OPINI—Tren food waste ternyata menjadi problem beberapa negara di dunia, termasuk Indonesia. Apa itu food waste semua makanan yang siap dikonsumsi oleh manusia tetapi dibuang begitu saja yang akhirnya menumpuk di TPA.
Menurut data laporan United Nations Environment Programme (UNEP) yang berjudul Food Waste Index 2021. Adapun total sampah makanan di Indonesia mencapai 20,93 juta ton per tahun, nilai tersebut menempati posisi empat terbesar setelah China, India, dan Nigeria. (Januari 2024, CNBC Indonesia)
Merujuk data tersebut, ternyata sungguh miris kondisi kita saat ini. Tatkala pemborosan makanan yang terbuang sia-sia setiap hari, ada individu masyarakat yang hidup serba kekurangan.
Parahnya, jenis makanan yang paling banyak terbuang yaitu beras dan jagung. Padahal, makanan pokok tersebut merupakan sumber daya yang berharga dan penting bagi hidup manusia.
Kondisi beras/jagung yang tiap tahunnya mengalami pembusukan di beberapa gudang bulog di Indonesia. Untuk menghindari kerugian, maka beras dijual murah dengan harga 10.500/kg.
Tak cukup sejam 7 ton beras ludes dibeli masyarakat, namun nyatanya beras tersebut busuk dan tak layak konsusmsi. (OkeZone, 2024).
Disatu sisi, gaya hidup konsumtif dan boros telah merasuk dan merusak sebagian individu masyarakat. Ditengah sebagian rakyat mengais makanan di tempat sampah untuk bertahan hidup. Disamping itu, pemerintah juga menyayangkan banyaknya sampah makanan sebab adanya potensi kerugian negara.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) telah mencatat potensi kerugian negara akibat susut dan sisa makanan (food loss and waste) mencapai Rp213 triliun-Rp551 triliun per tahun. Angka ini setara dengan 4-5 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. (Suara.com, 3-7-2024).
Menurutnya, negara mampu menyediakan sumber makanan bagi rakyat sebesar 62% warga miskin di Indonesia yang mencapai 25,22 juta jiwa atau 9,03% dari seluruh penduduk.
Kapitalisme Sekuler
Dalam pandangan sistem kapitalisme problem ekonomi itu ada pada ketersediaan barang dan jasa. Bahan makanan yang beredar tidak cukup mengakomodir banyaknya keinginan manusia.
Oleh sebab itu, para kapitalis berusaha untuk terus memproduksi barang khususnya bahan makanan. Kemudian menjamin ketersediannya di pasar-pasar tanpa memikirkan apakah barang tersebut dapat dinikmati individu masyarakat atau tidak. Juga, tidak memikirkan apakah barang itu dibutuhan masyarakat ataukah hanya keinganan semata.
Ditambah adanya sifat boros yang melekat pada sebagian individu masyarakat saat ini, makin terbuka ruang para produsen kapitalis untuk memproduksi barang dengan jumlah yang banyak dan beraneka ragam. Sebab menurut mereka, ketika masih banyak yang menginginkan maka mereka akan terus berproduksi walau barang itu terlarang oleh agama sekalipun, misal produksi khamer yang sampai saat ini masih ada sebab masih ada yang menginginkannya. Inilah prinsip yang diemban para kapitalis dalam memandang ekonomi. Bagaimana terus memproduksi dan menjaga ketersediaanya di pasar.
Akhirnya, tak sedikit makanan yang di produksi berakhir di tempat sampah dengan jumlah dan berbagai macam jenisnya.
Pun ketika produsen makanan tak berhasil menjual makanan hampir rusak atau kadaluarsa. Mereka memilih untuk membuang atau menghancurkannya sebab tidak ingin menjatuhkan harga brand di pasar.
Sungguh, sistem kapitalisme sekuler saat ini tidak mampu menyediakan kebutuhan dasar manusia. Justru hanya menguntungkan sebagian kelompok kapitalis semata.
Salah Kelola Distribusi
Tak hanya sifat konsumtif dan problem produksi yang buruk, tetapi proses distribusi juga menjadi problem utama. Beras dan jagung merupakan pangan pokok yang jenis bahan pangan yang banyak dibuang.
Disisi lain, derasnya arus impor beras ditengah rakyat siap menyambut panen raya. Disisi lain, masyarakat hidup dalam kemiskinan akut, tak mampu membeli beras ditengah banyak beras rusak yang dibuang sia-sia.
Inilah salah satu dampak salah kelola distribusi menciptakan fenomena food waste yang menjamur di sistem kapitlisme sekuler. Produksi diperhatikan, namun lalai terhadap distribusi.
Dengan memproduksi bahan pangan yang banyak, namun distribusnya tidak merata ke setiap individu rakyat. Akhirnya timbul kesenjangan di tengah masyarakatl. Sehingga problem food waste dan kemiskinan akut masih terus berlanjut tanpa penyelesaian hingga saat ini.
Pemerintah sebagai pelayan rakyat, bertanggungjawab meregulasi proses distribusi bahan pangan agar sampai pada rakyat secara merata. Dengan wewenangnya, pemerintah dapat mengatur distribusi pangan agar tidak sampai menumpuk hingga rusak di gudang karena pembusukan dsb.
