OPINI—Praktik pungutan liar atau pungli di lingkungan rumah tahanan (rutan) KPK saat ini tengah menjadi sorotan. Selain total nominal yang besar hingga mencapai Rp4 miliar, sejumlah pihak juga melihat perlunya perombakan sistem di internal KPK.
Kasus ini mencuat setelah Dewan Pengawas (Dewas) KPK mengumumkan adanya temuan praktik pungli di lingkungan rutan KPK. Ketua Dewas KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean menyebut, temuan itu didasari atas inisiatif penyelidikan yang dilakukan oleh Dewas. Miris, ketika korupsi terjadi di lembaga pemberans korupsi, Mengapa bisa terjadi?
Kebijakan dalam Ide Sekularisme
Korupsi di lembaga KPK sejatinya menunjukkan bahwa lemahnya integritas pegawai karena menghalalkan segala cara untuk mendapatkan harta dunia.
Hukum yang diberikan kepada pelaku korupsi tidak tegas serta tidak membuat jera, penerapan sistem sekularisme ini menyebabkan lemahnya iman para pejabat. Hal ini membuat musnah harapan pemberantasan korupsi dengan tuntas.
Ada dua faktor hal tersebut bisa terjadi.
Pertama, dari segi Individu. Lemahnya ketakwaan individu yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan tanpa standar halal haram termasuk korupsi.
Kedua, aturan kapitalisme yang melahirkan ide sekularisme yaitu pemisahan agama dari kehidupan. Misal, tidak diterapkannya sanksi yang tegas kepada pelaku korupsi sehingga pelaku korupsi tidak jera mengulangi kelakuannya.
Aturan yang memberikan efek jera pada pelaku kejahatan sulit kita temui dalam sistem hari ini, kecuali hanya dengan menerapkan aturan Islam.
Islam Solusi Tuntas
Jika sistem Kapitalisme sekularisme gagal memberantas korupsi maka Islam sebagai aturan yang berasal dari Allah memiliki cara tersendiri dalam menyelesaikan persoalan korupsi.
Pertama, ketakwaan individu yaitu menjalankan amanah. Pejabat/pegawai pemerintah senantiasa terikat dengan aturan Islam dimana seluruh aktivitas manusia berada dalam pengawasan Allah SWT.
Kedua, Masyarakat yang memiliki kesadaran bahwa pentingnya saling mengingatkan mengenai perkara takwa. Ini merupakan penerapan dari amal ma’ruf nahi mungkar.
Ketiga, yaitu peran negara dalam menerapkan sanksi yang tegas dengan efek jera sehingga perilaku kejahatan tidak berulang-ulang. Seperti pungutan liar yang merupakan tindakan yang tidak dibenarkan oleh syariat
Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian secara batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar rida di antara kalian.” (QS An-Nisa’ [4]: 29).
Terkait surah di atas, As-Sa’di dalam tafsirnya menjelaskan, “Allah Swt. telah melarang hamba-hamba-Nya yang mukmin untuk memakan harta di antara mereka dengan cara yang batil dan mengategorikannya sebagai tindakan ghashab (menggasab/perampasan), pencurian, serta memperoleh harta melalui judi dan perolehan-perolehan yang tercela.” (Tafsir As-Sa’di, hlm. 300).
Ghashab, menurut kitab Al-Muhith fi al-Lughah, adalah mengambil sesuatu secara zalim dan memaksa. Menurut Dr. Khalid al-Musyaiqih, ghashab adalah menguasai hak orang lain, baik hartanya atau hak gunanya, secara paksa dan tanpa alasan yang benar.
Dalam praktiknya, ghashab tidak saja terjadi antarindividu, tetapi juga bisa negara terhadap rakyatnya. Berbagai pungutan yang tidak sesuai syariat adalah kezaliman.
Selama masih menggunakan aturan kapitalisme yang tidak menerapkan aturan Islam, maka kejahatan akan terus berulang-ulang karena tidak memberikan efek jera kepada pelaku.
Hanya dengan aturan Islam yang memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan. Jadi solusi dari permasalahan ini kita butuh peran negara yang menerapkan aturan Islam secara Kaffah/keseluruhan. (*)
Penulis
Safni Yunia
Mahasiswi Universitas Negeri Makassar
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.