OPINI—Baru-baru ini seorang siswi berinisial OZ (15) di Kota Depok menjadi korban bullying oleh sekelompok orang. Pelaku bahkan melakukan siaran live di media sosial saat melakukan tindakan keji tersebut. Peristiwa itu terjadi pada Sabtu (5/7) di rumah pelaku di kawasan Beji, Depok.
Dalam video yang beredar, korban dibully oleh beberapa orang. Korban dipukuli di bagian wajah oleh pelaku sambil menertawakannya. Korban juga dipaksa berlutut sambil memohon ampun. Saat berlutut di hadapan pelaku, leher korban juga diinjak hingga kesakitan dan mencoba memberontak (8/07/2025, merdeka.com).
Perundungan tidak hanya terjadi di dunia nyata saja, tetapi di dunia digital pun perundungan terjadi. Menurut Menteri Komunikasi dan Digita Meutya Hafidl, terdapat 48 persen anak pernah menjadi korban cyberbullying.
Meutya berpendapat bahwa meskipun perundungan ini terjadi di dunia digital, tetapi cyberbullying sangat mengganggu sisi emosional dan psikis anak-anak sehingga tak boleh diremehkan (6/07/2025, rri.co.id).
Selain itu, menurut Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ai Maryati Solihah, mengatakan perundungan siber (cyberbullying) terhadap anak semakin beragam dan mengkhawatirkan.
Hal ini disampaikannya menanggapi temuan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) bahwa 48 persen anak pernah menjadi korban cyberbullying. Ai mengatakan ada anak yang menjadi korban AI di mana wajah dan tubuhnya dimanipulasi. Kemudian ada pula yang terjebak prostitusi online akibat enkripsi media sosial (7/07/2025, rri.co.id)
Kasus perundungan atau bullying masih menjadi PR besar negeri ini. Setiap tahunnya, kasus perundungan semakin tinggi. Berdasarkan data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), pada 2024 terdapat 573 kasus kekerasan yang dilaporkan di lingkungan pendidikan, termasuk sekolah, madrasah, dan pesantren. Jumlah ini mengalami lonjakan yang signifikan. Jika di bandingkan dengan tahun sebelumnya, pada 2023 terdapat 285 kasus, pada 2022 terdapat 194 kasus.
Kasus perundungan tidak bisa di anggap sebelah mata. Sebab, ini telah menjadi fenomena gunung es yang merusah generasi. Berbagai pihak telah melakukan berbagai hal untuk mengatasi kasus perundungan, seperti edukasi, adanya BK di sekolah, pedampingan korban dan sanksi. Namun solusi yang diberikan tidak menyelesaikan masalah, sebab itu semua belum menyentuh akar permasalahan lahirnya perundungan.
Sekulerisme-Liberalisme menjadi akar masalah kasus perundungan. Kebebasan berperilaku menjadikan generasi bebas melakukan segala sesuatu, disamping itu, agama tidak dijadikan asas dalam menjalani kehidupan ini. Sehingga lahirlah sistem pendidikan sekuler.
Sistem sanksi pun tidak memerikan efek jerah kepada pelaku karena masih di bawah umur. Padahal saat ini kebanyakan pelaku perundungan di lakukan oleh anak-anak maupun remaja di bawah umur 17 tahun. Selain itu, peran orangtua pun menjadi faktor, sebab pendidikan hanya di berikan ke pihak sekolah saja, padahal orang tua menjadi sekolah pertama bagi seorang anak.
Dengan demikian dibutuhkan adanya perubahan yang mendasar dan menyeluruh untuk menyelesaikan kasus perundungan di negeri ini. Tidak cukup dengan menyusun edukasi, pemberian sanksi, namun juga pada paradigma kehidupan yang diemban oleh negara ini.
Islam sangat melarang keras perilaku merendahkan orang lain. Sesuai Firman Allah dalam surah Al-Hujurat ayat 11:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”
Selain itu, Islam menjadikan balig sebagai titik awal pertanggumgjawaban seorang manusia. Sehingga ketika pelaku kejahatan itu telah balig, maka berhak diberi sanksi. Buka usia yang menjadi patokannya. Sebab ketika telah balig maka akalnya telah sempurna.
Penerapan sistem pendidikan Islam akan menjadikan kurikulum pendidikan berbasis akidah Islam sehingga seluruh pembelajaran di sekolah lebih fokus menanamkan keimanan kepada Allah, serta ketundukan kepada ajaran Islam.
Selain itu, Islam menjadikan sistem pendidikan yang berasas akidah Islam memberikan bekal untuk menyiapkan anak mukallaf pada saat baligh. Pendidikan ini menjadi tanggung jawab keluarga, masyarakat, dan negara.
Dimana negara sebagai pihak yang paling bertanggungjawab dalam menyusun kurikulum pendidikan dalam semua level. Bahkan Pendidikan dalam keluarga pun negara memiliki kurikulumnya. Semua untuk mewujudkan generasi yang memiliki kepribadian Islam.
Sistem informasi dan sistem sanksi akan menguatkan arah pendidikan yang dibuat oleh negara. Negara akan melarang tayangan-tanyangan yang akan merusak generasi dan menindak tegas bagi yang melanggar. Kemudian bagi pelaku kriminal akan diberikan sanksi tegas sehingga memberikan efek jera bagi pelaku dan pencegahan untuk tidak ada yang bakal melakukan kejahatan serupa.
Oleh karena itu, mengembalikan tata kehidupan ini kepada tata kehidupan yang sesuai aturan Sang Pencipta, yakni syariat Islam. Islam adalah agama yang tidak hanya mencakup keimanan dan ibadah saja, tetapi memiliki tata aturan atau hukum syariat yang begitu sempurna dalam penjagaan jiwa, akal, harta, dan kehidupan.
Sehingga dengan penerapan sistem Islam, perundungan dapat dihentikan karena Islam memiliki perlindungan berlapis bagi generasi, yakni penanaman akidah, penerapan syariat, dan pemberlakuan sistem sanksi bagi pelaku kriminal. (*)
Waalahu a’lam bisoaf.
Penulis: Nur Ana
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.
















