Advertisement - Scroll ke atas
  • Media Sulsel
  • Universitas Dipa Makassar
Opini

Kebijakan Pajak, Kebijakan Dzalim Sistem Kapitalisme

557
×

Kebijakan Pajak, Kebijakan Dzalim Sistem Kapitalisme

Sebarkan artikel ini
Ulfiah (pegiat literasi)
Ulfiah (pegiat literasi)
  • Pascasarjana Undipa Makassar
  • Pemprov Sulsel
  • PDAM Makassar

OPINI—Dari masa ke masa, rakyat tak henti-hentinya dibebani berbagai macam pajak. Mulai 1 Januari 2025, pemerintah resmi menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. Perubahan tarif ini sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Beberapa barang yang akan dikenakan PPN 12 persen meliputi beras premium, daging premium, buah premium, jasa pendidikan premium, jasa pelayanan kesehatan premium, dan pelanggan listrik dengan daya 3500-6600 VA (tirto.id, 21/12/2024).

Advertisement
Scroll untuk melanjutkan

Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Faisal Basri, mengungkapkan bahwa rencana pemerintah menaikkan PPN ini tidak masuk akal.

Menurutnya, kebijakan tersebut hanya akan menyengsarakan rakyat tanpa memberikan dampak signifikan terhadap penerimaan negara. Ia juga menilai kebijakan ini tidak adil, mengingat pemerintah masih memberikan banyak insentif fiskal kepada korporasi (cnbcindonesia.com, 20/08/2024).

Pajak dalam Kapitalisme: Sebuah Keniscayaan yang Berat

Dalam sistem kapitalisme, kenaikan pajak adalah hal yang lumrah. Pajak atas rakyat dalam berbagai barang dan jasa merupakan kebijakan bawaan dari sistem ini. Kapitalisme menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara untuk pembangunan. Namun, kebijakan ini sering kali tidak adil karena negara lebih berpihak kepada pengusaha daripada rakyat.

Peran negara dalam kapitalisme yang hanya sebagai regulator dan fasilitator membuat kebijakan cenderung menguntungkan para pengusaha. Mereka mendapat berbagai insentif pajak, sementara rakyat kecil dibebani tarif pajak yang makin tinggi. Hal ini mengakibatkan kewajiban pajak menjadi beban berat bagi masyarakat, terutama mereka yang hidup pas-pasan.

Pajak juga dianggap sebagai sumber utama pendapatan negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun, pendekatan ini sering kali menjadi pemaksaan kepada rakyat. Jika tidak membayar, rakyat terancam sanksi.

Keberlimpahan SDA yang Tidak Dimanfaatkan untuk Rakyat

Ironisnya, negeri ini sebenarnya memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA) yang melimpah. Namun, pengelolaannya lebih banyak diberikan kepada oligarki, baik dari dalam maupun luar negeri. Akibatnya, hasil SDA yang seharusnya menjadi hak rakyat justru dinikmati segelintir pihak.

Di satu sisi, rakyat diwajibkan membayar pajak sebagai sumber pendapatan negara. Di sisi lain, kekayaan alam dikeruk habis oleh pihak asing dan elit lokal. Padahal, jika SDA dikelola dengan baik, hasilnya bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat tanpa harus memberatkan mereka dengan pajak.

Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih.” (QS Asy-Syura: 42).

Konsep Pajak dalam Islam

Islam juga mengenal pajak, yang disebut dharibah. Namun, konsep ini berbeda secara mendasar dengan pajak dalam kapitalisme. Dalam Islam, pajak hanya bersifat insidental, yaitu ketika kas negara (baitulmal) tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan tertentu yang diwajibkan syariat.

Menurut Syekh Abdul Qadim Zallum, dharibah adalah harta yang diwajibkan Allah SWT kepada kaum Muslim untuk membiayai kebutuhan tertentu saat baitulmal kosong. Pajak ini hanya dibebankan kepada orang-orang kaya, bukan kepada seluruh rakyat. Begitu kas negara sudah mencukupi, pemungutan pajak harus dihentikan.

Islam tidak menjadikan pajak sebagai sumber tetap pendapatan negara. Sebaliknya, Islam memiliki sembilan sumber utama pendapatan, seperti fai, kharaj, jizyah, dan harta milik umum yang dikelola negara untuk kepentingan rakyat.

Pajak dalam Islam juga tidak dimaksudkan untuk menekan rakyat atau memperkaya pejabat negara. Tujuannya semata-mata untuk memenuhi kewajiban syariat. Dengan demikian, penerapan pajak dalam Islam tidak akan dirasakan sebagai bentuk kezaliman seperti dalam sistem kapitalisme.

Peringatan bagi Para Pemimpin

Para pemimpin harus berhati-hati terhadap peringatan Rasulullah SAW tentang pemimpin yang memberatkan rakyatnya. Konsekuensi dari kezaliman ini sangat berat, baik di dunia maupun di akhirat. Rasulullah SAW bersabda:

“Ya Allah, siapa saja yang menangani urusan umatku lalu ia menyusahkan mereka, maka susahkanlah ia. Siapa saja yang menangani urusan umatku lalu ia berlaku lembut kepada mereka, maka berlaku lembutlah kepadanya.” (HR Muslim dan Ahmad).

 

Wallahu a’lam bish-shawab.

 

Penulis: Ulfiah (pegiat literasi)

 

***

 

Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.

error: Content is protected !!