Advertisement - Scroll ke atas
  • Ramadan Mubarak 1446H (Mediasulsel.com)
  • Pemkab Sidrap
  • Pemkab Sidrap
  • Pemkab Maros
  • Universitas Dipa Makassar
  • Media Sulsel
Opini

Berburu Pajak, Anomali di Negeri Kaya

560
×

Berburu Pajak, Anomali di Negeri Kaya

Sebarkan artikel ini
Ramadhan dan Kesadaran Utuh
Nurmia Yasin Limpo, S.S (Pemerhati Sosial Makassar)
  • Pemprov Sulsel
  • Pascasarjana Undipa Makassar
  • Pemprov Sulsel
  • PDAM Makassar

OPINI—Naiknya sejumlah harga pangan akhir-akhir ini dirasakan langsung oleh masyarakat. Menyusul isu kenaikan tarif pelayanan umum dan lain sebagainya. Kenaikan disinyalir adanya rencana pengambilan pajak disejumlah layanan umum.

Baru-baru ini pemerintah berencana mengesahkan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau HPP. UU tersebut mengatur terkait Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Karbon, NIK yang berfungsi sebagai NPWP, denda pajak hingga tax amnesty (pengampunan pajak).

Advertisement
Scroll untuk melanjutkan

Dengan UU tersebut, Pemerintah bersama DPR sepakat untuk menaikkan PPN sebesar 11 persen pada April 2022. Tidak sampai disitu, melalui Menteri Hukum Dan HAM Yasonna Laoly, berencana menaikkan lagi PPN mencapai 12 persen pada tahun 2025.

Seperti dikutip dari Kompas.com (7/10/2021) bahwa Pemerintah bersama DPR RI sepakat menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 11 persen pada April tahun 2022 mendatang.

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyatakan, bahwa tarif PPN akan kembali naik mencapai 12 persen pada tahun 2025, dengan mempertimbangkan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat.

Menurutnya, kenaikan pajak di Indonesia lebih rendah dibanding negara-negara lain. Juga, mempertimbangkan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat saat ini, lanjutnya.

Jika dinilai pajak masyarakat Indonesia masih lebih rendah, itu disebabkan kesejahteraan masyarakat masih rendah. Tak heran, masih banyak masyarakat terbebani dengan pajak dengan berbagai jenisnya. Bagaimana nasib masyarakat tatkala pemberlakukan kenaikan pajak seperti yang direncanakan.

Klaim menaikkan nilai pajak sebab pertimbangan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat, sepertinya lucu dan menggelikan. Sebab, kenyataannya masyarakat saat ini ekonominya sangat terhimpit akibat pandemi.  Malah diberikan ‘beban’ (lagi), parahnya telah berencana menaikkan kembali 2025 mendatang.

Bukankah, menaikkan pajak akan menambah beban masyarakat yang telah terhimpit di masa pandemi ini. Menaikkan pajak pelayanan umum, mengakibatkan naiknya tarif pelayanan. Maka, masyarakat diberi beban baru (lagi).

Untuk merealisasikan UU HPP mendatang, maka dibuatlah aturan yang dapat memantau masyarakat untuk taat pajak. NIK telah berfungsi ganda bukan hanya sebagai tanda pengenal saja.

Tetapi, sebagai NPWP bagi masyarakat. Walau dinyatakan, tidak semua wajib pajak, ada syarat-syarat yang berlaku. Di sisi lain, ada pengampunan pajak oleh pengusaha kelas kakap yang  diberikan pemerintah. Cukup memilukan.

Arah Kebijakan Kapitalis

Tak dapat dipungkiri, negara yang nyaris kolaps dengan berbagai persoalan sedang menerpa. Tetapi, tak lantas ketidakadilan terus bertumbuh di tengah masyarakat. Mengejar pajak dari masyarakat sampai ke ‘lubang semut’, tetapi memberi ampunan pembayaran pajak oleh para pengusaha/konglomerat.

Padahal, sumber daya alam di Indonesia tidak sedikit. Sangat melimpah dan beraneka ragam. Jika dikelola dengan baik dan benar, maka pemerintah tak perlu mengandalkan pajak dan utang sebagai penopang perekonomian. Sayangnya, solusi menyelematkan keuangan dengan negara kapitalis neoliberalis mengarah pada penambahan pendapatan di sektor pajak dan mengharap utang dari negara lain.