Kemudian, mendistribusikannya ke masyarakat miskin secara merata dan menyeluruh. Juga terhadap bahan makanan lainnya yang dianggap masih layak dan begizi, dapat distribusikan kepada warga yang tidak mampu membeli.
Oleh sebab itu, masalah kekurangan gizi pun akan segera teratasi. Namun, mirisnya hal itu tidak dilakukan sebab kebijakan tersebut akan merugikan pelaku industri dengan alasan merusak harga pasar. Mereka lebih memilih memusnahkan daripada dinikmati oleh warga miskin.
Mirisnya, pemerintah tak dapat berbuat apa-apa, dengan anggapan itu adalah hak industri (kapitalis) yang dilindungi (kebebasan individu). Inilah konsekuensi penerapan kapitalisme sekuler yang semua diukur dengan materi tanpa memerhatikan penerapan nilai agama dalam kehidupan bermasyarakat.
Makanan dalam Pandangan Islam
Islam sangat menghargai makanan dianggap sebagai rezki dari Allah Swt. yang harus disyukuri manusia. Karenanya manusia dapat beraktivitas dengan baik sebab makanan menjadi sumber gizi yang dapat menunjang pertumbuhan dan perkembangan tubuh manusia.
Oleh sebab itu, Allah Swt. sangat mencela manusia yang mencela makanan. Rasulullah Saw. bersabda, dari Abu Hurairah ra., “Nabi saw. tidak pernah mencela makanan sekalipun. Apabila beliau suka, beliau memakannya. Apabila beliau tidak suka, beliau pun tidak memakannya.”(HR Bukhari dan Muslim).
Disamping itu, Islam juga mengajarkan untuk tidak bersikap boros terhadap makanan. Allah Swt. berfirman, “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.” (QS Al-Isra: 26-27).
Seorang muslim hendaknya senantiasa meyakini bahwa makanan yang ia miliki akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. kelak di hari akhir. Dengan begitu, ia tidak akan berlaku seenaknya dengan membuang-buang makanan.
Disisi lain, syariat juga memberi peluang kepada individu Muslim untuk berbagi berupa infaq dan sedekah kepada individu lainya dengan balasan pahala yang besar. Sehingg menutup celah menyia-nyiakan makanan.
Semua syariat terkait makanan tersebut tertuang dalam penerapan syariat Islam secara kafah melalui tegaknya Khilafah.
Distribusi dalam Tatanan Khilafah
Islam beserta syariatnya hadir untuk menyelesaikan problem manusia. Termasuk yang berkaitan dengan distribusi hingga mekanisme penyelesaian secara menyeluruh.
Negara Khilafah hadir untuk merealisasikan hukum syariat dalam masyarakat baik itu ekonomi, politik, pendidikan, sosial budaya, keamanan, hankam dsb.
Dalam menilai distribusi, sistem kapitalisme memandang kekayaan itu harus berputar pada kelompok tertentu saja. Berbeda dengan sistem Islam yang memandang kekayaan itu harus beredar di tengah-tengah masyarakat agar tidak terjadi kekacauan.
Dengan pandangan memandang distribusi merupakan sistem ekonomi yang harus diterapkan mekanisme-mekanisme tertentu dalam mendistribusikan pangan agar sampai ke individu masyarakat dengan merata.
Dengan konsep itulah negara Khilafah mampu merealisasikan kehidupan yang adil dalam keseimbangan ekonomi antar individu masyarakat.
Dengan negara memberikan edukasi kepada individu masyarakat agar terbentuk kepribadian Islam yang melahirkan ketaqwaan. Ketaqwaan inilah yang membentuk sikap zuhud dan menjalani hidup tidak berlebih-lebihan. Sekaligus memupuk kasih sayang dan kepekaan antar indvidu masyarakat.
Disamping itu, negara mewajibkan zakat bagi orang-orang kaya dengan mengambil sebagian hartanya dengan syarat-syarat tertentu dan membagikannya kepada orang-orang fakir dan miskin.
Kemudian, negara menjamin ketersediaan dan sampainya bahan pokok berupa pangan, papan dan sandang setiap individu rakyat secara merata. Melarang keras adanya praktek penimbunan barang-barang yang dibutuhkan rakyat oleh para pengusaha/industri.
Juga menutup rapat kran impor bahan pokok yang dapat merugikan petani terutama saat panen raya. Disamping merugikan rakyat, juga menghindari penumpukan bahan pokok yang akhirnya terbuang sia-sia akibat pembusukan. Terlebih karena semua itu merupakan pelanggaran hukum syara yang dibenci Allah Swt.
Demikianlah, persoalan food waste bukanlah semata tentang pemborosan, penyakit dan kerugian negara tetapi juga terkait dengan pandangan terhadap makanan, gaya hidup, distribusi, dan peran pemerintah.
Oleh sebab itu, untuk menyelesaikan persoalan food waste membutuhkan solusi yang menyeluruh dengan perubahan yang mendasar, yakni dari sistem kapitalisme menuju sistem Islam dengan tegaknya daulah khilafah sesuai perintah Allah Swt. Wallahu a’lam. (*)
Penulis: Nurmia Yasin Limpo, S.S (Pemerhati Sosial Masyarakat)
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.