OPINI—Mengikuti perkembangan terbaru, sejumlah komoditas pangan dunia mengalami kenaikan. Salah satu sebab rasional dari kenaikan ini diantaranya disebabkan karena berbagai faktor non teknis seperti halnya keterbatasan pasokan akibat cuaca ekstrem.
Meningginya harga pangan dunia ini justru merugikan Indonesia sebagai pengimpor sejumlah bahan baku pangan karena akan menghambat produktivitas masyarakat.
Secara taktis, Organisasi Pangan dan Pertanian atau Food and Agriculture Organization (FAO) bahkan menganalisis jika indeks harga rata-rata pangan pokok dunia naik 2 persen secara bulanan.
Pada konteks ini, terjadi kenaikan harga minyak nabati dan gula sebagai faktor pendorong naiknya indeks harga pangan secara total. (FAO, 2024)
Pada Oktober 2024, indeks harga minyak nabati rata-rata mengalami kenaikan sebesar 152,7. Indeks ini melonjak 7,3 persen secara bulanan dan mencapai level tertinggi dalam dua bulan terakhir.
Capaian ini karena didukung oleh harga minyak sawit mentah (CPO) yang meningkat selama lima bulan berturut-turut sejak Juni2024.
Kenaikan harga komoditas itu dipicu kekhawatiran pasar atas penurunan produksi musiman di negara-negara produsen yang ada di dunia. Pada saat harga CPO naik, nilai dan volume ekspor Indonesia justru turun.
Pada September 2024,, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, nilai ekspor CPO dan produk turunannya 1,38 miliar dollar AS yang mengalami penurunan sebesar 21,64 persen secara bulanan dan 24,75 persen secara tahunan.
Pada sisi ini volume ekspor 1,49 juta ton, turun signifikan September 2023 dan Agustus 2024 yang masing-masing 2,15 juta ton dan 1,97 juta ton (BPS, 2024).
Pada sisi lain, FAO menyebutkan jika kenaikan harga gandum dunia akan memberi resistensi bagi produktivitas dari tanaman musim dingin di beberapa negara eksportir utama.
Belum lagi jika dikaitkan dengan persoalan tren kenaikan harga jagung dunia yang faktanya mengalami kenaikan signifikan seiring dengan kuatnya permintaan domestik yang ada di Ukraina dan Brasil.
Terakhir persoalan beras, jika melihat pada data beras dunia pada Oktober 2024 yang mengalami tren turun sebesar 5,6 persen secara bulanan, menyusul penghapusan pembatasan ekspor beras non pecah.
Rasionalisasi gejolak harga komoditas pangan ini berpengaruh bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia utamanya hingga saat ini Indonesia masih merupakan negara pengimpor pangan seperti beras, gula, gandum, kedelai dan jagung pakan.
Pertanyaannya kemudian jika melihat besarnya ketergantungan pemerintah Indonesia terhadap impor komoditas pangan yang sangat tinggi.
Akselerasi Ekonomi
Dukungan tinggi akan terwujudnya akselerasi ekonomi dan konvergensi antar daerah pertumbuhan tinggi dan inklusif, terbangunnya peningkatan kesejahteraan dan pemerataan antardaerah perlu ditopang dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) secara efisien, sehat dan kredibel.
Sejalan hal tersebut, reformasi fiskal yang selama ini berjalan dilanjutkan dan diperkuat melalui optimalisasi pendapatan negara (collecting more) dilakukan menjaga iklim investasi dan bisnis.
Pemerintah juga memberikan insentif fiskal secara terarah dan terukur pada berbagai sektor strategis untuk mendukung akselerasi transformasi ekonomi.
Kebijakan belanja negara haruslah selalu diarahkan demi penguatan belanja berkualitas (spending better) agar belanja lebih efisien dan efektif.
Upaya dalam menata penguatan ditempuh melalui efisiensi belanja nonprioritas, penguatan belanja produktif, efektivitas subsidi dan bantuan sosial atau bansos peningkatan akurasi data, perbaikan penyaluran, dan efektivitas antar program relevan, serta penguatan kebijakan perlindungan sosial berbasis pemberdayaan pengentasan kemiskinan dan kesenjangan.
Dalam sisi lain, Pemerintah harus mampu mengatur harmonisasi program kebijakan pusat dan daerah yang diarahkan melalui peningkatan kualitas belanja di daerah agar lebih produktif, peningkatan kualitas layanan publik dan kemandirian daerah.
Dalam pembangunan berkelanjutan (sustainable development) perekonomian Indonesia harus segera mengubah pola piker pertumbuhan ekonomi yang masih bergantung pada sumber daya alam yang berlimpah dan upah tenaga kerja murah kepada sistem pola pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif (inclusive growth) serta ramah lingkungan dan berkelanjutan (green growth).
Pertumbuhan yang inklusif haruslah dipahami sebagai wujud rasional keadilan dalam mengakses kesempatan ekonomi sebesar mungkin.
Dalam dimensi ini, sistem pertumbuhan yang inklusif hanya akan berhasil jika memungkinkan semua anggota masyarakat untuk berpartisipasi dan mengambil manfaat pertumbuhan dan pembangunan ekonomi atas dasar kesetaraan terlepas dari latar belakang sosial ekonomi yang berbeda.
