OPINI—Kestabilan ekonomi pemerintahan baru Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka akan diuji secara nyata. Salahsatu masalahnya adalah persoalan stagnasi pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang secara luas.
Berdasarkan laporan dari International Monetary Fund (IMF) diproyeksikan akan terjadi stagnasi pertumbuhan ekonomi dalam jangka lima tahun kedepan. IMF menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2024-2029 akan mengalami stagnan pada kisaran 5 persen per tahun (IMF, 2024).
Prediksi ini jelas menimbulkan kekhawatiran baru karena Presiden Prabowo Subianto masih sangat optimis dengan target pertumbuhan ekonomi Indonesia mampu mencapai 8 persen di periode ini.
IMF dalam kajiannya memproyeksi akan terjadi pertumbuhan berturut-turut yakni 5,0 persen pada 2024 serta 5,1 persen pada 2025 dan 2029. Dengan nilai defisit periode sama nilai transaksi berjalan Indonesia diproyeksi melebar dan pada 2023 defisit berjalan adalah 0,3 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
IMF bahkan memprediksi nilai defisit 1 persen akan terjadi pada 2024, 2 persen pada 2025, dan 1,4 persen 2029. (IMF, 2024). Membaca prediksi IMF akan terjadinya pertumbuhan ekonomi yang stagnan, maka pada konteks ini dibutuhkan sebuah gebrakan transformasi ekonomi yang besar demi capaian yang progresif. Secara tegas ada banyak tantangan besar, diantaranya persoalan fiskal ekonomi Indonesia yang masih belum stabil dengan utang yang tinggi.
Melambannya proses industrialisasi negara yang ditandai dengan banyak usaha komoditas lama yang awalnya menjadi produk unggulan yang harus mengalami proses disrupsi besar dan terakhir masalah masih tingginya biaya logistik dari setiap aktivitas usaha ekonomi di Indonesia.
Acuan Analisis
Tantangan pemerintah pusat dalam mendapatkan pertumbuhan ekonomi 8 persen sangatlah sulit. Apalagi jika melihat pada proses peran kinerja investasi di Indonesia yang masih lemah dalam mendongkrak laju pertumbuhan ekonomi, Tendensi ini jelas akan menciptakan terjadinya pelemahan penyediaan sumber pendanaan.
Fakta ini sedikit berbeda dengan kondisi yang diterima negara tetangga Indonesia seperti Singapura yang memiliki akses kuat dalam hal penawaran investasi global. Secara sistem Singapura telah berproses sebagai mitra strategis bisnis karena sudah menyiapkan jaringan infrastruktur ekonomi yang memadai.
Dalam hal penataan infrastruktur ekonomi, sistem ekonomi dalam negeri Indonesia faktanya masih sangat terpaku pada arahan formulasi kebijakan dan sistem anggaran dari pemerintah pusat. Daya jelajah pengembangan kreativitas ekonomi nyatanya masih sangat lemah bahkan seringkali hanya melahirkan ruang prosedural dan formalitas semata.
Belum sampai pada substansi hasil kerja yang tumbuh mandiri dan berkelanjutan. Tentu analisis ekonomi yang dikeluarkan IMF mampu menjadi fokus strategis perhatian bersama, karena bagaimanapun juga proyeksi defisit transaksi berjalan Indonesia dari IMF,yang berada di kisaran 1-1,4 persen dari PDB untuk periode 2024-2029.
Argumentasi ini sejalan dengan defisit transaksi berjalan Indonesia yang pernah mencapai 2,9 persen dan 2,7 persen pada periode sebelum pandemi Covid-19. Seperti era 2018 dan 2019 yang memberi bantalan kuat negara Indonesia sebelum masuk masa resesi pandemi.
Apa yang diprediksi oleh IMF, sekiranya juga relevan dengan antisipasi ekonomi yang dianalisis oleh Bank Indonesia. Dalam riset terbaru, Bank Indonesia memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di angka 6 persen. (Bank Indonesia, 2024).
Langkah ini dilakukan demi mengantisipasi segala macam potensi risiko dari ketidakpastian yang terjadi pada pasar keuangan global akibat konflik geopolitik sekaligus memperkuat stabilitas nilai tukar, dan menjaga inflasi dalam sasaran yang ditetapkan.
BI juga mempertahankan suku bunga penempatan dana Rupiah oleh Bank dalam rangka operasi Moneter (deposit facility) 5,25 persen dan fasilitas pinjaman yang diberikan oleh Bank sentral kepada Bank-Bank komersial untuk memenuhi kebutuhan likuiditas jangka pendek (lending facility) pada 6,75 persen (Bank Indonesia, 2024).
Kebijakan taktis yang dilakukan oleh Bank Indonesia ini sejalan dan konsisten dengan tujuan menjaga inflasi dalam kisaran 1,5-3,5 persen pada 2024 dan 2025 serta mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Dalam bentuk implementasi yang lebih besar kebijakan makroprudensial longgar tetap diterapkan demi mendorong penyaluran kredit sektor-sektor prioritas demi mendukung pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.
Selaras langkah akselerasi ekonomi nasional, sistem pembayaran pun diarahkan demi mempercepat digitalisasi dan memperluas akseptasi di berbagai lapisan masyarakat.
