OPINI—Di sela rapat koordinasi yang dihadiri oleh kalangan akademisi, pelaku usaha, masyarakat atau komunitas, dan media massa termasuk penyuluh pertanian. Juga dihadiri para ahli di antaranya CEO Great Giant Food, dan wakil bidang holtikultura APINDO Pusat. Dalam kesempatan tersebut, pemerintah provinsi Sulawesi Selatan menyampaikan kebijakan terkait gerakan gemar menanam pisang (G2MP).
Dikutip dari laman (rakyatsulsel.fajar.co.id, 30/09/2023), PJ Gubernur Sulsel menyatakan bahwa “Pisang adalah buah yang sangat dekat dengan kultur budaya kita masyarakat Sulsel. Hampir semua makanan olahan kita di Sulsel, bahan dasarnya adalah pisang. Namun, belum ada budidaya pisang sebagai sumber pencaharian utama.”
Gerakan ini bertujuan untuk menjadikan Sulsel menjadi provinsi produsen pisang terbesar nomor satu di seluruh dunia. Selain itu, juga bertujuan untuk mengatasi kemiskinan, inflasi, dan memperkuat ketahanan pangan.
Ditargetkan, di tahun 2023 hingga satu tahun ke depan di 2024 mendatang, akan mulai ditanami dan dikembangkan 100.000 hektar dengan jumlah 200 juta pohon. Gerakan ini nantinya akan memanfaatkan lahan kering tidur dan dilaksanakan secara masif, dan akan melibatkan seluruh komponen masyarakat.
Jamak diketahui bahwa pisang merupakan salah satu komoditi yang banyak dikembangkan di Sulsel, tetapi belum masif. Adapun jumlah produksi pisang Provinsi Sulsel dalam lima tahun terakhir, 2018 sebanyak 136 ribu ton, 2019 sebanyak 142,4 ribu ton, 2020 sebanyak 146,5 ribu ton, 2021 sebanyak 161,5 ribu ton, 2022 sebanyak 179,7 ribu ton. (rakyatsulsel.fajar.co.id, 30/09/2023)
Solusi Pragmatis
Jika melihat ke belakang, Indonesia merupakan negara kaya, baik dari sisi SDA ataupun SDM. Dengan kekayaan ini, logikanya akan mencukupi kebutuhan masyarakat. Hanya saja, kondisi masyarakat yang sebagian besar berada pada garis menengah ke bawah membuat mereka kesulitan memenuhi kebutuhan hidup.
Upaya praktis pemegang kebijakan untuk menyelesaikan masalah pangan dengan kebijakan seperti di atas jelas tidak efektif dan bersifat sementara. Juga dalam pemberian bantuan, tidak akan dapat membuat masyarakat langsung keluar dari masalah utama, sebab ketahanan pangan bukan sekadar memastikan masyarakat dapat makan enak selama satu bulan atau lebih, melainkan harus menjamin kebutuhan rakyat terpenuhi selama hidupnya.
Faktanya, sebagian besar masyarakat sulit membeli kebutuhan sehari-hari karena keuangan mereka terbatas, harga kebutuhan pokok melonjak, atau ketersediaan kebutuhan pokok langka. Kesulitan keuangan itu terjadi karena gaji mereka kecil, usaha mereka gulung tikar, ataupun mengalami PHK.
Negara (dalam hal ini pemerintah) juga tidak menyelesaikan masalah mendasar dari kelangkaan pangan. Selama ini, distribusi selalu menjadi kendala dalam urusan pangan. Rantai distribusi yang panjang membuat masyarakat merasakan mahalnya bahan kebutuhan pokok.
Belum lagi masalah kecurangan dalam prosesnya, seperti praktik penimbunan, makin menambah persoalan pangan. Selain itu, para petani negeri ini mengalami kesulitan dalam bertani. Mereka susah mencari pupuk, kalaupun ada harganya mahal. Belum lagi teknologi pertanian yang masih tradisional.
Semua masalah ini akibat penerapan sistem kapitalisme. Ideologi yang berasaskan materialisme ini telah memberi kebebasan para pemilik modal (kapitalis) menguasai berbagai usaha, mulai dari hulu hingga hilir. Kapitalisme membuat peran negara yang harusnya mengurusi kebutuhan rakyat hanya sebatas regulator.