Kondisi atau ketersediaan devisa suatu negara importir akan mempengaruhi kuantitas impor pangan. Jika devisa dalam negeri tersedia jumlah yang cukup, maka impor pangan tidak menjadi masalah. Namun sebaliknya, jika devisa dalam negeri langka, maka akan menyulitkan negara-negara impotir pangan.
Semakin menipisnya devisa yang diperoleh dari ekspor minyak bumi mungkin menempatkan Indonesia pada posisi yang lebih sulit jika menggantungkan kebutuhan pangannya dari impor.
Untuk negara yang menginginkan swasembada (self-sufficient) seperti Indonesia, maka kemauan untuk mengurangi impor harusnya berjalan lancar. Dengan meningkatkan produktivitas harga biji-bijian tinggi, konsumsi akan menurun, produksi akan distimulasi, dan jurang impor dapat tertutup.
Pencapaian swasembada tentu merupakan keberhasilan suatu kebijakan pangan. Namun pengurangan impor pangan tidak menjamin bahwa penduduk miskin memiliki cukup pangan untuk dimakan, dan boleh jadi banyak yang bertambah jelek atau kekurangan pangan. Melihat kekhawatiran ini jika butuh keseimbangan rasional untuk dapat saling mengisi.
Sebagai solusi rasional, untuk terus menjaga keamanan pangan pemerintah harus dapat secara ptaktis memadukan hubungan interaksi antara teknologi, sumberdaya manusia yang dikoordinasikan, baik melalui mekanisme pasar atau mekanisme pengaturan lainnya seperti kebijaksanaan pemerintah yang mengatur produksi pertanian.
Dalam rasional ini, solusi dari permasalahan dan tantangan utama untuk dapat mencapai derajat keamanan pangan yang tinggi adalah mengatasi atau memecahkan masalah dalam pengorganisasian seluruh subsistem dalam sistem pangan, subsistem masukan, subsistem produksi, subsistem pemasaran, dan subsistem konsumsi.
Konsistensi Implementasi
Harus diakui, pangan merupakan wujud kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat sehingga komoditas tanaman pangan utamanya padi sebagai suatu komoditas yang sangat penting dan strategis.
Ketersediaan pangan merupakan aspek penting dalam mewujudkan ketahanan pangan karena penyediaan pangan diperlukan untuk dapat memenuhi segala macam kebutuhan dan konsumsi pangan bagi seluruh masyarakat, rumah tangga, dan perseorangan berkelanjutan. Pada tataran ini menjaga keberlanjutan pangan jelas menjadi rujukan penting karena sudah menyentuh pada tataran implementasi praktis.
Faktualnya, dari waktu ke waktu menurunnya perhatian terhadap sektor pertanian, membanjirnya beras impor memasuki pasar domestik sehingga menurunkan gairah petani bertanam padi, mengandalkan sumber pangan hanya pada beras, dan diversifikasi pangan masih sebatas slogan dan retorika belaka, telah mengakibatkan sistem ketahanan pangan nasional semakin melemah.
Pada masa Belanda dalam mengatasi masalah pangan, pemerintah Belanda saat itu mendirikan Sticking het Voedings Middelen Fonds (VMF) yang bertugas membeli, menjual dan mengadakan persediaan bahan makanan (dalam hal ini beras) dan lahirlah stock policy.
Pada masa pemerintahan Indonesia, peningkatan produksi beras yang dilakukan sejak 1959 terus dipacu melalui revolusi hijau dan telah menunjukkan keberhasilan sangat menakjubkan yakni dicapainya swasembada beras tahun 1984, sehingga merubah status Indonesia dari sebuah negara importir beras terbesar di dunia dalam 1970-an ke negara swasembada.
Dalam rentang waktu 1980 an akhir, produksiberas meningkat rata-rata 4,5 persen per tahun. Keberhasilan ini akibat kebijakan yang menekankan penggunaan teknologi baru, investasi infrastruktur, dan harga-harga yangmenguntungkan para petani. Penggunaan varietas unggul hasil tinggi, penggunaan pupuk,penyuluhan kepada petani dan perbaikan pengelolaan air irgasi adalah dasar kunci dalam meningkatkan produksi beras dalam negeri.
Selama kebutuhan pangan Indonesia masih bertumpu pada satu jenis pangan yakni beras adalah sangat riskan dan rawan. Jika sewaktu-waktu terjadi kegagalan panen, maka kelaparan akan mengancam.
Untuk itu, sudah saatnya pemerintah Indonesia terampil dalam mengembangkan sistem ketahanan pangan berbasis pada keragaman sumberdaya bahan pangan, kelembagaan dan budaya lokal dalam rangka menjamin tersedianya pangan dan nutrisi jumlah dan mutu yang dibutuhkan pada harga terjangkau dengan memperhatikan peningkatan pendapatan petani dan nelayan, serta peningkatan produksi yang diatur dengan undang-undang. Sebagaimana amanat konstitusi negara Indonesia. (*)
Penulis: Haris Zaky Mubarak, MA (Konsultan dan Mahasiswa Doktoral Universitas Indonesia)
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.