OPINI—Dalam pertemuan sidang kabinet perdana di Istana Negara pada hari Rabu 23 Oktober 2024 Presiden Prabowo Subianto secara terus terang mengakui jika birokrasi di Indonesia ini terkenal ribet dan lamban.
Dalam kesempatan ini, Presiden Prabowo bahkan meminta kepada semua Menteri untuk mengakui secara jujur masalah ini. Oleh karena itu dia menginstruksikan jajaran Menteri kabinetnya untuk lebih berani dalam mempercepat kerja birokrasi.
Lebih jauh Presiden Prabowo Subianto bahkan meminta secara tegas kepada para Menteri kabinet Merah Putih untuk lebih berani dan tanpa ada keraguan sedikit pun dalam memberikan pelayanan publik terbaik kepada seluruh masyarakat Indonesia.
Harapan besar Presiden Prabowo Subianto boleh jadi merupakan refleksi dari banyak rakyat Indonesia yang sangat mengharapkan birokrasi anti ribet yang memudahkan ruang gerak aktivitas rakyat dalam memenuhi segala macam interaksi sosial dan kebutuhan kerja.
Mendengar birokrasi, publik langsung berasumsi tentang prosedur dan proses administrasi yang sangat kaku dan berbelit-belit. Imajinasi ini terjadi karena banyak masyarakat sering mengalami sendiri bagaimana rumitnya proses birokrasi Indonesia karena berjalan lamban.
Gambaran sejarah masa lalu yang mengurai potret realitas rakyat yang sibuk dengan antrian panjang dalam mengisi formulir ataupun surat pengajuan izin dengan serangkaian pemeriksaan berantai, peraturan ketat adalah catatan kelam yang menyertai gambaran birokrasi masa lalu.
Setidaknya pada masa Soeharto, praktik birokrasi berlapis-lapis ini seringkali hanya membuat sebagian besar rakyat berupaya mencari jalan pintas untuk dapat secepatnya selesai dari proses birokrasi. Karena kondisi ini pula yang memicu terjadinya suap dan praktik korupsi secara luas.
Tentu sebagai publik, kita tak dapat menyalahkan model sistem pemerintahan Indonesia masa lalu seperti era Soeharto yang berjenjang dan sangat estafet.
Dalam posisi sekarang, sebagai masyarakat modern yang melek akan transparansi dan akuntabilitas secara utuh tentu menjadi wajar jika publik sangat berharap ada reformasi birokrasi secara menyeluruh termasuk dalam menghilangkan budaya feodalistik dari bumi Indonesia.
Di zaman yang serba modern tentu tak etis jika birokrasi Indonesia masih terlelap untuk mempersulit segala macam urusan publik selayaknya jargon yang begitu popular di Indonesia hingga hari ini yakni “ Kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah”.
Tantangan Zaman
Secara utuh tantangan rasional dari reformasi birokrasi adalah kemampuan taktis untuk secara cermat dalam mentransformasikan berbagai konsekuensi perubahan secara berarti yang diperbaiki dari birokrasi rendah ke birokrasi yang unggul atau maju. Berangkat dari dasar inilah penerapan birokrasi dituntut mempersembahkan segala macam tuntutan perubahan berarti.
Jika berkaca pada studi kasus di banyak negara dunia, keberadaan birokrasi kiranya menjadi isu menarik karena ketidakmampuan pemerintah menyesuaikan diri saat ada perubahan signifikan termasuk ditengah tingginya tuntutan terhadap pelayanan publik yang baik, dan dengan semakin kuatnya kemajuan teknologi informasi yang berkembang sangat cepat maka gerak dinamis seperti ini disadari memberi pengaruh luar biasa bagi kemajuan berbagai aspek kehidupan termasuk dalam hal penataan sektor pemerintahan.
Modernisasi teknologi secara rasional nyatanya telah menawarkan peluang,tawaran dan daya harapan kemajuan besar bagi manusia. Semakin modern zaman, profil birokrasi ideal terus menerus diinginkan masyarakat, apalagi jika mampu menghadapi persaingan global sesungguhnya. Daya tawar birokasi yang memiliki nilai unggul dibanding dengan institusi politik dan sosial lainnya menjadi target utama dari hadirnya birokrasi yang modern ini.
Harapan ini setidaknya dibangun dalam ragam ekspektasi yang sangat menginginkan adanya sikap, perilaku dan pelayanan yang dilakukan para birokrasi pemerintahan. Tentu penalaran ini memberikan nilai tambah rasional bagi efektivitas dan keselarasan langkah pembangunan pemerintahan.
Salahsatu hal yang selalu menjadi atensi adalah menyangkut persoalan lambannya partisipasi birokrasi dalam menyesuaikan kebutuhan perubahan zaman yang menuntut terjadi dorongan besar penciptaan transformasi struktural tatanan birokrasi negara.
Apalagi jika kinerja birokrasi pemerintahan menciptakan watak elitisme, maka terjadi resistensi kuat dalam kondisi sikap penolakan atas perubahan menuju perbaikan. Dalam posisi ini tuntutan besar untuk meninggalkan paradigma lama dengan pengembangan birokrasi professional menjadi kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi.
Bukan saja karena kebutuhan transformasi birokrasi yang harus selaras dengan nilai dasar kehidupan yang berjalan dinamis tapi ini juga karena demi memenuhi kebutuhan dan perubahan zaman yang selalu menuntut terjadinya efektivitas secara matang, praktis dan efisien.
Tataran Praktis
Secara rasional, birokrasi adalah sistem pengorganisasian negara dengan tugas yang terstruktur dengan pengendalian manajemen pemerintahan yang baik dan teratur. Tentu sangat disayangkan, apabila kerja rutinitas aparat birokrasi yang kolot sering menyebabkan masalah baru yang menjadikan birokrasi statis dan kurang peka terhadap segala macam perubahan lingkungan sehingga resisten terhadap pembaharuan.