Pemegang kebijakan akan membuat regulasi yang pada kenyataannya justru banyak menguntungkan para kapitalis. Banyak perusahaan swasta justru menguasai industri pangan, seperti beras, minyak sawit, ikan, sehingga mereka menjadi penentu distribsi dan memainkan harga.
Ketahanan Pangan dalam Islam
Islam akan menyelesaikan permasalahan ini secara fundamental (dari dasar), karena aturan Islam tidak hanya dipegang oleh individu saja, melainkan juga harus oleh negara.
Negara wajib menjadikan Islam sebagai landasan dalam membuat aturan dan menjalankan syariat Islam agar masyarakat dapat hidup berkah, termasuk dalam mewujudkan ketahanan pangan. Adapun upaya sistem Islam dalam mewujudkan ketahanan pangan di antaranya adalah sebagai berikut.
Pertama, Islam akan mengatur masalah lahan pertanian. Negara harus menjamin ketersediaan lahan pertanian dan tidak boleh mengizinkan lahan subur mengalami alih fungsi lahan. Negara juga tidak akan membiarkan lahan pertanian mati (tidak digarap pemiliknya). Jika terjadi demikian, negara akan mengambilnya dan memberikan kepada orang yang mampu mengelolanya.
Kebijakan ini diterapkan berdasar hadis Rasulullah saw., “Orang yang memagari tanah, tidak berhak lagi (atas tanah tersebut) setelah (menelantarkannya) selama tiga tahun.”
Negara juga membolehkan menghidupkan tanah mati (ihya’ul mawat) dengan memanfaatkan tanah untuk keperluan apapun, sehingga bisa menghidupkannya. Tiap tanah mati apabila telah dihidupkan oleh orang, maka tanah tersebut telah menjadi milik yang bersangkutan.
Syara’ telah menjadikan tanah tersebut sebagai milik orang yang menghidupkannya, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Aisyah bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
“Siapa saja yang telah mengelola sebidang tanah, yang bukan menjadi hak orang lain, maka dialah yang lebih berhak”. Imam Abu Dawud juga meriwayatkan, bahwa Nabi saw., telah bersabda: “siapa saja yang telah memagari sebidang tanah dengan pagar, maka tanah itu adalah miliknya.”
Kedua, negara akan membuat kebijakan industri berbasis industri berat. Politik industri mengarah pada kemandirian industri dengan membangun alat-alat produksi sehingga dapat menopang teknologi untuk pertanian secara mandiri.
Ketiga, negara perlu memiliki kemandirian riset. Riset pangan dan teknologi dilakukan untuk meningkatkan produksi pangan yang akan dimanfaatkan masyarakat, bukan untuk bisnis atau keuntungan oligarki.
Keempat, seluruh kebijakan di atas perlu anggaran. Anggaran dalam Islam berasal dari Baitul Mal yang telah diatur sesuai dengan syariat Islam.
Kelima, negara mengatur distribusi pangan. Setidaknya ada dua cara, yaitu mekanisme harga dan nonharga. Mekanisme harga maksudnya adalah negara memastikan harga pangan di pasar stabil dan terjangkau.
Negara akan melakukan pengawasan pasar hingga tidak terjadi penimbunan barang, kartel, dan penipuan. Saat negara menemui ketidakseimbangan penawaran dan permintaan, negara mengambil langkah intervensi pasar, seperti menyuplai barang yang langka.
Sementara untuk masyarakat miskin dan tidak mampu, maka dikeluarkan kebijakan nonharga. Negara akan memenuhi seluruh kebutuhan pokok selama mereka kesulitan bekerja, semisal karena sakit atau cacat.
Apabila seluruh aturan berjalan baik, negara dapat menjamin ketahanan pangan untuk rakyatnya. Hal ini tidak bisa dilakukan, kecuali negara mengambil dan menerapkan hukum Islam secara total (kaffah).
Inilah solusi hakiki untuk mewujudkan ketahanan pangan. Solusi yang bersumber dari Zat Yang menciptakan manusia dan seluruh isi semesta, Dia-lah Allah Swt.
Wallahualam bis showab
Penulis
Mansyuriah, S.S
(Pemerhati Perempuan dan Generasi)
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.