LGBT Buah Rusak Sekulerisme
Kerusakan penyimpangan LGBT seperti bom waktu, sudah sangat meresahkan. Berbagai Penyakit kelamin dan gangguan psikiatri rentan ditularkan oleh penyuka sesama jenis.
Virus mematikan seperti HIV dan Hepatitis B mudah menjangkiti mereka karena virus tesebut berpindah melalui cairan darah atau cairan seksual.
Penyakit kelamin lain adalah sifilis dan gonore yang sangat sulit disembuhkan, sebab infeksi berulang penyakit ini dapat merusak saluran reproduksi pria, menyebabkan infeksi pada testis, kemandulan, bahkan ancaman nyawa (m.klikdokter).
Kaum pelangi terus merangkul generasi-generasi yang yang lemah dan mengalami krisis identitas. Di banyak situs media sosial berseliweran tawaran-tawaran mesra secara bebas.
Kaum sodom modern tak lagi punya malu menunjukkan eksistensinya. Mereka bisa bergonta-ganti pasangan hingga ratusan kali dan menarget mangsanya, terutama para kawula muda.
Ajaran agama jelas tidak membenarkan prilaku seks menyimpang. Sayangnya, agama tak lagi menjadi pengatur kehidupan. Anak-anak dibesarkan tanpa pondasi agama yang kuat sebab negara tak fokus untuk menguatkan keimanan.
Sementara, arus informasi semakin kuat mengkampanyekan aktivitas kaum pelangi. Sistem yang diadopsi di negeri ini, abai dengan bahaya besar yang akan ditimbulkan dari kampanye sesat ini. Mirisnya, di saat yang sama, justru kampanye melindungi kaum minoritas LGBT lah yang semakin kuat digaungkan.
Produk Undang-undang sekuler juga dinilai multi tafsir, seolah memberi kebebasan secara tersirat terhadap perilaku penyimpangan orientasi seksual.
Dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TP-KS) pasal 1 ayat 1 disebutkan, “Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara pakasa, bertentangan dengan kehendak seseorang…” (muslimahnews.net/14/05/2022).
Di sisi lain, wacana moderasi beragama yang meluas, memberi nafas segar bagi penikmat kebebasan. Selama ini syariat dipandang terlalu mengikat dan tidak sesuai dengan konteks kekinian.
Aturan agama direduksi sedemikian rupa hingga cukup berada di wilayah ibadah ritual saja atau seputar hubungan hamba dengan pencipta. Aturan interaksi di tengah masyarakat diatur berdasarkan asas manfaat, demi memperoleh kesenangan hidup tanpa nilai ruhiyah. Saat LGBT berkembang pesat, pemerhati generasi mengurut dada sebab kehancuran generasi membayang bak gajah di pelupuk mata.