Advertisement - Scroll ke atas
  • Pemkot Makassar
  • Media Sulsel
  • Bapenda Makassar
  • Universitas Diponegoro
Opini

Miris, Perilaku Anak Makin Jauh dari Karakter Umat Terbaik

699
×

Miris, Perilaku Anak Makin Jauh dari Karakter Umat Terbaik

Sebarkan artikel ini
Miris, Perilaku Anak Makin Jauh dari Karakter Umat Terbaik
Ulfiah (pegiat literasi)
  • Pemprov Sulsel
  • HUT Sulsel ke-355
  • Ir. Andi Ihsan, ST, MM (Kepala Biro Umum Pemprov Sulsel)
  • PDAM Makassar
  • Pilkada Sulsel (KPU Sulsel)

OPINI—Dalam sistem sekuler saat ini, korban dan pelaku perundungan (bullying) tidak lagi memandang usia. Bahkan, siswa SD bisa menjadi pelaku kejahatan perundungan di sekolah. Seperti yang terjadi baru-baru ini. bocah usia 9 tahun, kelas 2 di salah satu Sekolah Dasar Negeri (SDN) di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat (Jabar), meninggal dunia akibat dikeroyok oleh kakak kelasnya pada Senin (15/5/2023).

Kakek korban, mengatakan, usai kejadian yang terjadi di sekolah itu, cucunya tersebut sempat mengeluh sakit. Tetapi, korban memaksa tetap masuk sekolah meski dalam keadaan sakit, namun nahas, saat itu korban kembali dikeroyok oleh kakak kelasnya, hingga dilarikan ke RS Primaya. Akibat pengeroyokan itu korban mengalami kejang-kejang, serta Mengalami kritis selama tiga hari, korban pun dinyatakan meninggal dunia pada Sabtu 20/05/2023. (kompas.com, 20/05/2023)

Advertisement
Scroll untuk melanjutkan

Sungguh miris melihat generasi saat ini. Perilaku sadis dan bengis menambah catatan merah kerusakan generasi.Kasus bullying atau perundungan memang seolah tak pernah padam dinegeri ini. Bahkan jika ditelusuri hampir tiap hari ada di setiap wilayah. Kasus bullying seperti ini bukan kali pertama terjadi di negeri tercinta ini, bahkan terus mengalami peningkatan setiap tahunnya.

Jika dahulu pelaku dan korban perundungan adalah pelajar tingkat SMP dan SMA, kini pelaku siswa SD pun mulai menjamur. Jenis perundungan yang kerap dialami korban pun beragam, baik fisik, verbal, sosial/relasional, ataupun secara daring (cyberbullying).

Budaya penindasan juga dapat berkembang di mana saja selagi terjadi interaksi antar manusia, dari mulai di sekolah, tempat kerja, rumah tangga, dan lingkungan. jadi jelas, setiap perilaku yang didalamnya terdapat konteks penganiayaan baik secara fisik maupun psikis bisa dikategorikan ke dalam istilah bullying.

Sehingga, apa yang terjadi dengan generasi muda saat ini tak lepas dari kegagalan negara melakukan penjagaan serta pembinaan terhadap mereka. Mengapa demikian? Tidak lain karena Negara membiarkan pemikiran dan gaya hidup liberal sekuler mengepung generasi melalui berbagai sarana. Juga membiarkan para orang tua berjibaku sendiri mendekap anak-anak mereka dari serangan kaum kapitalis sekuler.

Banyak faktor yang memengaruhi maraknya kasus perundungan.

Pertama, kebijakan negara, yakni kurikulum yang tegak di atas nilai-nilai sekuler. yang makin menjauhkan generasi dari hakikat penciptaan manusia, yakni menjadi hamba Allah Taala yang taat dan terikat syariat. Serta Daya rusak akidah ini sangatlah dahsyat. Lihatlah, betapa perilaku generasi kita yang makin ke sini makin jauh dari karakter umat terbaik.

Perundungan, kekerasan seksual, narkoba, perzinaan, tawuran, bunuh diri, pembunuhan, dan sebagainya, kerap mengintai generasi kita. Inilah konsekuensi yang harus kita tanggung ketika negara lebih memilih penerapan kurikulum dan sistem pendidikan berbasis akidah sekularisme.

Kedua, pola asuh pendidikan sekuler masih mewarnai pendidikan di keluarga. Kebebasan berekspresi dan berperilaku kerap menjadi faktor pemicu anak-anak mudah mengakses tontonan berbau kekerasan dan konten porno.

Beberapa kasus perundungan pada siswa SD disinyalir karena pelaku mengakses konten pornografi dan kekerasan lewat ponsel. Faktor kebebasan ini pula yang menjadi model bagi orang tua dalam mendidik anak-anak mereka.

Anak-anak mendapat banyak kemudahan dalam teknologi, tidak ada pengawasan, Sehingga remaja pun mengambil mentah-mentah apa saja yang dijajakan kaum kapitalis sekuler, serta menjadikan gaya hidup sekuler liberal sebagai identitasnya.

Ketiga, kehidupan masyarakat yang individualistis makin mengikis kepedulian antar sesama. Masyarakat cenderung apatis ketika terjadi kriminalitas atau perbuatan yang mengarah ke perundungan jika yang dirundung bukan anak mereka. Masyarakat tumbuh menjadi manusia yang mudah kalap, tersulut emosi dan kemarahannya, lalu saling membalas perilaku dengan kekerasan.

Terkadang, perilaku mencela dan menghina secara verbal masih dianggap wajar dan sekadar perilaku normal nakalnya anak-anak. Jika model masyarakat seperti ini terus berjalan, anak-anak kita juga yang akan terpengaruh dengan karakter masyarakat tempat mereka tumbuh dan berkembang.

error: Content is protected !!