Kondisi ini memunculkan potensi praktek mal administrasi dan penyimpangan yang ujungnya mengarah pada korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Disinilah perlunya perbaikan tatanan birokrasi yang praktis demi menyelenggarakan tatanan pemerintahan yang sangat peka dengan kontekstual kebutuhan baik secara internal dan eksternal, sehingga memerlukan sistem reformasi birokrasi pemerintahan.
Cara taktis ini harus dibangun berdasarkan reorientasi, revitalisasi, rekonstruksi dan refungsionalisasi institusi dengan hadirnya paradigma baru birokrasi pemerintahan yang berfokus pada dimensi kerja rasional. Dari perspektif ini, birokrasi harus sejajar dengan gagasan teknologi komunikasi dan informasi, Hak Asasi Manusia (HAM), dan demokratisasi.
Salahsatu elemen yang perlu diperbaiki adalah mengubah tatanan perilaku birokrasi disfungsional, karena berdasarkan pengalaman yang berkembang selama ini rendahnya pengetahuan dan keterampilan kerja profesional seringkali hanya memberi kesuburan bagi praktik korupsi dalam lingkungan birokrasi di Indonesia.
Secara kualitas birokrasi, elemen didalamnya tidak mampu dalam melaksanakan segala macam lingkup kebijakan, inisiatif kerja penciptaan pembangunan, model pemberdayaan dan pelayanan dalam kapasitas untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat negara berkembang termasuk menghindari tata kelola pemerintahan yang korup, tidak efisien, dan budaya tidak profesional.
Pasca Reformasi Indonesia, segala macam penataan perbaikan birokrasi menjadi hal utama yang diprioritaskan. Dan ini teraplikasi dalam kebijakan pembangunan zona integritas yang lazim diberlakukan dalam banyak instansi pemerintahan. Melalui cara ini diharapkan ada warna perubahan gagasan dengan mengubah cara pandang birokrasi agar tak stagnan dan kaku.
Birokrasi yang berkembang di Indonesia sekarang ini bagi sebagian besar publik juga masih dianggap kaku dan masih terlalu formalistis. Faktual ini tentu saja menambah buruk nilai kinerja dari birokrasi di Indonesia karena tidak semua urusan masyarakat dan pemerintahan bisa didekati dengan pendekatan kaku yang serba formalistis.
Disisi lain, kemajuan inovasi teknologi, birokrasi negara berkembang dunia nyatanya juga berhadapan dengan tuntutan baru dalam hal ini mencakup efisiensi, produktivitas, kepastian rasa aman dan kenyamanan dalam kebutuhan prosedural.
Salah satu bentuk aplikatif pemerintahan modern adalah penerapan konsep pengembangan pemerintahan e-government yang merupakan wujud optimalisasi pelayanan publik yang transparan, efisien dan efektif.
Praktik e-government sejatinya bukan merupakan wujud model pemerintahan yang ingin selalu memajukan pengembangan sistem digital dan online. Lebih dari itu e-government dalam praktiknya harus dapat dilihat sebagai ruang kerja tersistem yang selalu sejalan dengan kemajuan zaman.
Dalam studi yang dilakukan oleh J. Ramon Gil-Garcia (2012) dalam risetnya yang berjudul Enacting Electronic Government Success: An Integrative Study of Government-wide Websites, Organizational Capabilities, and Institution secara tersirat studi ini sebenarnya mensintesiskan penalaran tentang bagaimana rumitnya integrasi sistem perkembangan e-government jika tidak dijalankan dengan kapabilitas yang selaras dengan sosial masyarakat karena sering bergantinya model teknologi terbaru, faktanya juga mengubah tatanan sistem pemahaman dan standarisasi kesuksesan dari penerapan e-government tersebut.
Boleh jadi sebagai masyarakat kita tidak juga terlalu mengharapkan di era canggih dengan teknologi informasi dan komunikasi seperti sekarang ini publik sebenarnya tidak terlalu mengharapkan mudahnya mengakses secara mandiri semua layanan publik melalui gawai, handphone ataupun komputer kantor pemerintahan tapi lebih dari itu publik besar kemungkinan juga ingin layanan kolektif yang dibangun dalam sentuhan sikap humanis untuk menjabarkan setiap program layanan pemerintah.
Keinginan semacam ini tentu tak mudah untuk dirasionalisasikan secara baik dengan pendekatan teknologi. Rasa humanisme dan kemanusiaan untuk dapat secara ramah bersosialisasi membangun jejaring kolaborasi bisa jadi merupakan sentuhan yang masih sangat dibutuhkan oleh masyarakat banyak saat ini.
Disinilah kiranya yang menjadi tantangan nyata bagi implementasi birokrasi anti ribet Indonesia yang sekiranya menjadi kebutuhan utama bagi pemerintahan Indonesia saat ini.
Pemberian layanan publik tidak serta merta dipahami sebagai saluran berbagi informasi demi kemanfaatan publik dengan sikap kolektif secara kuat ataupun bentuk pelaksanaan kerja berbasis digital dan online semata tapi lebih dari itu layanan juga harus melihat pada aspek nilai guna yang benar-benar berguna bagi masyarakat luas tanpa terkecuali, dengan tetap teguh untuk menjunjung tinggi segala macam nilai-nilai kemanusiaan, humanisme, prinsip transparansi dan komunikasi secara beretika. (*)
Penulis: Haris Zaky Mubarak, MA (Konsultan Peneliti dan Mahasiswa S3 Ilmu Sejarah FIB Universitas Indonesia)
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.