OPINI—Baru-baru ini terungkap kepemilikan harta kekayaan pejabat pajak Rafael Alun Trisambodo yang mencapai Rp56 miliar, kini beredar luas beberapa unggahan Dirjen Pajak maupun para pegawai Ditjen Pajak (DJP) yang mengendarai motor gede (moge).
Para PNS Ditjen Pajak penyuka motor, termasuk moge, diketahui tergabung dalam komunitas bernama Belasting Rijder. Seperti dilihat Instagram, Belasting Rijder juga memiliki beberapa cabang di sejumlah daerah. Belasting Rijder sendiri merupakan Bahasa Belanda. Belasting bermakna pajak, sementara rijder berarti pengendara.
Sehingga secara harfiah blasting rijder memiliki arti pengendara pajak. Para anggota komunitas ini diketahui adalah para pegawai pajak, hal ini bisa dilihat dari profil penggunggah foto maupun para akun yang ikut meramaikan dengan berkomentar.
Namun saat kembali dipantau di Instagram pada Minggu (26/2/2023), beberapa akun IG Belasting Rijder diketahui sudah menghapus semua unggahannya, termasuk salah satunya yang memposting Dirjen Pajak yang tengah mengendarai moge. Beberapa pengikutnya maupun yg mengikuti sudah tampak kosong. (kompas.com, 26/02/2023).
Awalnya kasus ini terungkap setelah terjadi kasus kekerasan pada salah satu anak pejabat tersebut. Kasus itu membuka banyak hal termasuk gaya mewah yang nampak dalam postingan barang mewah yang dimilikinya. Namun ketika kasus kekerasan diperkarakan, semua postingan tersebut dihilangkan oleh pemilik akun.
Penghilangan jejak digital tersebut adalah salah satu cara menghilangkan jejak kejahatan yang dilakukan, yang dimana Pejabat pajak hidup mewah hingga anaknya tidak segan unjuk gigi pamer harta.
Padahal, jumlah harta kekayaannya bisa saja tidak sebanding dengan pendapatannya sebagai pejabat pajak. Walhasil, patut diduga adanya tindak korupsi, terlebih ada lebih dari 13 ribu pegawai pajak yang belum melaporkan hartanya.
Belum lagi penghapusan jejak digital yang dibuat oleh pihak lain atau media tentu tidak mudah, bahkan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dan tentunya hanya bisa dilakukan oleh para pemilik kekuasaan atau modal besar. Langka ini dilakukan untuk menutupi pelanggaran hukum dan melepas diri dari jeratan hukum atau menjaga kehilangan harta.
Dalam sistem kapitalisme, kasus seperti diatas adalah hal yang lumrah, masyarakat kelas menengah hingga atas, bahkan pejabat kelas kakap, hidup dalam atmosfer materialistis. Maka tidak jarang ketika terjadi pelanggaran maka penghilangan jejak digital pun manjadi jalan baru agar terjaga dari jeratan hukum, belum lagi media sosial turut menstimulasi masyarakat akan kesenangan dan hedonisme.
Di tambah penerapan sistem ekonomi kapitalisme pun telah memaksa banyak keluarga kalangan kecil untuk fokus berjuang demi memenuhi kebutuhan ekonomi. Sehingga Kesenjangan antara kaya dan miskin pun terus terpelihara dalam sistem kapitalisme. Nilai-nilai materialistis memengaruhi kualitas interaksi sosial dan mendehumanisasi hubungan manusia menjadi serba transaksional.
Selain itu sistem kapitalisme juga masih bercokol di banyak negeri, termasuk negeri muslim Indonesia yang melahirkan gaya hidup materialistis. Maka tidak diherankan lahirlah individu-individu materialistis.
Serta tidak adanya pengawasan ketat oleh negara terhadap kinerja pejabat dan harta yang dimiliki setelah menjabat. Sehingga peluang korupsi oleh pejabat di negeri ini sangat terbuka lebar akibat lemahnya sanksi negara. Seperti itulah wajah-wajah kapitalisme yang hanya mencari keselamatan dunia.
Berbeda dalam sistem islam. Islam menjadikan keimanan kepada Allah sebagai benteng penjaga dalam keataatan pada Allah SWT. Sehingga mampu menghindarkan diri dari perilaku curang atau jahat. Demikian pula adanya kesadaran akan sangsi diakhirat akan menjaga untuk terus berbuat baik.
Ditambah lagi ketegasan penguasa seperti di masa khalifah Umar ra. Yang mengaudit jumlah kekayaan para pejabatnya. Jika ia menemukan kelebihan dari yang telah ditentukan sebagai penghasilannya yang sah, pejabat itu tidak berhak memiliki harta tersebut. Harta akan disita sepenuhnya dan diserahkan dan menjadi pemasukan Baitul mal.
Khalifah Umar juga selalu mengambil sikap tidak makan enak selama menjadi Khalifah. Makanannya sama dengan makanan rakyatnya yang paling miskin, rumahnya sama dengan kebanyakan lainnya.
Sikap ini karena para pemangku kekuasaan dan pemilik jabatan dalam kekhalifahan tidak silau akan harta. Mereka bersikap zuhud terhadap dunia; ikhlas menaati Allah, Rasul-Nya, dan Amirulmukminin yang menerapkan syariat; serta berkhidmat dengan sebaik-baiknya untuk kemaslahatan umat
Inilah sistem islam, yg menjalankan syariah secara kaffah, akan menjamin kebutuhan rakyat. Tak akan ditemukan pejabat yang silau akan harta. Selain itu keberkahan hidup hanya akan diperoleh dari ketundukan manusia kepada aturan Allah SWT semata. Wallahu A’lam. (*)
Penulis: Ulfiah (Pegiat Literasi)
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.