demikianlah sikap AS terhadap rencana rekonstruksi Gaza yang diinisiasi oleh Mesir dan Liga Arab. Rencana merekonstruksi Gaza oleh Amerika Serikat (AS) bersama negara Liga Arab terkuat dari sejumlah indikasi berikut:
Pertama, Trump berupaya mengambil alih jalur Gaza dengan visi membersihkan etnis Palestina dengan alasan relokasi permanen ke negara-negara terdekat Gaza, seperti Mesir dan Yordania. Namun, kedua negara tersebut menolak rencana Trump. Lahirlah ide rekonstruksi Gaza yang digagas Mesir dengan tawaran masyarakat Palestina tidak perlu pindah dari wilayah tersebut.
Eropa dan Liga Arab menyetujui usulan tersebut. Negara Arab yang notabene selama ini duduk membisu seakan-akan bersuara dan memihak Palestina dengan ide rekonstruksi dan membangun pemerintahan sementara untuk Gaza melalui Komite Palestina.
Meskipun pernyataan Trump dan kehendak Mesir terkesan bertentangan. Namun, jika kita telaah, penolakan Mesir dan Yordania atas rencana Trump yang ingin merelokasi warga Gaza ke negeri mereka sejatinya hanyalah kamuflase di antara mereka. AS telah mengisyaratkan bahwa mereka terbuka untuk mendengar usulan dan aspirasi negara Arab untuk rekonstruksi Gaza pascaperang.
Sementara itu, Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi mengatakan pada KTT Liga Arab bahwa Trump akan dapat mencapai perdamaian dalam konflik Zionis-Palestina.Bukankah pernyataan tersebut merupakan bentuk keberpihakan Liga Arab terhadap rencana AS?
Ini artinya, baik Trump (AS) maupun negara-negara Arab memiliki kesamaan tujuan, meski berbeda narasi, yakni ingin mengubah Palestina menjadi lebih moderat dan menyingkirkan gerakan-gerakan yang dianggap melawan perdamaian, seperti kelompok mujahidin Palestina dan HAMAS yang menolak tunduk pada kepentingan AS dan Sekutu.
Kedua, Keterlibatan AS terhadap Palestina sudah cukup menunjukkan betapa besarnya pengaruh AS dan perlindungannya terhadap Zionis. Hampir seluruh kekuatan militer AS dialihkan untuk melakukan perlindungan terhadap Zionis. Maka jelaslah penolakan negara Arab terhadap rencana Trump dapat menghentikan serangan Zionis terhadap Palestina tidak akan memberikan pengaruh yang besar.
Sebagai negara yang mengklaim dirinya sebagai polisi dunia dan misi perdamaian, AS tidak akan mudah ditundukkan dengan penolakan Mesir, Yordania, maupun negara Arab lainnya. Buktinya, Trump penuh percaya diri menyampaikan pernyataan kontroversialnya, meski dihujat dan dikecam banyak negara.
Hal ini menunjukkan dominasi AS sebagai negara adidaya masih kuat dan belum tergantikan di pentas politik dunia. Di sisi lain, ketidakberdayaan dan sikap diam negara-negara Arab atas pembantaian Zionis yang telah berjalan puluhan tahun sudah sangat membuktikan bahwa mereka negara yang mudah disetir dan disabotase kepentingan AS.
Amerika Serikat sangat memahami konstelasi Internasional, mereka memahami Palestina adalah wilayah satu-satunya yang dimuliakan umat Islam setelah Mekkah dan Madinah yang memiliki pengaruh cukup besar bagi umat Islam. Maka mereka memfokuskan serangan mereka pada wilayah tersebut dengan tujuan melakukan upaya modernisasi dan moderasi di wilayah Timur Tengah.
Masalah Timur Tengah khususnya Palestina adalah masalah yang teramat rumit untuk dapat diselesaikan. Tidak ada negara adidaya yang mampu mengatasinya. Masalah Timur Tengah ini tidak akan pernah dapat diselesaikan kecuali dengan berdirinya negara Khilafah Islam.
Jihad dan Khilafah Solusi Tuntas Palestina
Selain merupakan kewajiban dan konsekuensi iman, upaya menegakkan kembali Khilafah sejatinya merupakan sebuah kebutuhan mendesak bagi umat Islam. Upaya ini harus menjadi visi seluruh pergerakan Islam dan umat Islam yang ada di seluruh dunia karena Khilafah merupakan solusi tuntas atas seluruh persoalan di negeri-negeri Islam, bahkan seluruh dunia, termasuk persoalan Palestina.
Khilafah adalah satu-satunya institusi penegak syariat kaaffah yang diturunkan Allah Taala sebagai tuntunan sekaligus problem solver bagi seluruh masalah kehidupan. Syariat Islam menjadikan negara dan penguasanya berfungsi sebagai pengurus dan penjaga, menghapus kezaliman, mengharamkan tunduk pada penjajah, dan mensyariatkan jihad fi sabilillah. Khilafah akan menyatukan umat Islam di bawah satu kepemimpinan, memobilisasi seluruh potensi militer yang dimilikinya termasuk tentaranya untuk mewujudkan keadilan di seluruh dunia.
Tentu saja mewujudkan Khilafah tidak semudah membalik telapak tangan. Kehadirannya di masa depan telah menjadi mimpi buruk bagi penguasa negara-negara adidaya dan para kroninya. Ini karena Khilafah akan menggantikan kepemimpinan mereka yang destruktif dengan kepemimpinan yang menebarkan rahmat.
Itulah sebabnya, menghalangi kemunculan Khilafah menjadi salah satu agenda utama mereka. Negara-negara adidaya bahkan memaksa seluruh negara di dunia untuk turut menyukseskan proyek tersebut atasnama perang global melawan terorisme dan radikalisme di negeri-negeri Islam. Mereka menggunakan berbagai cara, baik melalui tekanan ekonomi, politik, bahkan militer untuk mencapai tujuan.
Yakinlah, kembalinya Khilafah adalah janji Allah sekaligus kabar gembira dari Rasulullah SAW. Tugas kita hanyalah menjalankan kaidah dakwah dengan jalan menapaki metode dakwah sebagaimana dicontohkan baginda Rasulullah SAW. Itulah dakwah yang bersifat fikriyyah (membangun kesadaran terhadap Islam kaaffah), politik ideologis (mengarah pada penerapan secara ril dalam bentuk kepemimpinan Islam), berjemaah, dan laa madiyyah (berdakwah tanpa kekerasan). (*)
Penulis: Ifah Rasyidah (Pegiat Literasi Islam)
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.