Semua itu wajar saja terjadi, negeri ini sudah terlanjur mengambil sistem kapitalis menjadi tonggak perekonomiannya. Sarat akan kepentingan para kapitalis yang bekerja sama dengan penguasa yang pro-pengusaha. Sehingga apa yang kita saksikan adalah kolaborasi antara pengusaha dan penguasa dalam bentuk ‘investasi’.

Sumber pemasukannya dari pajak dan utang. Maka dari itu, kita melihat negara tidak pernah lepas dari pajak dan utang yang ribawi sampai hari ini. Alih-alih menyejahterakan, justru pajak dan utang menjadi beban dan derita baru rakyat.

Tolak ukur yang bersandar pada untung rugi menjadi bagian tak terpisahkan dalam sistem ini. Oleh sebab itu, setiap ‘kebijakan’ yang disepakati mesti berakhir untung bagi para kapitalis.

Berbeda halnya, ketika kebijakan tersebut hanya menuai kerugian. Maka, dapat dipastikan para konglomerat tak memilih bekerjasama. Fakta ini bisa disaksikan, tatkala pencaplokan SDA di berbagai wilayah di Indonesia. Salah satunya tambang emas di Papua, kontrak kerjasama terus diperpanjang. Tentunya masih banyak lagi SDA yang belum dikelola para pengusaha lokal dan asing.

Dengan demikian, mustahil masyarakat berharap pada sistem kapitalis ini untuk memberikan kesejahteraan yang merata yang membawa kebaikan umat.

Islam Memberi Kesejahteraan Hakiki

Dalam Islam, kesejahteraan merupakan hak individu yang harus diberikan. Mengatur kepemilikan berlandaskan tolak ukur halal haram. Dengan aturan ini, negara menjamin kepemilikan individu dan mengaturnya agar tidak melampaui batas yang diharamkan. Negara mengambil peran untuk membangun dan mewujudkan kesejahteraan dengan modal yang diambil dari sumber-sumber pemasukan.

Dalam Islam, terdapat berbagai sumber pemasukan negara. Seperti sumber daya alam yang dimiliki umat dan negara yang mengelolanya untuk diberikan kepada rakyat tanpa terkecuali. Dengannya kesejahteraan dan keadilan dapat dirasakan seluruh umat.

Selain itu, sumber pemasukan/pos yang lain antaranya, jizyah, ganimah, fai’, kharaj, usyur, rikaz dan zakat. Khusus zakat, maka terdapat  aturan yang berlaku secara syar’i.

Negara dalam Islam tak akan menarik pungutan sedikitpun bagi rakyatnya. Kecuali dalam keadaan tertentu yang memaksa negara untuk menarik pungutan.

Seperti baitulmal dalam kondisi kosong, maka diberlakukan pemungutan dharibah (pajak) yang telah ditetapkan secara syar’i. Yakni, pemberlakuannya tidak tetap, diambil dari orang yang kaya diantara kaum muslim saja. Mengambil pajak dari selain mereka merupakan tindakan dzolim yang dilarang Allah SWT.

Oleh karena itu, kita hanya mengharap solusi yang dapat menyudahi penderitaan rakyat. Mengakhiri semua kebijakan yang mendzolimi rakyat akibat sistem kapitalis neoliberal saat ini. Bukan fokus pada individu semata, tetapi pada sistem yang diterapkan atasnya.

Saatnya umat harus memahami bahwa hanya Islam yang dapat menyelesaikan segala persoalan hidupnya. Menguatkan keyakinan akan hukum Islam dan memberi gambaran jelas tentangnya. Itulah yang akan mengantarkannya kepada kesejahteraan penuh kebaikan.

Oleh sebab itu, dibutuhkan dakwah pemikiran di tengah umat. Mengajak kepada kembali ke aturan Allah SWT untuk menerapkan diseluruh sendi kehidupan secara kaffah. Sehingga kedzoliman yang terjadi di negeri sirna diganti dengan cahaya yang penuh berkah. Wallahu’alam bish-showwab. (*)

Penulis: Nurmia Yasin Limpo (Pemerhati Sosial Masyarakat)

***

Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.

error: Content is protected !!