Dalam orientasi sederhana dapat dinilai jika fokus kebijakan moneter jangka akan selalu mengarah pada upaya stabilitas nilai tukar Rupiah agar dapat resisten dari goncangan ketidakpastian pasar keuangan global. Ketidakpastian yang terjadi di Timur Tengah nyatanya terus menggerus ketidakpastian pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang.
Meski demikian, tren penurunan inflasi global telah memicu konvergensi pelonggaran kebijakan moneter dinegara maju. Penurunan suku bunga negara-negara maju,terutama Amerika Serikat (AS), diperkirakan terus berlanjut meskipun ketegangan geopolitik yang sangat dinamis turut terus diwaspadai.
Secara lugas ekonomi domestik Indonesia harusnya lebih berhati-hati dalam menjaga stabilitas nilai tukar dan mengendalikan aliran modal asing demi kepentingan dan kebutuhan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Relasi ini juga sejalan fakta jika inflasi indeks Harga Konsumen (IHK) pada September 2024 tercatat 1,84 persen secara tahunan dengan inflasi inti mencapai 2,09 persen. Inflasi harga bergejolak berada pada angka 1,43 persen. (Bank Indonesia, 2024).
Pada sisi lain, nilai tukar rupiah pada 15 Oktober 2024 mencapai Rp 15.555 per dollar AS, terdepresiasi 2,82 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Hal ini dipicu oleh ketidakpastian global akibat ketegangan di Timur Tengah.
Apakah Bank Indonesia akan memangkas suku bunga acuan di akhir tahun guna mendorong permintaan di sektor riil, terutama jika tren deflasi berlanjut menjadi menarik untuk dinantikan. Arus modal yang masuk kedalam negeri nyatanya sangat mempengaruhi pemangkasan suku bunga acuan.
Apalagi sebagai negara berkembang Indonesia masih sangat bergantung pada konstelasi politik luar negeri yang berjalan dinamis. Ambil contoh, pada September 2024, keputusan The Fed untuk memangkas suku bunga sebesar 50 basis poin secara riil telah mendorong masuknya modal asing ke Indonesia.
Namun, tren dari peningkatan ketegangan global dan ketidakpastian pemilihan umum (Pemilu) Amerika Serikat (AS) membalikkan tren positif ini dalam seminggu terakhir. Berkaca dari kasus ini maka pemerintah Prabowo-Gibran kiranya harus jeli dalam menyiapkan skema antisipasi rasional untuk menentukan kebijakan ekonomi Indonesia yang selaras dengan kontekstual masalah yang terjadi secara global.
Arah Kebijakan
Jika secara cermat mengurai satu per satu masalah ekonomi dalam negeri, tantangan terdekat dari peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia kiranya beranjak dari sektor perdagangan barang jasa karena pada dimensi ini terjadi ketergantungan yang sangat besar pada aktivitas impor.
Dalam konteks perdagangan barang, serapan daya saing produk ekspor Indonesia nyatanya telah membuat ekonomi Indonesia semakin melemah.
Padahal secara rasional, ada banyak komponen komoditas Indonesia seperti minyak, gas, batubara, Crude Palm Oil (CPO),tembaga, dan nikel yang semestinya memberikan posisi tawar utama bagi terciptanya ruang-ruang pertumbuhan ekonomi Indonesia.
.
Terkait perdagangan jasa, Indonesia terus-menerus mengalami defisit besar sejak puluhan tahun lalu. Kondisi ini terjadi karena tingginya ketergantungan penyedia jasa pada pihak luar dalam mengoperasikan berbagai macam kebutuhan infrastruktur segala macam jasa transportasi, pendidikan sampai jasa konsultan.
Secara taktis pemerintah Indonesia harus dapat lebih berhati-hati dengan angka proyeksi defisit transaksi berjalan dari IMF dapat diselesaikan. Pemerintah Indonesia harus mampu membangun keseimbangan aliran dana masuk utamanya dalam hal penciptaan investasi besar dalam negeri.
Pada konteks ini perlu regulasi efektif dan adanya birokrasi terampil untuk mempecepat terjadinya akselerasi dalam hal pertumbuhan dan pengembangan sektor usaha.
Salahsatu langkah strategis yang kiranya dapat dilakukan pemerintah adalah dengan melakukan kebijakan bertahap setidaknya ini dapat dimulai dari tahun 2025 sampai 2029 yakni orientasi untuk dapat mencitakan pertumbuhan 5,7 persen,6,4 persen, 7 persen, 7,5 persen, dan 8 persen.
Dengan rencana ini, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mampu mencapai 6,9 persen. Jika pola ini dilakukan konsisten oleh pemerintah nasional dengan tetap memberikan penciptaan pembagian pendanaan adil antara pusat dan daerah, maka laju pertumbuhan ekonomi akan dapat dirasakan maksimal oleh rakyat Indonesia dan ini akan menciptakan kestabilan ekonomi secara adil, makmur dan sejahtera. (*)
Penulis: Haris Zaky Mubarak, MA (Analis dan Mahasiswa Doktoral Universitas Indonesia)
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.